Kemelut KPU, Apa Solusinya


[PORTAL-ISLAM.ID]  Setelah dicermati  berbagai kebijakan dan pelaksanaan atas kebijakan yang dilakukan KPU , mulai dari persiapan, masa kampanye, masa tenang, waktu Pemilu, dan pasca Pemilu, saat ini sudah pada fase Pasca Pemilu.

Riak- riak ketidakpuasan atas kinerja KPU, sudah mulai bertiup dan dipertanyakan oleh pihak-pihak terkait dan rakyat itu sendiri.

Persoalan besar yang paling menghebohkan soal kotak suara dari kardus. Ketua KPU pasang badan mempertahankan bahwa kardus itu bagus, hemat, efisien, dan dibuat dengan konstruksi yang kokoh. Untuk meyakinkan rakyat, Ketua KPU Arief Budiman menunjukkan gaya sedang duduk di atas kardus kotak suara, dan viralkan di semua media.

Belum lagi waktunya pencoblosan, sudah dapat berita di beberapa tempat ada kardus kotak suara yang dimakan rayap, hancur seperti bubur terkena banjir, dan lainnya.

Setelah pencoblosan Pemilu, ada kotak suara kardus yang ada isinya terbakar habis di gudang. Apakah terbakar atau dibakar,  pihak Kepolisian yang lebih tahu. Mantan anggota KPU sebelum nya sudah protes penggunaan kardus tersebut, karena masa mereka menggunakan aluminium dan lebih tahan, safety dan security nya terjamin dengan dikunci pakai gembok.

Tidak masuk dalam pikiran rakyat, bagaimana kokohnya kotak suara kardus di pasang gembok. Pihak KPU ngotot gunakan kardus ya sudahlah, rakyat lama-lama diam sendiri.

Heboh berikutnya soal DPT yang diduga double sebanyak 17,5 juta orang, dengan keanehan pada tanggal dan bulan lahir.  Itupun tidak ada penyelesaian. KPU tidak perlu ambil pusing, karena hanya pihak BPN Paslon 02 saja yang complain, pihak TKN Paslon 01 adem-adem saja. Sepertinya mereka yakin tidak akan merugikan pihak Paslon 01.

Selama masa kampanye, sudah terlihat pihak KPU dan Bawaslu sudah keteteran menghadapi dinamika yang tajam dan luar biasa antar Timses. Berbagai pelanggaran terjadi, ada yang diselesaikan, ada yang diambangkan begitu saja sampai senyap sendiri.

Demikian juga dalam persiapan Debat selama 5 putaran antara Paslon 01 dan 2,  berbagai model debat dicoba, dan terus disempurnakan dalam sertiap kali debat. Sepertinya tidak ada konsep yang baku yang menjadi acuan. Dalam istilah manajemennya trial and error.  Padahal mekanisme debat KPU sudah punya pengalaman Pemilu 2014. Mungkin karena sudah lama lima tahun yang lalu, jadi lupa.

Persoalan besar lainnya yang  berpotensi  menurunkan kredibilitas KPU adalah proses penyelenggaran Pemilu yang hari pertama sudah menimbulkan kegaduhan karena persoalan Quick Count yang dilakukan lembaga survey. Diperintahkan Bawaslu untuk dihentikan. Berganti dengan Real Count KPU berdasarkan input data pada Situng KPU. Bawaslu mendatangi IT nya KPU, ternyata ruang IT dan penempatan server tidak memenuhi standar dan menjadi heboh di ruang publik.

Hasil Real Count Situng KPU, tidak jauh beda dengan Quick Count, sehingga menimbulkan kecurigaan kemungkinan ada kecurangan dalam input data oleh para “intruder” yang juga diduga ada di dalam team IT KPU.

Hasil investigasi para Ahli IT independent alumni ITP, UI, dan PT terkenal lainnya, memberikan angka hasil Real Count dengan sumber data C1,  yang berbeda dan bertolak belakang dengan Situng RC KPU.

