Mantan Jokower Iwan Piliang Akhirnya Pilih Prabowo, Faktor UAS Salah Satunya


[PORTAL-ISLAM.ID]  Iwan Piliang, yang bernama lengkap Narliswandi Piliang, adalah seorang aktivis, wartawan, dan penggiat citizen journalism Indonesia. Ia pernah menyandang jabatan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi (PWI-R). Iwan Piliang mulai dikenal publik Indonesia ketika ia ikut aktif menyelidiki kasus kematian yang diduga pembunuhan terhadap David Hartanto Widjaja, seorang mahasiswa Indonesia yang kuliah di Universitas Teknologi Nanyang, Singapura (NTU) pada tahun 2009.

Nama Iwan Piliang semakin dikenal luas ketika pada Juli 2011 ia melakukan wawancara melalui jaringan skype dengan Muhammad Nazaruddin, seorang buronan pihak kepolisian dalam kasus korupsi. Wawancara tersebut disiarkan oleh salah satu TV swasta nasional dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat.

Pada Pilpres 2014, Iwan Piliang termasuk salah satu tokoh pendukung Jokowi. Termasuk lingkaran dalam.

Kini di Pilpres 2019, setelah perjalanan panjang, momen dukungan Ustadz Abdul Somad pada Prabowo akhirnya membuat Iwan Piliang mendeklarasikan dukungannya pada Prabowo.

Berikut tulisan panjang Iwan Piliang yang dimuat Kompasiana plus video pernyataannya yang diposting di akun twitternya pagi ini.

Sipil Menguap di "Jenderal Vs Jenderal"

Judul tulisan di atas, merupakan perubahan tajuk rencana tulisan; Gagalnya Presiden Sipil di Tengah "Jenderal vs Jenderal". Kalimat awal ini saya lempar ke time line saya di Twitter, ingin mendapatkan masukan berapa banyak follower berminat membaca? Saya meminta retweet, atau RT. Ilham judul itu berangkat setelah kongkow Senin malam, 8 April 2019 lalu, dengan seorang Jenderal aktif.

Hingga Jumat malam ini, hanya 0,02% dari lebih 105 ribu follower berminat melakukan RT. Secara statistik, kecil peminat.

Sejak 2003 khususnya, saya sudah menulis rutin ke Sosmed; blog, FB status dan seterusnya, for free, dominan saya kerjakan dengan spirit verifikasi dengan kerendahan hati tiada henti, reportase berbiaya sendiri, bahkan kasus bertantangan nyawa, demi berbuat karena asumsi "matinya" jurnalisme.

Studi saya di komunikasi massa dan hukum. Pernah menjadi praktisi di media mainstream, lalu berbisnis dengan usaha tak terkait dengan pemerintah, sebagian waktu berkegiatan sosial; termasuk ada saja kasus kemanusiaan menagih diverifikasi.

Kemarin contohnya.

Saya terperanjat, putera seorang Ibu, Rachmania, sosok satu di antara 17 orang hilang dari dari Serui ke Mamberamo, peristiwa 2009, di Papua masih terus saya verifikasi, menghubungi via Instagram. Ia ingin mengkonfirmasi apakah benar saya menulis rutin kasus itu? Saya jawab benar. Ia mengabarkan ayahandanya sudah berpulang 2016. Ia ingin terus mencari sang ibundanya, dimana saya duga masih ada di "hutan" Papua.

Begitulah sekilas latar akan paparan menulis di bawah ini:

Ketika berhenti jadi jurnalis mainstream, 1989, di benak saya kala itu jika ingin besar berbisnis harus ada "bintang" di belakang dan atau modal kapital kuat. Keduanya saya tak punya. Maka ketika mendirikan perusahaan jasa komunikasi, deferensiasi saya adalah ide dan kreatifitas; contoh mem-push perusahan Sarung beriklan ke teve, hingga membuat serial animasi wayang carangan.

Ketika reformasi terjadi,1998, saya melihat peluang civil society akan berkibar. Peralihan Presiden dari Pak Harto ke BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, lalu kita kembali ke pemimpin sosok berasal dari TNI. Era Presiden SBY, saya pernah menggemparkan atap Partai Demokrat melalui Skype dengan Nazruddin. Saya mencatat prestasi utama SBY tak pernah menggunakan pasal pencemaran nama baik menghukum, memenjara seseorang.

Mendukung calon pemimpin sebagai mana acap saya tulis di Sosmed, berangkat dengan paradigma. Mendukung Bapak Jokowi, jadi presiden, paradigmanya; sosok punya produk masuk pasar bisa ubah bangsa. Gendang kami dilatari itu. Bunyi-bunyian ihwal kejokowian versi saya kala itu: sosok memuliakan ketulusan keinsanan.

