[PORTAL-ISLAM.ID] FAHRI HAMZAH:
Setelah pidato pak @jokowi saya berharap akan banyak juru bicara yang menjelaskan apa makna pidato itu...ayolah yang pinter-pinter muncul...sebab banyak juga yang gak paham...saya misalnya gak paham tentang “hilangnya” konsep negara hukum dalam pidato itu. Saya agak khawatir..!
Ayolah kaum liberal yang sekuler yang selama ini membela @jokowi, jadilah jubir yang baik. Bangun narasi yang bisa kita peebincangkan dan perdebatkan dong. Ayolah bela pidato #VisiIndonesia itu. Pengen dengar nyanyi kalian, agar bangsa ini segar dengan dialektika.
Aku aja mencoba mendengar dan membuat catatan. Pidato presiden @jokowi 24 menit itu cuman segini catatannya. Bagusnya mudah dihafal tapi jeleknya pidato itu tidak bisa mewakili ide2 dasar dalam bernegara; negara hukum yang demokratis sebagai metode dasar bernegara. pic.twitter.com/7PDQQfAmS1— #ArahBaru2019 (@Fahrihamzah) 15 Juli 2019
Aku mencoba mendengar dan membuat catatan. Pidato presiden @jokowi 24 menit itu cuman segini catatannya. Bagusnya mudah dihafal tapi jeleknya pidato itu tidak bisa mewakili ide-de dasar dalam bernegara; negara hukum yang demokratis sebagai metode dasar bernegara.
Cara presiden untuk sampai kepada kesimpulan “Bersatu” itu sangat berbau “Pembangunanisme” yang dulu sering kita dengar sebagai #TrilogiPembangunan (era Orba): stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Dengan versi baru 5 tahap mencapai #VisiIndonesia itu semua soal pembangunan.
Lalu, dengan landasan bahwa dunia kita semakin dinamis, presiden ingin memaksa bangsa ini untuk berubah...tanpa menjelaskan mau ke mana, lalu semua harus Bersatu. Presiden memuji “oposisi dengan syarat”. Inilah yang kelak akan menjadi persoalan dan harus diperdebatkan.
Pemerintah apapun alirannya, tidak boleh membuat syarat sepihak atas konsensus demokrasi. Ia harus berlandas hukum. Inilah makna negara hukum yang demokratis dalam konstitusi kita. Pancasila, agama, adat ketimuran bukan milik pemerintah, ia milik bersama.
Dulu, Orde Baru senang sekali memakai Pancasila untuk menyerang kiri dan kanan, juga menggunakan nilai “ketimuran” dan agama serta sopan santun untuk membungkam para pembicara yang kritis kepada pemerintah. Ada trauma di generasi tertentu pada terminologi yang dulu kita lawan.
Inilah yang sekali lagi harus dibicarakan. Maka, saya mendorong para juru bicara pasangan @jokowi - Ma’ruf Amin untuk menjelaskan secara lebih luas makna pidato singkat itu. Sebab ia harus dapat menjadi bahan perdebatan kita semua.
Sebab Nawa Cita, Poros Maritim dan Revolusi Mental (Visi Jokowi 2014-2019) sudah tidak terdengar. Sekarang kita ingin tau kita akan di bawa ke mana; bagaimana masa depan kebebasan? Bagaiman dengan demokrasi? Apa jawaban pemerintah atas menguatnya oposisi? Itu semua PR masa depan rezim baru ini.
Jangan dianggap mudah, sebab dalam demokrasi semua orang memang perlu makan dan pekerjaan, tapi mereka tidak mau makan dalam keadaan terkekang dalam sangkar emas pembangunan. Inilah catatan singkat saya bagi juru bicara para pemenang. Kami menunggu jawaban. Tks.
(Disadur redaksi portal-islam.id dari twit @Fahrihamzah 15-7-2019)