Data dan informasi tersebut, ditambahkan lagi dengan berbagai berita – berita miring tentang adanya kecurangan berupa pencoblosan surat suara oleh petugas dengan bukti berupa video,  perubahan angka dengan ada yang ditambah dan ada yang dikurangi.  Bahkan ada yang  coba menjumlahkan dengan excel , ternyata lebih 100%.

Dengan munculnya persoalan input data dengan Situng KPU yang mulanya hanya untuk instrumen  membandingkan dengan hitungan manual sebagai hitungan yang syah menurut UU, ternyata secara psikologi memberikan implikasi untuk mencari tahu kebenaran datanya oleh rakyat dan mereka yang bergelut di dunia IT dan menemukan keanehan yang perlu dibuktikan.

Tidak ketinggalan Tim IT BPN Paslon 02, sejak hari pertama pencoblosan mengikuti terus proses input data Situng KPU. Beberapa hari yang lalu dokumen sudah lengkap dan ada 73 ribu lebih kasus kecurangan yang dilaporkan ke Bawaslu.

Perkembangan saat ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memutuskan, dua laporan dugaan pelanggaran Pemilu 2019 yang dilayangkan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi memenuhi syarat formil dan materiil. Dengan begitu, Bawaslu akan mengadakan sidang lanjutan untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran pemilu tersebut.

Dua laporan yang dilayangkan BPN yakni dugaan pelanggaran administrasi pemilu terkait Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU dengan nomor laporan 007/LP/PP/ADM/RI/00.00/V/2019 dan terkait quick count atau lembaga hitung cepat dengan nomor 008/LP/PP/ADM/RI/00.00/V/2019.

Karena persoalan kecurangan  diduga sudah dilakukan dengan Sistematik, terstruktur, masif dan bahkan brutal,   menimbulkan kegelisahan dan kekhawatiran rakyat atas suaranya yang kemungkinan “dipermainkan”, rupanya menyebabkan para Ulama, Habib, Habaib, dan para Ustadz yang  sebelumnya berhimpun dalam forum Ijtima Ulama II untuk mencalonkan Paslon 02, tidak tinggal diam.

Mereka mengadakan pertemuan Ijtima Ulama III, beberapa hari yang lalu, dan menghasilkan beberapa hal yang sensitif yaitu : agar BPN Paslon 02 melaporkan kepada Bawaslu  kecurangan yang dilakukan KPU, serta diminta di kawal oleh umat prosesnya secara syar’i dan sesuai dengan koridor hukum. Disamping itu rekomendasi yang menukik dan tajam adalah meminta KPU agar mendiskualifikasi Paslon 01, serta KPU segera menghentikan  input data Situng KPU.

Secara paralel, ada persoalan lain yang sangat memilukan dan memalukan dalam harkat dan martabat sebagai manusia yang mengedepankan Hak Asasi Manusia. Yaitu banyaknya korban yang meninggal dunia para Petugas KPPS dan petugas Bawaslu. Sampai hari ini berjumlah lebih 500 orang yang meninggal ( tewas), dan ribuan yang sakit. Penjelasan resmi Ketua KPU adalah disebabkan kelelahan.

Penjelasan Ketua KPU, juga mengusik ingin tahu, dan penasaran publik. Seorang dokter menulis di medsos, tidak masuk akal karena kelelahan menyebabkan orang langsung meninggal dunia. Itu meninggal secara akut, bukan khronik.

Pihak IDI, MERC, sudah merencanakan upaya penyelidikan ( investigasi), penyebab kematian.  Ada dokter forensik, yang dapat melakukan diagnosa forensik penyebab kematian. Perlu dicek juga dokumen kematiannya, apa benar atau tidak.

Dalam kasus ini pemerintahan tidak cukup  hanya memberikan santunan kematian, tetapi harus juga menunjukkan empati yang tinggi terhadap keluarga korban dengan memberikan dukungan dan fasilitas yang diperlukan untuk investigasi forensik tersebut. Presiden dapat perintahkan Menkes untuk melakukan hal tersebut. Atau untuk fairnya hasil investigasi, perlu dibentuk Tim Pencari Fakta yang independen, sehingga hasil pencariannya kredibel dan dipercaya rakyat.

