Membedah Kontrak Koalisi


"...pembungkaman atas sikap kritis demi terwujudnya Good Goverment Governance adalah pelanggaran terhadap kontrak koalisi.."
---

Oleh: Jaka Arya Pradana*


“Apa gunanya koalisi kalau harus selalu terganggu dengan interupsi-interupsi seperti itu.”

Begitulah ujar Ketua Fraksi Demokrat, Ja’far Hafsah pada tanggal 24 Februari 2011 (Vivanews.com) ketika ditanya soal sikap Partai Golkar dan PKS yang terus mendukung hak angket mafia perpajakan, meski hak angket tersebut juga sebenarnya diinisiatori oleh Sutjipto, Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat sendiri. Wacana perombakan koalisi ini terus bergulir semakin panas. Bahkan kemudian pada taggal 26 Februari 2011, Ketua Partai Demokrat, Anas Urbaningrum juga sempat memberikan sindiran melalui akun twitternya. “Sikap kesatria sangat penting : jelas di dalam atau di luar. Simpel saja”, katanya. Dan akhirnya pada tanggal 28 Februari 2011 Partai Demokrat secara resmi mengusulkan kepada SBY untuk mengeluarkan Partai Golkar dan PKS dari koalisi.

Sebelum membahas hal ini lebih lanjut, ada baiknya kita memahami tentang hak angket terlebih dahulu. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundangundangan.

Dan bila kita membaca Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 kita dapat mengetahui bahwa hak angket memiliki kewenangan yang luar biasa untuk memeriksa pihak-pihak manapun dalam penyelidikan tersebut agar dapat melihat pemasalahan secara jelas dan gamblang dengan terungkapnya hal-hal yang sulit atau bahkan tidak bisa dibuka oleh forum-forum yang lainnya. Tentunya hal ini sangat memudahkan untuk dapat menemukan solusi dari permasalahan tersebut secara komperhensif. Apalagi bila kita mengingat persoalan pajak ini merupakan persoalan yang amat kompleks dan sangat penting karena sekitar 76% pendapatan negara berasal dari sektor ini.

Pidato SBY Dan Kesepakatan

Menanggapi usulan Partai Demokrat tentang koalisi tersebut, akhirnya SBY pun memberikan pandangannya di hadapan publik pada hari selasa sore, 1 Maret 2011. Ada beberapa poin penting yang beliau sampaikan. Antara lain, Ia mengatakan bahwa dirinya dibantu wapres akan mendengarkan pandangan, masukan, dan saran dari seluruh partai koalisi. Selain itu ia menjelaskan bahwa yang akan menjadi rujukan dalam persoalan ini adalah nota kesepakatan yang ditanda-tangani oleh beliau dan pemimpin partai koalisi yang jumlahnya ada 11 poin. “Jika ada parpol yang tidak lagi bersedia mematuhi atau mentaati kesepakatan yang sudah dibuat bersama-sama saya dulu, tentu parpol seperti itu tidak bisa bersama-sama lagi dalam koalisi. Jelas gamblang dan logikanya juga begitu,” tegasnya.

Berkenaan dengan hal ini, tentu sangat menarik bila kita dapat mengkaji poin demi poin dalam nota kesepakatan koalisi yang sempat disinggung SBY. Namun sayangnya nota kesepakatan tersebut sulit didapatkan. Setelah mencoba untuk mencarinya di google, saya hanya menemukan Piagam Kerjasama Partai Demokrat Dan Partai Keadilan Sejahtera Tahun 2009-2014 yang ditandatangani oleh Hadi Utomo selaku Ketua Umum dan Marzuki Alie selaku Sekretaris Jenderal Partai Demokrat juga Tifatul Sembiring selaku Presiden dan Anis Matta selaku Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera di Jakarta, 9 Mei 2009.

Piagam ini adalah kesepakatan awal dalam koalisi, khususnya bagi PD dan PKS untuk menjadi acuan bagi koalisi yang nantinya akan dijalankan, termasuk untuk menjadi acuan bagi nota kesepakatan yang disinggung oleh SBY tersebut. Apalagi pada lampiran huruf C nomor 2 dalam piagam tersebut berbunyi bahwa kesepakatan ini dilaksanakan oleh seluruh anggota parlemen peserta koalisi, yang artinya Partai Demokrat dan PKS bersepakat bahwa nantinya piagam ini bukan hanya akan berlaku bagi Partai Demokrat dan PKS saja, namun juga harus berlaku bagi Partai PAN, PKB, PPP, dan Partai Golkar yang juga tergabung dalam koalisi, yang boleh jadi diterjemahkan dalam bentuk nota kesepakatan yang dijadikan acuan oleh SBY tersebut.

