Masih Adakah Lilin Harapan

Oleh Pribakti B. *
Tiba-tiba, masuk seorang bocah ke ruangan itu. Perasaan takutnya menyergap. Dia pun menangis, takut pada gelap. Tangisan itu tak lama, karena dihentikan oleh lilin keempat. "Jangan takut dan jangan menangis selama aku masih ada dan menyala, kita akan selalu dapat menyalakan ketiga lilin lainnya," kata lilin keempat. Itulah lilin "harapan".
---------
Beberapa hari ini saya jadi tempat berkeluh kesah. Beragam unek-unek tentang kehidupan di negeri ini, mulai ekonomi yang terpuruk, tiadanya keadilan, dan kearifan lokal yang menghilang, terlontarkan. Gelombang PHK masal segera tiba. Ada nada marah, gelisah, dan keputusasaan yang tak berujung. Adil dan sejahtera, dua kata yang populer pada setiap pilkada, cuma manis sesaat. Setelah itu, situasi kembali semrawut, bahkan lebih tak karuan.

Semua itu disebabkan banyaknya predikat miring tentang bangsa ini. Disebut, misalnya, bangsa yang sakit, pemalas, penjiplak, pengutang, penipu, pendusta, koruptor, teroris, peracun, tukang gontok-gontokan, dan predikat jelek lain.

Stempel tak sedap itu pun muncul dari berbagai kalangan. Habis, wong jelas-jelas, misalnya, lampu di perempatan menyala merah, eh, nyelonong terus. Polisi di depan mata pun tak digubris, dan memang tak bisa berbuat apa-apa. Negeri ini seperti tak berhukum.

Saat seperti itu, jangan tanya soal kebenaran. Bila tak ingin memanjangkan soal, lebih baik mengalah. Orang mengalah itu bijaksana. Pemaafan itu kemuliaan. Sekali waktu kuping memang harus ditulikan agar terasa lebih mulia.

Namun, untuk predikat bangsa yang "sakit" sepertinya mendekati tepat. Persis saat si pengutang ditagih, dan jawaban dia jauh lebih galak daripada yang mengutangi. Jadinya, menagih hak kok harus merengek-rengek kayak pengemis. Ada pula yang berpura-pura lupa. Apa tidak makan hati? Lebih celaka lagi jika si pengutang membalik omongannya: "Mana bukti utang saya?".

Proses utang-mengutangi yang berbasis kekeluargaan pun akhirnya tererosi pelan-pelan. Padahal, dalam hukum agama, bagi orang yang melalaikan utangnya -walau cuma satu tarikan napas- terancam penyesalan yang tiada akhir dan kerugian yang tiada habis.

Sedih

Yang paling menyedihkan saya ketika bangsa ini dijuluki pemalas. Tapi, apa mau dikata. Coba lihatlah pengemis yang gemuk-gemuk di perempatan jalan, atau para pengamen di warung pinggir jalan yang berisik itu sungguh tak masuk akal. Maksud saya, tak masuk akal malasnya. Belum lagi banyak pegawai negeri yang belum mengerjakan tugas sudah lebih dulu mengeluh tidak sanggup. Bisanya cuma nongkrong, ngobrol, baca koran, ngopi, dan minta gaji naik.

Kepusingan otak semakin nyut-nyut jika kita rajin memelototi layar kaca televisi. Di mana-mana banyak orang antre minyak tanah dan BBM. Keadaan ini diperparah dengan kenaikan harga sembako, seperti beras, gula, dan minyak goreng. Bisa jadi sebentar lagi warung pinggir jalan dan perusahaan bakal kolaps. Lalu bisa ditebak, gelombang PHK bakal tak terelakkan. Dan, yang pasti pendapatan mereka pun makin minim.

Memang harus diakui, sistem penggajian di negeri ini tak proporsional. Perlu penataan ulang. Jaraknya kayak bumi dan langit, hingga memperdalam jurang kemiskinan. Sementara, di mal dan supermarket dipertontonkan orang berlomba menghabiskan uang memborong barang mewah.

Padahal, rakyat miskin, rakyat yang merasa hidup makin sulit, pasti lebih merasakan kepedihan. Rakyat yang tidak punya apa-apa (makanan, pekerjaan, dan harapan) lagi pasti bakal frustrasi. Sebagai "rumput" mereka hanya diinjak-injak. Padahal, gerak akar rumput itulah yang justru mengkhawatirkan. Jika rumput menumpuk ini mengering dan kena sedikit saja percikan api, pemerintah bakal repot.

Lebih celaka lagi, kini banyak orang zalim yang punya otoritas -punya kuasa- malah mengusur orang-orang baik. Maka, zaman pun jadi terbolak-balik.

Untuk itu, Ustad Yusuf Mansur dalam satu tulisannya mengingatkan bahwa sesungguhnya selama ini langkah kita adalah langkah orang-orang salah, langkahnya orang zalim. Tapi, percayalah bahwa Allah pun berkehendak pada keselamatan diri kita.

Itulah harapan Ustad Yusuf Mansur. Persis harapan yang ditulis Paulus Winarto dalam bukunya Reach Your Maximum Potential tentang empat lilin, yang satu per satu mulai meleleh dan padam. Kisahnya dimulai dari Lilin pertama berkata, "Aku adalah damai, namun manusia tidak mampu menjaganya. Jadi, lebih baik aku matikan diriku. Pet!

Lilin kedua mulai berkata, "Aku adalah iman. Sayang, aku tidak berguna lagi. Manusia tidak mau mengenalku. Tidak ada gunanya kalau aku tetap menyala. "Tiupan angin pun mematikannya dalam sekejap. Ruangan mulai agak gelap.

Lilin ketiga ganti berbicara: "Aku adalah cinta. Aku tidak lagi mampu untuk tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan manganggapku berguna. Mereka saling membenci, bahkan membenci pada mereka yang mencintai. Membenci keluarga sendiri." Lilin ketiga pun padam.

Tiba-tiba, masuk seorang bocah ke ruangan itu. Perasaan takutnya menyergap. Dia pun menangis, takut pada gelap. Tangisan itu tak lama, karena dihentikan oleh lilin keempat. "Jangan takut dan jangan menangis selama aku masih ada dan menyala, kita akan selalu dapat menyalakan ketiga lilin lainnya," kata lilin keempat. Itulah lilin "harapan".

Dan bocah itu pun menyalakan ketiga lilin yang telah padam. Jadi? Saya, juga Anda, atau siapa pun yang mengaku bangsa Indonesia, tidak perlu telinganya ditulikan dalam menghadapi keterpurukan bangsa ini. Kita masih punya titik terang. Kita tak boleh tergoyahkan oleh hal-hal yang menyesatkan.

Orang-orang sukses selalu melawan kekalahan dan kesengsaraan tanpa pernah mengenal menyerah dan kecewa. Juga kita, tentunya!

*. Pribadi B., dokter alumnus Fakultas Kedokteran (FK) Unair saat ini staf pengajar FK Unlam Banjarmasin
-----------
sumber: Jawa Pos (22/12/2008)
Baca juga :