Pada saat semuanya sedang bergulir dan mencari upaya-upaya penyelesaian yang bermartabat, pihak pemerintah menegaskan melalui Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto memastikan tak ada kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu 2019. Hal itu ia sampaikan usai memimpin rapat koordinasi tentang keamanan pasca pemilu di Kantor Kementerian Polhukam, Jakarta, Senin (6/5/2019). Ia pun merasa heran dengan banyaknya tudingan kecurangan pemilu yang dialamatkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah. Padahal, kata Wiranto, banyak negara yang justru mengapresiasi Indonesia lantaran sukses menyelenggarakan pemilu serentak yang rumit.

Menko Polhukam bahkan tidak bisa menerima tuduhan TSMB:  "Kok kita sendiri yang malah menuduh bahwa pemilu itu ada kecurangan terstruktur, sistematis, masif, tambah brutal lagi. Itu tidak benar. Saya katakan tidak benar karena saya sebagai Menko Polhukam kalau itu ada tentu saya tahu dan saya masuk di dalamnya sebagai aktor," lanjut Wiranto. Ungkapan yang menyederhanakan persoalan, kalau ada kecurangan pasti tahu, pasti bagian dari aktornya.

Banyak pihak berpendapat keterangan pers Menko Polhukam itu membingungkan rakyat dan Timses Paslon 02 , karena saat ini pihak Bawaslu sedang memproses pengaduan kasus kecurangan sebanyak 73 ribu lebih kesalahan input data Situng KPU.  apakah memastikan tidak adanya kecurangan Pemilu menjadi wewenang Menko Polhukam?.

Jika demikian, apabila pengaduan kecurangan dari Tim IT BPN Paslon 02 bergulir di Pengadilan, disarankan Pak Wiranto sebagai saksi yang meringankan dari pihak tertuduh (KPU).

Sebenarnya yang diinginkan rakyat, sebagai Menko Polhukam narasi yang digunakan bersifat netral. Posisikan pemerintah itu adalah perangkat negara yang sedang melakukan pelayanan rakyat secara keseluruhan. Dalam konteks Pemilu, memberikan advokasi kepada rakyat yang mungkin ada yang merasakan dirugikan dalam penyerahan suaranya kepada KPU untuk memilih pemimpin bangsa kedepan. Intinya Pemerintah melalui Menko Polhukam, menjamin hak politik dan hak keamanan rakyat yang sedang berhadapan dengan mereka yang diberi kekuasaan untuk menyelenggarakan Pemilu.

Meta Masalah
Sangat kompleksnya masalah dan belum terstruktur dalam formulasi masalah, maka menyebabkan  susah untuk memetakan penyelesaian masalah nya.

Kita bagi persoalan pokoknya yang berada di hulu, dan kemudian menjadi persoalan di hilir.

Persoalan di hulu
Persoalan utama di hulu adalah keputusan MK yang menetapkan Pilpres 2019  menjadi bagian dari pemilihan umum (Pemilu) serentak pertama di Indonesia dalam sejarah. Selain memilih Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu 2019 juga menjadi momen bagi rakyat Indonesia untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menetapkan kebijakan tentang pemilu serentak. Putusan ini pada pokoknya menyatakan bahwa pemisahan penyelenggaraan Pileg dan Pilpres adalah inkonstitusional. Pemilu serentak semula dianggap lebih efisien, baik dari sisi waktu juga anggaran dana. Menurut MK, sebagaimana dilaporkan Kompas.com (23/01/2014), dengan pemilu serentak, uang negara yang berasal dari pembayar pajak dan hasil sumber daya alam serta sumber daya ekonomi, dapat lebih dihemat dalam pembiayaannya.

Masih menurut MK, pemilu serentak dapat pula mengurangi pemborosan waktu dan menekan konflik atau gesekan horizontal di masyarakat pada masa-masa pemilu. Selain itu, “Hanya dengan pemilihan umum serentak warga negara dapat menggunakan haknya untuk memilih secara cerdas dan efisien,” tulis MK.