Apalagi bila dilihat dari anatominya yang juga memiliki 11 poin target kerja koalisi (5 di bidang politik, 3 di bidang ekonomi, dan 3 di bidang sosial budaya), semakin wajar bila kita menduga bahwa 11 poin nota kesepakatan koalisi tersebut tak lain seperti yang tertuang dalam Piagam Kerjasama PD dan PKS tersebut. Oleh karena itu saya rasa sangat menarik jika kita mencoba untuk mengkaji fenomena koalisi ini dengan merujuk pada Piagam Kerjasama PD dan PKS.

Checks And Balances

Ada hal menarik yang saya temukan dalam piagam tersebut. Teks pada kalimat terakhir di alinea kedua piagam tersebut berbunyi seperti ini : “Para penandatangan piagam bersepakat untuk bekerjasama memberikan respon atau jawaban dengan mengutamakan prinsip-prinsip kepedulian dan keberpihakan kepada kepentingan Rakyat Indonesia yang mendambakan dan mengharapkan kepastian hidup dan perbaikan hidup, melalui upaya perjuangan dan pemberdayaan parlemen dan pemerintahan yang bersih, terhormat, bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), kredibel serta mampu menjalankan fungsi pengendalian dan keseimbangan (checks and balances) terhadap suatu pemerintahan terpilih yang didasarkan pada sistim presidensial yang kuat, kompak dan efektif. “

Selain itu kita juga dapat membaca dalam lampiran huruf D nomor 1 poin a romawi ii: “Mendorong penegakkan hukum yang sungguh-sungguh dan konsisten tanpa pandang bulu. Aparat/lembaga penegak hukum harus memberikan contoh dan keteladanan.” Pada romawi iv: “Membangun birokrasi yang bersih, peduli dan profesional berbasis meritokrasi dengan mengedepankan prinsip-prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang baik (Good Goverment Governance)”. Belum lagi pada romawi i disinggung untuk mengusung pemimpin yang bersih dan pada romawi iii juga dikatakan bahwa akan mendorong tumbuhnya sistem demokrasi dan politik nasional yang dinamis dan stabil.

Dari poin-poin diatas sebenarnya kita dapat menemukan bahwa semangat yang dimiliki oleh piagam koalisi tersebut adalah semangat keterbukaan, kedinamisan, keberimbangan, dan mendukung terbentuknya pemerintahan yang bersih. Bahkan piagam ini pun menuntut agar mampu melakukan fungsi checks and balances terhadap pemerintah, yang artinya juga mendorong untuk harus bersikap kritis. Maka bolehkan bila ada yang mengartikan pembungkaman atas sikap kritis demi terwujudnya Good Goverment Governance itu sebagai pelanggaran terhadap kontrak itu sendiri?

Sikap Dan Komitmen

Sebagai penutup, saya akan berikan sebuah pertanyaan yang cukup menarik. Bagaimana bila suatu saat Partai Demokrat ternyata melanggar kesepakatan koalisi tersebut. Apa yang akan dilakukan SBY? Beranikah SBY berlaku fair dengan memberikan penaliti pada Partai Demokrat, seperti yang ia katakan dalam pidatonya?

Meski kita sudah melihat sendiri fenomena saling usir diantara sesama peserta koalisi, saya kira tidak perlu heran bila nanti SBY mengutip akhir kalimat pada lampiran piagam kerjasama huruf C nomor 2, bahwa seluruh anggota parlemen peserta koalisi harus berkomitmen untuk menjaga keberlangsungan koalisi sampai akhir masa Parlemen tahun 2014, yang dibarengi dengan mengutip pernyataannya sendiri bahwa ia akan mengacu pada kontrak kesepakatan koalisi tersebut.

Ada satu lagi pertanyaan yang sepertinya akan menjadi pertanyaan yang paling menarik. Bagaimana bila suatu saat SBY sendiri yang melanggar kesepakatan koalisi? Setidaknya kita berharap semoga tidak lagi terdengar pernyataan seperti yang pernah dilontarkan Ruhut Sitompul pada 2 Oktober 2009 (Kompas.Com). Ketika ditanya perihal koalisi saat pemilihan Ketua MPR 2009-2014, salah satu anggota DPR RI dari partai yang dibina SBY ini dengan senyum simpul menjawab, “Politik itu ada seninya. Jangan dong pegang janji,”

*Jaka Arya Pradana. Mahasiswa IT Telkom. Blogger Kompasiana.

*sumber: http://politik.kompasiana.com/2011/03/03/kontrak-dan-komitmen-koalisi/?ref=signin
*posted: pkspiyungan.blogspot.com
Baca juga :