(HARI PANCASILA) Kembalilah Ke Ekonomi Pancasila

Berikut penjelasan Ustadz Adiwarman Karim (Praktisi ekonomi Syariah) tentang pancasila dari sudut pandang ekonomi yang merupakan implementasi dari 'maqashid syariah'. Penjabaran beliau disandarkan pada definisi al maqashid al syariah oleh Imam Asy Syatihibi pada kitabnya al Muwafaqat. Tulisan ini dibuat menjelang pemilu capres 2009 yg lalu.

KEMBALILAH KE EKONOMI PANCASILA
Adiwarman Azwar Karim*

Imam Al Syathibi prihatin dengan semakin jauhnya penafsiran fikih para ulama di Grenada atas masalah-masalah kemasyarakatan yang timbul ketika itu. Beliau lahir di Grenada, Spanyol, pada tahun 730 Hijriyah (H). Ia hidup di masa pemerintahan Bani Ahmar yang merupakan keturunan keluarga besar sahabat Rasulullah SAW dari kalangan Anshar yang bernama Sa’ad bin Ubadah.

Tidak diragukan lagi, sejak awal pemerintahan Islam di Spanyol, pemerintahan berusaha mengidentikkan dirinya dengan pemerintahan Rasulullah. Dalam salah satu ungkapan terkenalnya, Raja Hisyam al-Awwal bin Abdurrahman ad-Dakhil yang memerintah dari tahun 173-180 H berkata kepada para ulama, ”Bukankah Imam Abu Hanifah berasal dari Kufah, sedangkan Imam Malik berasal dari Madinah, cukup bagi kami mengikuti pendapat imam asal tempat Rasulullah SAW menjalankan pemerintahannya.”

Tekad suci itu mengalami sandungan di sana-sini karena penafsiran fikih yang semakin jauh dari maksud hakiki syariah yang mengikuti keinginan raja yang memang tidak memahami syariah selayaknya seorang ulama.

Dalam keadaan itulah, Imam al Syathibi menulis kitab al Muwafaqat yang menjelaskan konsep al maqasid al syariah agar para ulama dalam mengambil penafsiran fikih selalu berpegang pada maksud hakiki syariah, berpegang pada roh syariah, bukan sekadar pada formalitasnya. Awalnya, beliau akan menamakan kitabnya al Ta’rif bi Asrar al Taklif (penafsiran atas hukum syariah yang tertulis). Namun, beliau tidak ingin kitabnya dianggap sebagai satu-satunya penafsiran.

Maqasid Syariah sangat mirip dengan Pancasila, bahkan dapat dikatakan Pancasila adalah Maqasid Syariah tafsiran Indonesia. Maqasid Syariah mengandung lima hal, yaitu melindungi agama yang dalam Pancasila disebut ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Kedua, melindungi jiwa yang dalam Pancasila disebut ‘Perikemanusiaan yang adil dan beradab’. Ketiga, melindungi keutuhan keluarga besar yang dalam Pancasila disebut ‘Persatuan Indonesia’. Keempat, melindungi akal pendapat yang dalam Pancasila disebut ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’. Kelima, melindungi hak atas harta yang dalam Pancasila disebut ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.

Kemiripan itulah yang menyebabkan gagasan Pancasila Soekarno muda mendapat dukungan penuh dari bangsa ini menjadi dasar negara. Letjen Suharto dan TNI juga mengusung gagasan yang sama untuk mendapat dukungan penuh bangsa. Ketika Pancasila telah ditafsirkan terlalu jauh dari Maqasid Syariah, ternyata bangsa ini tidak lagi mau mendukung betapa pun berjasanya Soekarno dan Suharto.

Maqasid Syariah diterima luas di Grenada yang heterogen: Muslim, Katolik, Protestan, dan Yahudi, karena ia melindungi semua orang. Tidak ada lagi tirani minoritas yang terjadi sebelum masuknya Islam ke Spanyol, tidak juga dominasi mayoritas karena melindungi akal pendapat dalam Maqasid Syariah, termasuk akal pendapat kaum minoritas. Konsep inilah yang disebut demokrasi dengan perlindungan bagi kaum minoritas, suatu konsep yang jauh lebih baik dari sekadar demokrasi.