MK juga meyakini bahwa pemilu serentak akan membuat proses pesta demokrasi menjadi lebih bersih dari kepentingan-kepentingan tertentu terkait lobi-lobi atau negosiasi politik yang dilakukan oleh partai-partai politik sebelum menentukan pasangan capres-cawapres yang bakal diusung. “Penyelenggaraan Pilpres harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang,” demikian yang tertulis dalam Putusan MK.

Kenyataannya?. Ternyata jauh panggang dari api. Apakah Pemilu lebih efisien. Nyatanya biayanya  lebih besar dan bahkan KPU meminta tambahan dana lagi.  Bahkan secara masif jatuh korban tewas ratusan orang  para anggota KPPS dan Bawaslu, masih tanda tanya penyebab kematian mereka secara masal tersebut. Tidak ada lobi, lebih bersih?. Sekarang sedang dipertontonkan  kebalikannya.

Berita-berita yang kita dengar, pihak MK tidak mau disalahkan atas keputusannya menetapkan Pemilu serentak sehingga jatuh banyak korban tewas. Lantas salah siapa?. Kalau sudah lembaga tinggi negara bernama MK tidak mau bertanggung jawab dan lepas tangan, siapa lagi?. Apakah perlu dibentuk Mahkamah Rakyat untuk menyelesaikannya.

Persoalan besar lainnya di hulu, disamping terkait penyelenggaraan Pemilu serentak yang memakan korban jiwa, juga ada soal perencanaan  yang tidak matang, pada saat memformulasikan kebijakan dilaksanakannya Pemilu serentak oleh KPU.

Kemampuan memproyeksikan berbagai alternatif kemungkinan dengan beban tugas yang begitu besar, sepertinya tidak maksimal. Mulai dari perencanaan anggaran, perencanaan rekrutmen SDM, kesiapan logistik, pengembangan sistem IT yang berstandar , dan instrumen monitoring dan evaluasi setiap tahap program dan kegiatan.

Saya tidak tahu persis, apakah KPU mempunyai tenaga analis perencanaan yang handal, atau sudah terkena penyakit ‘Business as Usual’. Demikian juga manajemen resiko apakah sudah menjadi suatu instrumen dalam perencanaan KPU. Akibatnya boleh jadi perencanaan sering dilakukan dengan pola ‘copy paste’, malas mikir lagi mencermati  berbagai perkembangan lingkungan strategis yang akan berubah setiap saat. Dan perubahan lingkungan itu semakin kencang pada saat menjelang hari-hari pencoblosan Pemilu dan pasca pencoblosan.

Dari  dua persoalan besar tersebut diatas yaitu Keputusan MK Pemilu serentak, dan lemahnya perencanaan,  tentu juga diikuti iklim politik dan policy Pemerintah, dimana Presidennya ikut sebagai kontestan Petahan. Kondisi tersebut tentu bersifat intangible, sehingga merupakan persoalan tersendiri bagi KPU untuk menghadapinya, menimbulkan dampak di hilir. 

Persoalan di hilir
Persoalan di hilir, dimaksudkan adalah terkait dengan implementasi atas formulasi kebijakan yang telah ditetapkan oleh KPU. Dalam implementasi yang dikerjakan KPU dan para birokrasi dibawahnya, ada dua persoalan yang terjadi, yakni terkait dengan Implementation Capacity and Implementation Integrity.

Lemahnya kapasitas untuk melakukan implementasi maupun integritas personil birokrasi nya pada  Street level bureaucrats, tidak dapat dipungkiri. Kasus-kasus salah input data Situng, lemahnya pengawasan logistik, dan pengamanan surat suara, sampai dengan banyaknya kasus-kasus pelanggaran atau kecurangan yang tidak bisa diselesaikan  dengan cepat, termasuk complain pemilih yang menjadi korban administrasi pelayanan yang kurang responsif.

