[PORTAL-ISLAM.ID] Massa dari berbagai pelosok Indonesia mau datang lagi ke Jakarta. Tepatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tanggal 24-28 Juni.
Kabarnya sampai satu jutaan. Bener? Entar cuma 2000, celetuk pendukung 01.
Gak takut peluru? Kami datang dengan damai. Acaranya halal bihalal, kata mereka. Halal bihalal kok di MK? Lagian, lebaran juga sudah selesai. Halal bihalal suara, jawab mereka.
Tidakkah Prabowo melarang? Sandi juga. Kenapa pada nekat? Apakah sudah tak taat pada Prabowo dan Sandi? Mau jalan sendiri? Begitulah kira-kira pertanyaan sebagian orang.
Ini bukan soal Prabowo-Sandi. Ini soal moral. Negara ini sudah banyak menyimpang. Kami turun untuk mengingatkan dan meluruskan, kata Abdullah Hehamahua, pemimpin dan penanggung jawab aksi.
Halal bihalal ini akan dihadiri oleh para ulama; K.H. Abdurrasyid Syafi'i, Yusuf Martak (Ketua GNPF MUI), Sobri Lubis (Ketua FPI), Zaitun Rasmin (ketua Ikatan Ulama dan Da'i Asia Tenggara), Muhammad Al-khottoth (Ketua GIS), Nazar Haris MBA (ketum PUI), Jeje Zainuddin (waketum PERSIS), Nashirul Haq (ketum Hudayatullah), kiai Sadeli Karim (Ketum Mathla'ul Anwar), Ahmad Yani (pengacara dan politisi PBB) dan ulama-ulama serta habaib lainnya.
Mereka menyerukan dan mengajak rakyat, khususnya umat, untuk ikut hadir.
Halal bihalal di MK ini juga kabarnya akan diikuti oleh sejumlah ormas seperti Hidayatullah dan Ikadi. NU dan Muhammadiyah? Secara organisatoris pasti tidak. Tapi secara personal, mayoritas yang hadir biasanya justru warga Nahdliyyin dan Muhammadiyah.
Kenapa di MK? Kenapa tidak di istana? Sepertinya MK menjadi test case. Ini langkah awal. Jika ini sukses, maka negara bisa diselamatkan. Bagaimana logikanya?
Jika para hakim MK netral. Jaga integritas, artinya memperhatikan faktor moral dalam membuat keputusan hukum, maka negara ini punya masa depan untuk berubah.
Demokrasi akan hidup lagi, kedaulatan mahasiswa, pers dan rakyat akan kembali pulih. Bahkan juga kedaulatan negara dan bangsa. NKRI tetap utuh dan tak terancam disintegrasi. Tak lagi ada ancaman wilayah yang ingin memisahkan diri.
Tapi, jika MK mengabaikan faktor moral, tak peduli dengan bukti-bukti pelanggaran hukum, dan hanya berkutat pada kalkulasi suara dan membatasi diri pada hukum formil, maka banyak yang ragu negara ini bisakah akan keluar dari kemelut politik dengan semua impacknya. Sepertinya, perjuangan Abdullah Hehamahua cs akan panjang.
Semangat moral dan nasionalisme inilah yang diperjuangkan oleh mantan penasehat KPK ini. Sosok yang tak punya kepentingan kecuali hanya ingin melihat Indonesia baik-baik saja ketika ia dipanggil Tuhan nanti.
Bagaimana para pendukung Prabowo-Sandi? Ikut hadir di MK? Pasti! Begitu kabar yang beredar. Mereka abaikan himbauan Prabowo dan Sandi? Lah kok? Mereka berpikir ini kesempatan terakhir untuk memperjuangkan Prabowo-Sandi. Berarti mereka tak taat? Bukannya Prabowo bilang: para pendukung harus sami'na wa atha'na.
Itu bahasa deplomatis, kata para pendukungnya. Prabowo dan Sandi harus tetap sebagai negarawan. Santun dan bijak memberi seruan.
Jika di awal bilang: silakan turun, tapi dengan damai dan tidak melanggar aturan. Ternyata 21-22 Mei ada kerusuhan. Entah siapa yang membuat rusuh. Simpang siur. Tapi, berbagai video dan CCTV yang beredar cukup jadi bahan bagi semua pihak untuk melakukan analisis dan kesimpulan: siapa para perusuh itu sebenarnya. Video-video yang viral itu bisa jadi petunjuk awal.
Setelah sekian banyak yang mati, dan lebih banyak lagi yang tertangkap, Prabowo beri imbauan: mohon tidak ada yang turun ke MK. Percayakan kepada tim hukum Prabowo-Sandi. Ini jalur yang sah dan konstitusional.
