Membaca “Informal Summit” Prabowo–Jokowi


[PORTAL-ISLAM.ID]  Saya ingin berbagi catatan, sebagai pengamat, fenomena baru: pertemuan Prabowo dan Jokowi di MRT. Di awal saya ingin menyimpulkan: REKONSILIASI? MASIH JAUH. Ini judul kultwit ini. Rujukan analisis saya adalah praktik diplomasi: Summit.

Dalam dunia diplomasi ada yang ditakutkan oleh para diplomat: itulah ‘INFORMAL-SUMMIT’, (yakni) ketika kedua pemimpin negara bertemu, tanpa didampingi delegasi masing2, tanpa didampingi penasehat, tanpa agenda, dan hanya mereka yang tahu mau bicara apa.

Terutama ketika terjadi kegentingan hubungan antar-negara, dalam state of preparadness menuju konflik bahkan perang dengan taruhan yang besar, atau ada isu2 krusial yang berpotensi bahaya bagi kepentingan negara.

Dalam ‘informal summit’ atau juga disebut dalam format ‘tete-a-tete’, agenda begitu bebas, apa saja bisa diperbincangkan oleh kedua kepala negara, dan memutuskan apa yang mereka sepakati. Atau setuju untuk tidak sepakat: agree to disagree. Atau simbolik.

Banyak terjadi terobosan via ‘informal summit’, bahkan isu2 terpenting sekalipun yg selama ini ‘deadlock’. Ketika negosiasi panjang tak berbuah, ayo ketemu ngomong langsung. Deadlock membuat frustrasi “dianggap ulah para negosiator’ maka kepala negara bertemu dlm ‘informal-summit’.

Dalam ‘informal-summit: venue, format, agenda tak diatur secara protokoler. Kedua pemimpin bersalaman dan ngomong langsung satu demi satu, apa saja yang ingin dibahas dan apa usulan dan apa pula keputusan yang ditawarkan. Jika disetujui lahirlah keputusan.

Karena ada ‘kejutan’ keputusan terhadap hal2 yang diperjuangkan mati2an di arena Negosiasi yang sebelumnya telah dipertimbangkan seluruh aspeknya, dan tiba2 dengan keputusan ‘informal summit’ semua berubah: ada yang menyenangkan dan sering tidak menyenangkan.

Berbeda dengan halnya ‘FORMAL-SUMMIT’ semua dipersiapkan dengan rinci: agenda, posisi, bahkan pengaturan keprotokolan semua harus disusun berbasarkan posisi negara bahkan ‘gengsi negara’. Soal2 posisi duduk dan posisi bendera saja para diplomat rela berdarah-darah.

Bagaimana kalau kita membuat perumpamaan dunia diplomasi dan dunia politik berkaitan dengan pertemuan informal Jokowi-Prabowo di kereta MRT. Ini masuk kategori mana? Apa dampaknya? Apa komen abang? tanya seorang teman.

Saya hanya memantau video rekaman dan proses terjadinya pertemuan, saya sebut berkarakter ‘informal summit’. Prabowo bertemua Jokowi, bersalaman, photo2, lalu duduk berdua dan ngomong, tanpa pendamping. Belum ada penjelasan substansi yg dibahas. Atau memang tidak ada?

Baiklah. Pertama, pertemuan ini sangat diinginkan oleh 01, maksudnya untuk ‘mendinginkan suhu politik’ menjelang pelantikan presiden di bulan Oktober. Tampak 01 desperate banget karena penolakan dari pendukung 02 begitu keras, termasuk emak2.. Intinya, mereka menolak rekonsiliasi.

“Khan sudah menang, mengapa mesti perlu pertemuan dengan Paslon 02?” Pakar berpendapat: Pertemuan itu untuk pengakuan dan legitimasi kemenangan 01. Mengapa perlu legitimasi? Karena menentukan stabilitas pemerintahan 5 tahun ke depan, klaim pakar atau negarawan. Saya tak yakin.

Apa memang legitimasi itu diperlukan dari Prabowo? Apakah berarti Prabowo secara de-facto pemenang? Ah itu menjadi ulasan pembuat opini.. Saya tidak mau masuk ke opini politik.

Kedua, mari kita lihat karakter pertemuan MRT itu. Fakta tempatnya di MRT menunjukkan suasana yang tidak formal. Santai. Kenapa tidak di Istana atau di tempat terhormat lain? Kita semua sudah tahu itu tak mungkin, karena penolakan pendukung 02 begitu besar.

Jadi, pertemuan di MRT itu berkarakter sangat informal. Tanpa didampingi penasehat: free wheel discussions. Agendanya sudah dapat ditebak: Jokowi mengajak Prabowo berbaik2 ke depan, mungkin menawarkan sesuatu? Quid pro quo?