Menyingkat kata, kita sudah sampai lagi ke Pilpres 2019 dalam hitungan hari.

Pola Pilpres kekinian: kerja memenangkan hati publik, merebut psikologi massa.

Mereka menguasai psikologi komunikasi tercepat, bisa diprediksi memenangkan permilihan. Maka proses membunyikan seseorang melalui tahapan; dikenal, diminati dan dipilih. Dikenal belum tentu diminati, diminati belum tentu dipilih.

Secara hitungan jika dikenal itu angka awalnya sudah 90%, maka untuk menakar awal berapa dimanati, penggal separuh angka dikenal, ketemu skor diminati 45% dan penggal lagi sebagian maka ketemulah angka dipilih 22,5%. Kerja bersarnya bagaimana menaikkan angka diminati dari 45 menjadi 80% dan angka dipilih menjadi 70%?

Kerja komunikasi publik di sisi calon, biasanya didampingi oleh tiga core competence unggulan; content director, spin doctor dan feature writer, bukan news writer. Berita sudah banyak dibuat oleh berbagai media mainstreamtermasuk online. Di Pilpres kali ini minim kita simak tulisan literair, deskriptif naratif, di mana warga seakan hadir di lokasi membacanya.

Dominan konten di kedua kubu Pilpres saat ini, kurang mengeksplor sesuatu empirik, kering inovasi dan kreatifitas. Saling berbalas mengatai menjadi hiasan hari-hari di Sosmed.

Dalam sikon demikian alam telah memberi peluang kubu Prabowo-Sandi mendapatkan keuntungan keberpihakan psikologi massa.

Momentumnya dari pengamatan lembaga saya pimpin, IPC, diawali ketika Sandi Uno diberi amplop dukungan kampanye oleh seorang bapak menggendong anak di Riau, lalu esok ada Nenek, meminta cucunya mengirim uang tabungannya Rp 200 ribu dari 1,2 juta ia punya, ke rekening pemenangan Prabowo Sandi. Pola ini menjadi bola salju, hingga kampanye akbar belakangan mendapatkan berkarung plastik uang dari warga. Hingga tadi malam saya menyimak dukungan Ustad Abdul Somad, live di teve one. Bola salju lekat di hati itu, bermuara kepada Prabowo-Sandi.

Namun apakah Prabowo-Sandi akan memenangi Pilpres, riset berpihak kepada Jokowi masih meng-unggulkan Jokowi. Sementara riset independen dominan memenangkan Prabowo-Sandi.

Bagaimana akhir dari pertandingan Pilpres ini?

Dari kongkow saya dengan seorang Jenderal itu, kami menjadi tertawa. Sejatinya, akhirnya persaingan hanyalah para "Jenderal" vs "Jenderal", baik di belakang Jokowi apatah pula di belakang Prabowo.

Sebagai Jenderal purnawirawan, Prabowo secara portofolio berhasil menjadikan sosok muda sipil mentas menjadi pejabat publik; mulai dari Jokowi sendiri ke DKI, berikutnya Ahok, Ridwan Kamil, hingga Anies Baswedan, tak terlepas dari sentuhan tangan dingin Prabowo Soebianto. Jokowi dibesarkan Prabowo, kemudian menjadi lawan 2014 dan kini 2019. Jokowi menguasai top of mind di publik, sebuah fenomenon awalnya tak diperkirakan Prabowo.

Sayang kefenomenaan Jokowi 2014 di hati publik tak sesignifikan 2019. Kini psikologi massa sesuai data IPC bergerak kencang ke kubu Prabowo-Sandi.

Kembali ke judul tulisan ini, luruhnya pemimpin, khususnya sipil, tepatnya Jokowi, akibat lebih dominannya jenderal tampil di sisinya, seperti peran dominan diambil alih Jenderal (Purn) Luhut Binsar Panjaitan, dirasakan publik, membuat kejokowian bisa berasa hambar. Jend Purn, Hendro Priyono, Agum Gumilar, dan lain, tampil ke publik mendukung Jokowi. Pun sebaliknya di kubu Prabowo mulai dari Jend. Purn Djoko Santoso, Tyasno Soedarto, hingga Sjafrie Sjamsudin, sekadar menuliskan beberapa nama; kita warga menonton "Jenderal vs Jenderal" secara nyata. Dan ujung-ujungnya mereka dipastikan kembali kepada korsa.

Mungkin Jokowi sudah lupa. saya acap memberinya masukan out of the box. Karena paham Jokowi sipil, saya pernah menyarankan nanti setelah terpilih kita ke Papua, sebelum melantik menteri, Bapak nginep di tenda prajurit di perbatasan.

