Bakal Dipindah ke Ibu Kota Baru, PNS Stres


[PORTAL-ISLAM.ID]  Pemindahan ibu kota negara akan disertai dengan memboyong aparatur sipil negara (ASN). Nantinya terdapat 180 ribu PNS ikut dipindahkan ke Kalimantan Timur (Kaltim).

Langkah itu mendapat respons dari sejumlah PNS. Terutama dari PNS yang bertugas di Kemeristekdikti.

Windie, misalnya. Dia sudah disumpah oleh negara harus siap ditempatkan di mana saja. Namun, pemerintah juga harus memikirkan fasilitas dan infrastruktur ibu kota baru.

“Kalimantan tidak semaju Jawa. Harusnya infrastruktur dibagusin dulu baru pindah. Apakah pemerintah menjamin kami nyaman bekerja di sana?” kata perempuan kelahiran Amerika Serikat itu, seperti dilansir JawaPos, Rabu (28/8/2019).

Setiap orang, lanjut Windie, memiliki tingkat stres yang berbeda. Apalagi dengan kondisi di Jakarta yang bisa dibilang mudah untuk mencari hiburan setelah seharian penat bekerja. “Udah kerja stres, nanti mau cari hiburan malah tambah stres,” ujar perempuan 31 tahun itu.

Indah Permanasari, PNS Kemenristekdikti lainnya, tidak ingin dipindah ke Kaltim. “Jujur aja aku nggak rela sebagai warga Jakarta untuk pindah,” terangnya.

Menurut dia, butuh waktu lebih dari lima tahun untuk membangun sebuah mini town. Belum lagi adaptasi dengan lingkungan yang benar-benar berbeda. “Karena masalah di Jakarta aja belum beres masih semrawut. Tapi kalau hanya pemerintahannya oke lah. Tapi, kalau dengan jumlah pegawai sebanyak itu kurang setuju,” urai perempuan 26 tahun tersebut.

Di sisi lain, Nena Melia dan Dinny Afifi mengutarakan pandangan mereka sebagai perempuan yang sudah bersuami dan memiliki anak. Nena dan Dini sama-sama memiliki suami yang bekerja swasta. Kehidupan mereka sudah mapan di Jakarta. Anak-anak mereka masih dalam usia emas yang sedang butuh bimbingan seorang ibu.

Menurut Nena, memindahkan ibu kota di Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara lain. Hanya karena sukses dan efektif terus harus dicontoh. “Memindahkan ibu kota tidak segampang melihat negara lain. Di Indonesia ini seperti memindahkan peradaban,” jelas ibu beranak satu itu.

Mengingat, tingkat migrasi di Indonesia terbilang tinggi. Seperti dirinya, yang lahir di Padang, kemudian besar di Riau, kuliah di Bandung, dan kemudian bekerja di Jakarta. Tapi, berbeda kasusnya jika sudah berkeluarga. Ada suami dan anak yang harus diurus. Nena berprinsip bahwa, keluarga itu harus hidup bersama.

Menurut dia, pemerintah harus memikirkan itu. Tidak hanya sekadar lingkungan dan ancaman bencana rendah. “Jangan sampai pemindahan ibu kota berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga PNS. Harus manusiawi. Kalau bisa nego (tidak pindah), pasti saya nego,” tegasnya.

Bagi Nena, membangun keluarga adalah bagian dari membangun negara. “Jika keluarga saya berantakan, lantas saya bisa menjamin apa kepada negara?” katanya. Dia bertekad harus membesarkan anak agar mandiri. Jika gagal, bukan tidak mungkin anaknya justru akan menjadi beban negara di kemudian hari.

Dini menambahkan, pemerintah juga harus memikirkan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan sarana transportasi di Kaltim. Harus memadai. Sebab, dirinya memiliki pengalaman tinggal 1997 hingga 2002 di Kendari, Sulawesi Tenggara. “Kebetulan dinas orang tua saya pindah-pindah. Dan saya mengalami bahwa mencari rumah sakit yang kredibel menangani penyakit tertentu di luar Jawa sangat susah,” terangnya. [JP]
Baca juga :