Apa yang dibahas? hanya berdua yg ngomong dan tahu. Mereka berdua bisa ‘ngeles’, dgn sengaja atau tidak, anak buah tak tahu deal-nya. Dlm diplomasi bisa disebut ‘pertemuan rahasia’. Waktu ke depan akan membuktikan apa substansi yang diperbincangkan. Sekarang kita hanya menduga-duga.

Ketiga, pertemuan itu substantif atau simbolik? Kedua bentuk ini dikenal dalam diplomasi. Adakalanya ketika substansi macet para pemimpin membuat pertemuan simbolik, seperti diplomasi pingpong AS dengan RRT di masa lampau. Setelah simbolik, maka pembahasan substansi mencair.

Jadi, setelah pertemuan informal di MRT, sekiranya hanya simbolik, maka akan ada pertemuan substantif, misalnya pengisian menteri di kabinet atau deal2 lain? Belum tentu, masih perlu kita pantau ke depan baik di antara kedua Paslon maupun di antara partai pendukung.

Saya melihat pertemuan MRT itu simbolik belaka. Meskipun masih jauh dari substantif, tetapi kubu 01 sudah senang. Berharap suasana di bawah akan mencari. Akankah?

Yang saya pantau terjadi kemarahan besar pendukung 02. Meskipun karakter pertemuan MRT itu simbolik. Mereka khawatir posisi keras 02 ‘akan tergadai’ dan Prabowo telah mengalah atas tekanan lingkaran Jokowi. Apa sudah ada keputusan? Kita tunggu penjelasan kedua pihak.

Di lapangan para pendukung 02 semakin mengeras, menjaga jarak dengan Prabowo bahwa apapun keputusan Prabowo dalam kaitan 01 tidak mengikat mereka. Namanya rakyat, siapa yang bisa mengendalikan? Emotions running high..

Para pendukung 02 itu diehards, minimal militan, menyarankan seyogianya 08 menolak walaupun hanya ketemu. Mereka tetap dengan agenda: kecurangan dan ketidakadilan ini tidak akan diterima rakyat.

Mereka akan membuat perhitungan. Waktu masih panjang menjelang pelantikan Oktober. People power? Mungkin. Atau gaya Hongkong memblok para anggota MPR sidang pelantikan? Mungkin..

Keempat, apakah tujuan pertemuan tercapai? Tergantung dari sudut mana dilihat dan apakah ada keputusan besar yang diambil. Kedua pihak memiliki tujuan berbeda, I guess. Jokowi: untuk rekonsiliasi. Prabowo: sekadar silaturahmi.

Rekonsiliasi tercapai ketika ‘Summit MRT’ berhasil menyejukkan iklim politik. Yang saya lihat, malah semakin menajam. Pendukung 02 begitu diehards menentang semangat rekonsiliasi setelah menuduh pihak sebelah melakukan kecurangan TSMB dalam pilpres. Tiada maaf bagimu!

Prabowo u/ silaturahmi? Ada yang berpendapat: Prabowo bisa berkeras menolak pertemuan dgn Jokowi sebagai sesama Paslon. Berbeda jika Presiden dengan jalur resmi meminta pertemuan dengan Prabowo dalam kedudukan sebagai warganegara. Dia negarawan dan warganegara yang baik, kata yg lain.

Itu karakter negarawan Prabowo seperti itu, kata mereka. Sekadar silaturahmi okelah. Untuk membuat deal politik? Masih spekulatif. Prabowo sadar kok atas tindakannya, apa dampak terhadap dirinya, partainya, maupun para pendukung yang sudah ‘berdarah2’ di lapangan..

Kelima, bagaimana situasi politik ke depan setelah ‘Summit MRT’? Bola tetap ada di lapangan, di tangan rakyat penentang kecurangan. Apakah mereka telah puas dan menerima hasil ‘informal summit’ dan Jokowi akan melenggang menuju pelantikan Oktober? Kayaknya belum sampai ke sini.

Kesimpulan saya: pencairan suasana itu penting, tetapi ‘deal politik’ sangat tidak mungkin diterima rakyat pendukung yang sedang marah. Akankah Prabowo ditinggalkan rakyat pendukungnya? Belum tentu. Sekarang mereka marah bahkan memaki2.

Namun, perkembangan ke depan lebih penting untuk dipantau apakah akhirnya Prabowo menyerah. Whatever, rakyat di lapangan tampaknya tidak tinggal diam. Mereka tetap tidak puas. Rekonsiliasi? Masih jauh.

Penulis: Haz Pohan
Baca juga :