MANAJEMEN KONFLIK: PKS PERLU BELAJAR DARI AKP


Oleh: Reina Suwandi Khalila*
Turki

Bukankah mustahil mengharap organisasi membesar dari sisi ukuran, anggota dan struktur di satu sisi, tapi berharap friksi dan konflik mengecil dalam waktu yang sama? Sadarkah bahwa dalam setiap tubuh institusi yang membesar berarti mengandung kemungkinan pertarungan ide dan pemikiran yang juga besar? Tak jarang, meninggalkan luka. Meski melahirkan kebersamaan, kekuatan baru, juga mungkin terjadi.

Itulah kesadaran terhadap sebuah organisasi dalam sudut pandang modern. Beda dengan dengan cara pandang terhadap organisasi tradisional yang menyatu dan terikat karena kekuatan figur atau idiologis yang sangat kokoh.

Itulah yang terjadi dengan PKS saat ini. Saat para pimpinan saling sindir di media, tanggapan internal (baca: kader) jadi beragam. Ada yang tak siap, bahkan tabu dan memalukan. Ada yang menanggapi sebagai dinamika dan perlu disambut gembira. Ada yang tak paham, terutama di lapisan terbawah yang memang tak peduli isu dan pertarungan elit.

Dari sudut pandang Public Relations, situasi apapun yang menerpa organisasi harus bisa diolah, diarahkan dan dikapitalisasi menjadi nilai tambah. Situasi landai harus dikapitalisasi menjadi informasi yang diperhatikan dan diingat oleh publik. Situasi positif harus disorot menjadi citra positif yang lebih luas dan bertahan lama. Bahkan dalam situasi tertekan, misalkan dalam terpaan isu negatif atau konflik internal yang mengemuka keluar, langkah penanganan harus diarahkan menjadi berita positif.

Dalam disiplin manajemen organisasi, konflik bisa sengaja diciptakan untuk beberapa hal, diantaranya meningkatkan responsibilitas anggota organisasi terhadap perubahan, membentuk norma baru dalam mengatasi ketegangan dan bahkan konflik bisa digunakan untuk mengakselerasi soliditas tim (Dorwin Cartwright, ‎Alvin Frederick Zander, 1953). Artinya, konflik bisa jadi peluang baik untuk menguatkan positioning partai di hadapan masyarakat. Asal Humas/Public Relations bekerja benar dan kreatif.

Dua hal itulah, kegagalan manajemen konflik dan manajemen Public Relations yang tampak terjadi di internal Partai Keadilan Sejahtera dalam 2 bulan terakhir. Setelah diberitakan positif pasca Munas yang menghasilkan paket pimpinan baru, tak lama isu soal ‘bersih-bersih’ loyalis Anis Matta (Presiden sebelumnya yang kemudian digantikan M. Sohibul Iman) oleh pengurus baru mencuat. Selanjutnya konflik memasuki babak baru. Yakni ketika dua posisi penting di DPR RI: Ketua MKD dan Wakil Ketua DPR, masing-masing diisi oleh Surahman Hidayat dan Fahri Hamzah, keduanya dari PKS - tampak berbeda sikap dan penanganan terhadap kasus “Papa Minta Saham” yang menerpa Setya Novanto (Ketua DPR RI yang kemudian lengser).

Surahman yang ‘kagok' karena memimpin suatu sidang etik yang terbuka dan diikuti live melalui media televisi vs Fahri Hamzah yang secara terbuka menyatakan dukungan penyelidikan yang lebih substantif soal pelanggaran UU Minerba dan perpanjangan kontrak Freeport. Itulah fakta konflik yang ditangkap publik.

Belakangan, isu negatif kembali mencuat karena tekanan pengurus pusat PKS agar Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mundur dari jabatannya, yang kemudian 'disiram bensin' oleh media sehingga konflik makin menyala. Gelombang konflik ini belum reda karena kemudian pengurus PKS memilih merapat ke istana negara menjumpai Presiden Jokowi, sementara Koalisi Merah Putih, tempat PKS merapat dan mengikatkan diri sebagai oposisi, sangat tak suka.

Bagi pengamat yang sejak lama mendalami fenomena partai Islam (atau partai dakwah), terjadi dinamika tak biasa dalam tubuh PKS belakangan ini. Gesekan yang mencuat keluar, sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya, kini liar terjadi. Setiap kepemimpinan membawa ekses yang khas. Isu faksi ‘adil’ dan faksi ’sejahtera’ yang tadinya mencuat di permukaan dan sempat membuat kaku hubungan internal, kini mencuat menjadi friksi baru. Gesekan saat ini mengemuka antara ‘arus lama dan tua’ atau 'konservatif versus progresif' yang kemudian merebut kepengurusan dengan ‘kubu modern-progresif-inklusif’ yang diminta turun gelanggang. Pengurus baru PKS, meski tampak ingin masuk ‘fast track’, telah gagal lari kencang karena ruang mesin PKS di-equip dengan seri lama yang sudah batuk-batuk.

Tapi memang sudah sejak lama, Humas PKS kesulitan dalam membaca pertarungan dan kemudian gagal membina hubungan baik dengan media. Gaya eksklusif partai Islam belum bisa hilang. Seperti kalimat pembuka tulisan ini, konflik yang terjadi seharusnya bisa menjadi kredit bagi partai asal dikelola dengan baik. Publik dan kader di bawah, menurut keterangan pengurus pusat, masih percaya tak terjadi gesekan seperti yang dihebohkan media. Semoga. Seandainya pun terjadi, kita menuntut PKS bisa mengemas ini menjadi keuntungan untuk mendongkrak citra. Sebagaimana partai-partai pendahulu seperti Golkar dan PDIP yang sangat sering terjadi gesekan, drama konflik bagi PKS bisa diolah menjadi “cerita seru’ yang dinikmati publik dengan ending terbaik.

Andai PKS belajar dari AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi) di Turki, barometer yang 'diinginkan kader' sebagai benchmark organisasi internasional yang mirip platform dakwah a la PKS, maka kejadiannya bisa beda. AKP telah melalui masa yang berat ketika Erdogan yang merepresentasi sebagai 'pembaru dan pencerah' merasa perlu ruang pada 2001, dan meninggalkan Partai Refah yang lebih 'fundamentalis'. Bersama Abdullah Gul, Erdogan mendirikan AKP yang lebih kanan-tengah dan kemudian merebut banyak kemenangan dalam Pemilu setelahnya, hingga kini.

Saat itu, kesadaran bersama tentang perlunya packaging yang lebih modern dan progresif untuk perjuangan politik partai Islam agar memenangi pertarungan melawan sekularisme dan militer telah mampu dieskalasi menjadi kebutuhan untuk berubah. Meski belakangan, friksi itu tetap mengemuka, keberhasilan AKP sendiri akhirnya menjadi perekat pendahulunya (Refah) dan anggota muda yang lebih dinamis yang kemudian menguasai ekonomi dan percaturan politik Turki.

Tampaknya, PKS perlu membedah tahap demi tahap sebuah partai modern di Turki yaitu AKP, sebagai pengayaan atas kajian 'manhaji' yang merefer ke perjuangan politik dan militer yang terlalu Arabis.[]

*Penulis adalah Mahasiswi Semester IV Jurusan Ilmu Politik, Konsentrasi Psikologi Komunikasi Massa, Fatih University, Istanbul, Turki.


Baca juga :