Pulang ke Jakarta jam 3 dini hari  ke markas pasukan tempur elit, bunyikan peluit dalam hitungan berapa detik pasukan siap tempur, minta mereka berbaris, periksa pasukan, ada prajurit pakaian berantakan, presiden sipil terpilih, Panglima Tertinggi TNI, rontokkan gigi prajurit itu dengan dengkulnya. Ini akan menjadi isu rame.

Hasil dari dua output kegiatan usulan tadi, sudah mebayangkan kalau TNI  akan di belakang full presiden sipil berbadan kurus. Namanya juga ide dan nyeleneh, mungkin Pak Jokowi juga sudah lupa.

Akan tetapi satu usulan saya diterima Pak Jokowi. Saya mengusulkan Kepala Biro Pers, mantan Aster TNI di Papua, bintang satu AD. Ia adalah Albiner Sitompul, pernah jadi Puspen AD, saya kenal ketika  diminta sharing soal menulis feature di Mabes TNI. saya duga akibat "Jenderal" vs "Jenderal" hanya 7 bulan Albiner menjabat Kepala Biro Pers di Isatana Negara, ia difitnah dan diberhentikan. Beruntung otaknya "encer", kini Albiner salah satu peneliti di Lemhanas. Karir cemerlangnya di TNI pupus. Saya merasakan beban moral hingga kini.

Dalam ke-jenderal vs jendralan itu, mungkin saya juga sulit bertemu dan dekat dengan Jokowi. Momen tak sengaja bertemu di Palembang 21 Januari 2017, menghasilkan Buku Melawat ke Barat karya Djamaludin Adinegopro, 1926 kami cetak ulang, dibagikan presiden  di Hari Pers, diterbitkan IPC.

Ada niat membantu untuk 2019, alam nyata  dalam perkembang tak "mengizinkan". Sebaliknya saya pernah diundang sekali oleh Saididu ke posko pemenangan Prabowo-Sandi, di pertemuan itu saya merasakan ada getaran pihak-pihak mencurigai saya.

Isteri saya Sandra mengajak banyak alan-alan sebagai #turispaspasan hampir tiap dua bulan ke mana-mana.

Pada 30 Maret 2019, saya tak sengaja bisa hadir di Haul Akbar ke-60 Syekh Abdul Ghani Al Kalidi, wafat di usia 130, ulama sufi kharismatik, di Kampar Riau.

Cucunya, Buya Alaidin, Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam, juga Tharikat Naqsabandyah. Ustad Abdul Somad hadir. Saya menyampaikkan terima kasih telah mengawal moral bangsa, dan mengingatkan aborsi di Indonesia sebulan sudah terindikasi 10.000 bayi.

Tadi malam UAS, dalam siaran live di teve one saya simak menjagokan Prabowo. Maka di mana perjalanan hidup mengalirkan hari-hari memohon bimbingan kebersihan hati dari Ilahi, di 17 April 2019 nanti saya memilih Prabowo-Sandi. Saya menyimak spirit harapan umat diwakili UAS sangat-sangat besar, kepada Prabowo Jenderal Purnawirawan.

Mungkin dari perjalanan sejarah, kita harus menyadarkan hati ini sebagai warga siap-siap juga untuk kecewa.

Berjaga lebih baik dari pada terlalu besar harapn.

Toh, belum pernah ada kepemimpinan sipil hebat setelah reformasi ini berdiri, walaupun kita menggadangnya dengan bermimpi-mimpi.

Siapapun pemenang Pilpres, tetaplah masih "Jenderal" vs "Jenderal" di lapangan, khususnya AD. Saya belum tentu benar, mari uji, faktual mereka secara hirarki berorganisasi paling top.

Sebagai catatan, sebagai warga sipil, saya pernah menjadi pembicara di Sesko TNI 2015 di Bandung. Hari di mana Jenderal Purn Kiki Syahnakri berdua saya pembicara.

Notulennya tentu masih ada; bisa dicek di Sesko TNI, saya paparkan sehalaman BULKONAH, bulat kotak dan panah, mulai dari Pakto 1988, era BPPN, hingga berdirinya partai-partai; demokrasi kita bukan menjadi idiologi, tetapi terjerembat menjadi demokrasi industri.

Dalam "jenderal" vs "jenderal" penumpang pengendali, pemegang tambun fulus-mulus, dan celakanya, dominan mereka terindikasi agaknya alpa dari Pancasila. Itu saja. Titik!


*Sumber: https://www.kompasiana.com/iwanpiliang/5cb113cf3ba7f71368670ec3/sipil-menguap-di-jenderal-vs-jenderal

Baca juga :