Debat ideologis sistem ekonomi yang diusung para calon presiden (capres) tampak mulai kehilangan pijakan yang jelas. Sistem ekonomi neoliberalisme yang dikritik tidak jelas neoliberalisme mana yang dimaksud. Karena, paham ini masih terus diperbaiki, terutama setelah krisis global ini. Sistem ekonomi kerakyatan yang diusung pun belum jelas mengacu pada konsep mana. Karena, sejak bangkitnya Cina sebagai kekuatan ekonomi dunia, banyak sekali konsep ekonomi kerakyatan yang berkembang. Sistem ekonomi mandiri pun belum jelas karena siapa pun tahu tidak ada yang dapat berdiri sendiri dalam dunia yang semakin tak berjarak ini.

Sebagaimana zaman Imam Al Syathibi, tidak ada yang meragukan niat baik para capres membangun ekonomi Indonesia. Namun, niat itu dapat mengalami distorsi di sana-sini bila penafsiran ekonominya yang semakin jauh dari Pancasila yang merupakan tafsiran Indonesia dari Maqasid Syariah.

Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang berlandaskan Maqasid Syariah yang memberikan hak dan kewajiban yang sama bagi warga negara tanpa memandang perbedaan agama dan suku bangsa. Imam Ali ketika ditanya hak ekonomi kaum non-Muslim yang hidup dalam wilayah Islam mengatakan, ”Hak kami adalah hak mereka. Kewajiban kami adalah kewajiban mereka.”

Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang menghargai dan melindungi pemilik kapital atau pemilik tenaga dan pikiran. Kemajuan ekonomi Korea pernah mencengangkan dunia pada era 80-an dengan strategi memprioritaskan beberapa chaebo (grup usaha)–ternyata tidak langgeng karena pudarnya jiwa kebersamaan yang selama ini menjadi budaya Korea–menuai reaksi keras dari rakyatnya. Bukankah ini juga terjadi di Indonesia ketika rakyat muak dengan konglomerasi kroni Orde Baru?

Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang cerdas melindungi perekonomian bangsa ini. Ketika Persia dan Romawi mengenakan pajak masuk bagi pedagang daulah Islam (baik yang Muslim maupun non-Muslim), Umar bin Khattab mengenakan pajak yang sama untuk barang yang masuk dari kedua negara itu meskipun tidak dikenal di zaman Rasulullah. Umar tidak pernah khawatir dengan perdagangan internasional selama disikapi dengan cerdas. Rasanya tidak cerdas menyerahkan puluhan, bahkan ratusan juta konsumen Indonesia kepada perusahaan asing.

Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang antikorupsi, baik dalam artian sederhana maupun dalam artian adanya kebijakan yang ditujukan menguntungkan segelintir kelompok usaha karena bertentangan dengan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang dinamis mengantisipasi perubahan. Di zaman Rasulullah, tidak ada zakat atas kuda, namun Umar mengenakan zakat atas perdagangan kuda di negeri Syam karena di daerah itu kuda diperdagangkan sebagai barang mewah. Sebaliknya, Ali mengenakan tarif zakat pertanian yang lebih rendah bila dalam proses membajak tanah menggunakan kuda sebagaimana yang terjadi di daerah Kufah. Dinamika ini sangat penting selama tetap berpegang pada Maqasid Syariah.

Para capres yang tercinta, kembalilah ke Ekonomi Pancasila. Dan, pedoman yang paling pas untuk menafsirkan Ekonomi Pancasila adalah Maqasid Syariah. Barakallahu lakum. May Allah bless you all. ***

....

(Sumber Asli Harian Republika)

The Author:

Adiwarman Azwar Karim – President Director

Mr. Adiwarman Azwar Karim is an icon of Islamic Economics and Finance. He earned degrees from Institut Pertanian Bogor, University of Indonesia, European University (Belgium) and Boston University (USA). Then he was appointed as a Visiting Research Associate at Oxford Center for Islamic Studies in UK. Formerly, he was on the management of Bank Muamalat Indonesia. He is the author of five best selling books in Islamic Banking, Islamic Economics and History of Islamic Economics. He wrote more than 50 papers and presented in the third, the fourth and the fifth International Conference on Islamic Economics sponsored by IDB the 76th Annual Conference of the International Western Economics Association and other international & national forums. Currently, he is appointed as member of the National Sharia Board, Sharia Advisory Board of Bank Syariah Harta Insan Karimah, Sharia Supervisory Board of Great Eastern Syariah Insurance, Prudential Life Assurance, Bank Danamon Syariah, HSBC Syariah (Indonesia), Fortis Investments and UFO-Multi Level Marketing Company. (source: www.karimconsulting.com)


*posted: pkspiyungan.blogspot.com
Baca juga :