Ada kesadaran yang terlambat dari KPU atas beban kerja yang begitu berat dari petugas KPPS, dan tidak seimbang dengan honor yang diberikan ( hanya Rp.500 ribu ), berdampak dengan lebih 500  petugas KPU dan Bawaslu yang meninggal, tentu sesuatu yang diluar dugaan pihak KPU. Belum lagi persoalan dana jaminan kematian yang tidak terlindungi dengan BPJS ketenagakerjaan (dana untuk premi tidak dialokasikan). Akhirnya Pemerintah turun tangan memberikan bantuan sosial Kematian sebesar Rp. 36 juta kepada keluarga korban. Suatu angka yang merujuk pada Jaminan Kematian yang diberikan BPJS Ketenagakerjaan.

Persoalan di hilir lainnya, saat ini KPU sedang menghadapi persidangan Bawaslu, atas tuduhan kecurangan input data Situng KPU, oleh Tim IT BPN Paslon 02 dengan jumlah kasus suara yang ‘dicurangi’ lebih dari 73 ribu suara dan angka tersebut merupakan 15% dari total data yang sudah masuk dalam Situng KPU.

Ada kemungkinan, batas waktu 22 Mei 2019 hasil final Pemilu susah diperoleh, ada kemungkinan tertunda, jika melihat situasi yang berkembang saat ini.

Bagaimana sebaiknya sikap Pemerintah
Pertama sekali sikap Pemerintah   haruslah netral, terlepas Presidennya sebagai Petahana. Komitmen itu harus ada dan menjadi dasar dalam setiap membuat kebijakan. Jika itu bisa dilakukan maka sebagian persoalan dapat diselesaikan.

Dengan landasan kenetralan Pemerintah, maka akan semakin memperkuat keyakinan Bawaslu, KPU, dan DKPP untuk percaya diri dan  tetap independen sesuai dengan UU.

Pemerintah memberikan supporting kepada KPU, Bawaslu, dan DKPP  untuk kelancaran tugasnya, dengan semangat netralitas, dan untuk kepentingan semua pihak yang terkait.

Pemerintah juga hendaknya menghadapi dinamika yang berkembang dengan kepala dingin, persuasif, akomodatif, dan tidak perlu dengan   berbagai ancaman, dengan alasan apapun, sepanjang kontens tuntutan terkait dengan hak-hak rakyat yang menuntut keadilan. Biarlah KPU dan Bawaslu, serta DKPP merespons dan memprosesnya sesuai tupoksinya.

Hentikan dulu persoalan hukum yang mungkin belum selesai, yang dihadapi mereka para tokoh dan rakyat yang sedang memperjuangkan hak suaranya  hanya sekali dalam 5 tahun sebagai bentuk pesta demokrasi. Sikap ini penting sekali, supaya tidak mencederai, serta menimbulkan  prasangka dan kecurigaan rakyat atas kenetralan Pemerintah dan aparat hukumnya.

Ungkapan kemarahan, kekesalan, kekecewaan, ke dongkolan, atas kecurangan yang dituduhkan kepada KPU, bahkan ada yang menyerempet Pemerintah, sekali lagi hadapilah dengan kepala dingin.  Pak Menko Polhukam tidak perlu tersinggung, dan mungkin saja ikut emosional, dengan mengeluarkan ancaman men’shutdown’ media massa, serta akan membentuk Tim Bantuan Hukum, untuk melakukan penilaian, analisis, dan mempelajari berbagai ungkapan kebencian, ancaman, bernada makar para tokoh, dan memberikan rekomendasi untuk  Pemerintah melakukan tindakan hukum.

Harapan saya, jika mereka yang 24 orang para profesor dan doktor hukum, akademisi  yang direkrut Pak menko Polhukam sebagai Tim Bantuan Hukum untuk merekomendasikan tindakan hukum bagi mereka para tokoh yang ‘di mata’ pemerintah ‘nyeleneh’ mungkin akan berpikir ulang untuk bersedia duduk. Sebab mereka tersebut adalah para intelektual, dan akademisi yang maha independen ( maha guru dan maha terpelajar), yang tidak akan bekerja atas dasar Order siapapun.

Cibubur, 10 Mei 2019

Penulis: Chazali H. Situmorang (Pemerhati Kebijakan Publik-Dosen FISIP UNAS)

Baca juga :