Diskualifikasi


[PORTAL-ISLAM.ID]  Kartu merah layak diberikan kepada KPU dan Capres pasangan Jokowi-Ma"ruf. Artinya get out! Buruk dan kasar permainannya sehingga membahayakan lawan. Penonton disuguhi tontonan kecurangan bukan permainan yang menjunjung tinggi sportivitas dan "fairness". Sulit membedakan tinju, kick boxing, atau sepakbola. Yang terjadi sepak suara. Suara dioper oper. Orang gila boleh ikut menyepak di lapangan. Kotak gawang kardus digigit gigit si gila jadi rusak tak berguna. Sementara wasit berpihak dan melindungi orang gila. Wasit ternyata gila juga.

25 Trilyun uang rakyat dihamburkan untuk permainan tak bermutu, menipu, bahkan mematikan. Berdarah darah lagi.

Ijtima Ulama III di Jakarta setelah menelaah kecurangan Paslon Capres/Wapres No 01 memutuskan pada salah satu butir pernyataannya adalah mendesak agar Pasangan Jokowi Ma"ruf di "diskualifikasi" karena terjadi kecurangan terstruktur, sistematik dan masif. Akibat permainan tak sehat maka berakibat angka suara yang tidak benar. Suara 01 menggelembung suara 02 menguap lalu diumumkannya pun di malam yang gelap ketika rakyat tertidur lelap.

Pengaduan ke Bawaslu hasil  di awal bagus dengan diputuskan KPU salah dalam urusan lembaga survey "quick count" dan mekanisme situng "low count", namun buruk pada putusan yang berhubungan dengan kecurangan terstruktur, sistematik dan masif. Tuntutan "diskualifikasi" untuk Pasangan No 01 tidak dikabulkan. Keputusan Bawaslu yang menghukum KPU pun diabaikan oleh KPU.

Kini di Mahkamah Konstitusi tuntutan "diskualifikasi" diajukan kembali dengan dasar dan argumentasi hukum yang lebih sistematik, jelas dan detail. Publik banyak yang baru sadar akan kecurangan petahana untuk memenangkan Pilpres ini. Segala cara digunakan termasuk yang "diharamkan". Suap, penyalahgunaan APBN, manipulasi dana kampanye, serta rangkap jabatan. Gelembung angka sudah pasti.

Hakim sedang diuji kualitas, kejujuran, serta tanggungjawab moralnya pada bangsa dan negara. Kebenaran hukum berbedakah dengan kebenaran hati nurani atau kebenaran Ilahi? Kebenaran hukum sejalankah dengan keadilan? Kebenaran apa yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi dalam perselisihan hasil pemilu. Kualitatif atau kuantitatif. Majelis Kalkulatorkah ia ? Hukum perdata mencari kebenaran formiel, hukum pidana menggali kebenaran materiel, hukum administrasi mendasarkan pada kebenaran proseduriel. Lalu MK pada kebenaran apa? Disini ruang interpretasi terbuka bagi para Hakim. Inovasi dan penggalian nilai-nilai lebih luas. Kebenaran konstitusional tentu sebagai dasar dari kewenangan dan pertimbangan.

Idealnya putusan adalah hasil musyawarah dan mufakat sembilan anggota Majelis. Jangan seperti skor sepakbola 5-4 atau 6-3 atau berapapun. Di tingkat Keputusan tak elok jika kuantitatif dikedepankan. Kondisi saat ini spesifik karena vonis yang keliru akan berdampak sistemik. Kondisi bangsa dan negara adalah pertaruhannya. Rezim sedang sakit dan bermasalah.

Pilihan nampaknya bisa antara diskualifikasi, pemilu ulang atau menolak gugatan. Untuk putusan "aman" bagi MK maka tentu  pemilu ulang. Namun terbayang cost dan enerji yang terbuang. Belum lagi dengan KPU dan Bawaslu seperti ini ya sama saja hasilnya bisa bermasalah. Jika menolak gugatan dengan alasan sederhana Majelis fokus pada perselisihan angka, kecurangan itu soal pidana, TSM sudah diputus Bawaslu, maka ini sama dengan menyederhanakan kewenangan MK sendiri. Juga bertentangan dengan rasa keadilan.

Diskualifikasi memiliki alasan yang kuat. Di samping rangkap jabatan BUMN yang dilanggar Cawapres 01, juga berbagai dalil gugatan 02 cukup menggambarkan "kelicikan" atau "kecurangan" pasangan 01 yang jika ditoleransi akan terjadi pengulangan pada setiap pemilu Pilpres. Ini berbahaya. Putusan tegas MK akan mencegah bahaya ke depan.

Tanggungjawab MK pada amanat Konstitusi dan sikap yang "hanya takut pada Allah SWT" dapat menyebabkan MK  berani untuk menyatakan bahwa pasangan 01 itu pantas  didiskualifikasi. Rasa keadilan mendasari kebenaran hukum. Diskualifikasi..!

Bandung, 17 Juni 2019

Penulis: M. Rizal Fadillah
Baca juga :