[PORTAL-ISLAM.ID] Ramai! Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan situasi dan perasaan para pendukung pasca pertemuan Prabowo dengan Jokowi. Kaget, kecewa, bahkan tak sedikit yang marah. Lalu lintas medsos padat dengan meme, gimic dan tulisan yang nadanya seragam: "Goodbye Jenderal".
Bagi mereka yang jeli mengawal informasi, peristiwa pertemuan Prabowo-Jokowi di MRT Lebak Bulus hari ini tak mengagetkan. Terutama bagi mereka yang biasa mengintip dapur belakangnya BPN. Tak ada yang mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Semua berjalan secara terencana dan sistematis.
Kita awali pada sikap Prabowo usai pemungutan suara tanggal 17 april. Malamnya langsung konferensi pers mengumumkan kemenangannya. Konsolidasi dengan BPN, partai koalisi, para tokoh dan ulama solid. Hari-hari kemudian rumah Prabowo di Kertanegara no 4 ramai para pendukung. Kordinasi terus jalan. Satu kata: point of no return. Yakini kemenangan. Maju terus, dan tak ada kata mundur. Gerakan kedaulatan rakyat menjadi tema perjuangan. Tolak bertemu dengan elit istana. Tak akan ambil jalur ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sampai disini, Prabowo dengan semua elemen pendukung satu barisan dalam perjuangan. Sangat solid. Timbul tenggelam bersama rakyat. Itulah mutiara kata yang keluar dari lidah jenderal bintang tiga ini.
Sampai tiba saatnya, ada perubahan haluan. Prabowo ajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Drama ke MK sempat diwarnai konflik sejumlah tim hukum. Kubu Bambang Widjajanto vs kubu Dasco. Meski akhirnya bisa diselesaikan dengan menyisakan beberapa catatan. Terutama oleh Amien Rais, tokoh yang cukup berpengaruh di BPN.
Tidak saja ke MK, Prabowo juga meminta, bahkan membuat video yang berisi instruksi kepada semua pendukungnya agar tidak demo ke MK. Cukup di rumah dan berdoa. Dan instruksi ini harus ditaati. "Sami"na wa atha"na".
Kendati Prabowo membuat instruksi larangan ke MK, para ulama, tokoh dan pendukung tetap turun aksi ke MK. Apa artinya? Prabowo dan para pendukung sudah jalan sendiri-sendiri. Tak lagi ada kordinasi dengan para ulama dan tokoh. Di sinilah persimpangan jalan itu dimulai.
Peristiwa ini menunjukkan begitu nyata bahwa Prabowo tak lagi bersama dan satu barisan dengan para pendukung dan simpatisannya. Santer kabar bahwa video larangan aksi ke MK dari Prabowo dibuat setelah mantan danjen kopassus ini berjumpa dengan sejumlah elit istana. Ada deal? Yang pasti kalau mereka bertemu tidak mungkin sekedar menikmati secangkir kopi.
Kordinasi sama PKS? Kecil kemungkinan Prabowo tak berkomunikasi dengan sekutunya, yaitu PKS. Partai yang lima tahun menemani Gerindra sebagai oposisi. Suka duka bersama. Dan sudah bisa ditebak, apa keputusan PKS? Tetap memilih oposisi. No negosiation. Oposisi harga mati. Keputusan ini bisa dibaca dari semua jubir PKS yang satu suara di media.
Cukup dengan cerita ini, mestinya publik tak perlu kaget ketika MK membacakan amar putusan (27/6/2019). Dan tak perlu kaget juga jika Prabowo ketemu Jokowi hari ini (Sabtu, 13/7/2019). Biasa aja kali!
Apakah pertemuan Prabowo-Jokowi di MRT Lebak Bulus itu menandai adanya rekonsiliasi politik? Apa pengertian rekonsiliasi politik? Bagi-bagi kursi! Pertanyaannya mesti dibalik: setelah semua rentetan cerita itu terjadi, mungkinkah Prabowo bisa menghindari istana?
Sebagai tambahan fakta, pertama tentang pidato, tepatnya obrolan Prabowo di depan emak-emak di Kertanegara jumat kemarin (12/7/2019). Apakah Prabowo menyebut kata "oposisi" sebagaimana tuntutan emak-emak itu? Tidak! Retorikanya sedemikian rapi dan terukur. Ini dibuat agar kedua pihak yaitu istana dan emak-emak merasa nyaman dan tak tersinggung. Kedua, lihat mimik, gestur, sikap dan isi pidato Prabowo saat bertemu Jokowi di MRT. Dua fakta ini bisa jadi basis pertanyaan: masih mungkinkah Prabowo tidak gabung ke istana?
Pertanyaan yang lebih fundamental adalah: kenapa Prabowo mengambil sikap seperti itu? Harus disadari bahwa posisi Prabowo itu sentral. Selama Prabowo jadi rival penguasa, maka perlawanan rakyat akan berlanjut. Ini ancaman bagi stabilitas politik, dan bahkan ekonomi. Dan jika ada momentum tertentu, ini bisa jadi ledakan sosial.
Dan nampaknya, istana tak cukup percaya diri untuk mampu membangun komunikasi politik yang efektif dengan rakyat, terutama para pendukung Prabowo. Padahal, jika negara ini baik-baik saja, pemerintah menunjukkan prestasinya yang baik dan hukum berlaku adil, maka perlawanan macam apapun akan dapat diurai. Istana seperti kurang percaya diri sehingga harus berkorban sesuatu untuk mengupayakan adanya rekonsiliasi.
Prabowo itu simbol dan icon perlawanan rakyat selama ia jadi oposisi. Maka, istana berkepentingan untuk menghentikannya. Caranya? Tanya Prabowo. Dia yang tahu dan sudah merasakannya.
Prabowo sempat dianggap berada dalam dilema. Maju kena, mundur kena. Maju sebagai oposisi, akan berhadapan dengan penguasa. Bagaimana nasib partainya? Bagaimana nasib para tersangka? Dalam konteks ini, mungkin Prabowo tak memikirkan nasib dirinya. Sampai disini, ada kesan Prabowo bermoral. Tapi, apakah itu pilihan yang tepat?
Di mata pendukung, itu tak saja keliru, tapi tersesat. Prabowo dianggap pecundang. Menyerah sebelum pertandingan selesai. Tak sedikit yang menuduhnya penghianat.
Pendukung bertanya: kalau tak sanggup melihat korban, kenapa ikut perang? Kenapa tidak pensiun dini, itu akan lebih aman dan nyaman. Kalau jenderal tak bisa lihat darah, kenapa tak jadi hansip atau satpam? Itulah narasi yang berkembang di medsos dari pagi hingga sore hari ini.
Akhirnya para pendukung hanya bisa berucap dalam ratapan mendalam "ternyata Prabowo memang tak siap untuk bertarung di gelanggang". Kenapa tidak ngomong dari awal? Keluh para pendukung.
Pertemuan di MRT sepertinya akan menjadi akhir dari semua bentuk perlawanan. Kecuali jika di kemudian hari Prabowo membuat peryataan sebagai oposisi. Ini baru benar-benar kejutan. Ah, bercanda!
Jakarta, 13/7/2019
Penulis: Tony Rosyid