Apakah kalau kumpul massa di MK itu tidak konstitusional Jenderal? Tanya para pendukung. Kalau nggak konstitusional, pasti polisi nggak kasih izin. Faktanya? Polisi kasih ijin Jenderal. Nah...
Jika di awal bilang: silakan turun, tapi dengan damai dan tidak melanggar aturan. Ternyata 21-22 Mei ada kerusuhan. Entah siapa yang membuat rusuh. Simpang siur. Tapi, berbagai video dan CCTV yang beredar cukup jadi bahan bagi semua pihak untuk melakukan analisis dan kesimpulan: siapa para perusuh itu sebenarnya. Video-video yang viral itu bisa jadi petunjuk awal.
Setelah sekian banyak yang mati, dan lebih banyak lagi yang tertangkap, Prabowo beri imbauan: mohon tidak ada yang turun ke MK. Percayakan kepada tim hukum Prabowo-Sandi. Ini jalur yang sah dan konstitusional.
Apakah kalau kumpul massa di MK itu tidak konstitusional Jenderal? Tanya para pendukung. Kalau nggak konstitusional, pasti polisi nggak kasih izin. Faktanya? Polisi kasih ijin Jenderal. Nah...
Tapi, seperti yang sudah-sudah, kabarnya ada yang datangi ketua-ketua RW agar mencegah warganya ke Jakarta. Ada yang datang ke ta'mir masjid agar tak menampung orang-orang daerah yang ikut aksi ke Jakarta. Ada pula yang nyegatin di jalan-jalan, agar peserta aksi kembali. Ada pula yang razia bus dan kereta. Macam-macam pula. Siapa mereka? Entahlah...
Salut sama polisi yang menegakkan konstitusi. Top! Sudah memberi ijin massa beberapa kali melakukan halal bihalal di MK. Personilnya menjaga para peserta dalam keadaan damai dan tenang.
Info yang beredar, tanggal 24-28 Juni (Senin-Jumat) adalah puncak halal bihalal di MK. Di tanggal inilah kabarnya sekitar satu juta massa akan hadir. Kalau betul ada satu juta massa yang hadir, maka pekan itu akan menjadi pekan keramat.
Gak takut ada yang rusuh? Sepertinya massa sudah berpengalaman. Tahu siapa perusuh, bagaimana pola provokasinya dan kapan mereka memulai kerusuhan. Para korlap nampaknya sudah antisipasi itu semua. Mereka menjamin aman dan damai. Halal bihalal hanya sampai sore hari. Massa bubar. Begitu bocoran sekenarionya.
Dijamin seperti aksi 212. Jutaan massa hadir dan dalam keadaan damai. Ini baru top. Pokoknya, kalau yang damai-damai itu keren. Damai yes, rusuh no. Siapapun otak di balik kerusuhan itu, pokoknya no!
Berhasilkah para korlap untuk menghadirkan satu jutaan massa di MK? Kita akan lihat nanti. Sejauh mana mereka berhasil membuat narasi dan juga memobilisasi massa. Dua faktor ini akan menentukan jumlah massa yang hadir.
Bachtiar Nasir adalah salah satu tokoh yang ahli dalam membuat narasi dan memobilisasi massa. Soal dua keahlian ini, mantan ketua GNPF ini sulit dicari tandingannya. Sayangnya, sudah lama tokoh yang ditunggu-tunggu massa ini gak pernah kelihatan lagi.
Jika jumlah massa tidak sampai angka satu jutaan, maka ada tiga kemungkinan. Pertama, karena pengaruh tragedi 21-22 mei. Trauma! Tepatnya, takut. Pengecut dong? Terserah ente deh mau ngomongape. Kedua, karena faktor larangan Prabowo. Ketiga, korlap yang tak piawai memilih narasi dan memobilisasi massa.
Biasanya akan ada kontra narasi. Di sinilah akan terjadi perang opini. Jika korlap berhasil memenangkan opini, maka massa yang hadir bisa besar. Jika kalah dalam opini, wassalam. Bisa cuma 2000 orang yang datang. Nah, ini tantangan buat para korlap.
Lalu, apa hubungannya jumlah massa dengan putusan hakim MK? Emang ngaruh? Kalau jumlah massa sekitar satu jutaan, mereka berpikir para hakim MK akan percaya diri dan punya keberanian yang kuat untuk membuat keputusan berdasarkan hati nurani. Oh ya? Ente bisa aje!
Penulis: Tony Rosyid