Gesekan Antarwarga di Tangsel Bukan SARA, Tapi Terkait Etika Sosial

Gesekan Antarwarga di Tangsel Bukan SARA

TANGERANG, KOMPAS — Gesekan warga lokal dengan sekelompok pemuda di Tangerang Selatan bukan masalah yang dipicu isu suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA seperti yang beredar luas di media sosial. Proses mediasi ditempuh agar perselisihan di antara masyarakat itu tidak merembet ke isu sensitif.

Sejumlah polisi masih berjaga di sekitar indekos di RT 007 RW 002, Kampung Poncol, Kelurahan Babakan, Setu, Kota Tangerang Selatan, Senin (6/5/2024) sore. Kampung Poncol berada tak jauh dari kompleks Universitas Pamulang sehingga tak heran banyak usaha indekos untuk mahasiswa di sana.

Aktivitas warga pada Senin sore seperti biasa dan kondusif meskipun ada penjagaan oleh kepolisian pascakeributan antara warga setempat dan sekelompok mahasiswa, Minggu (5/5/2024) malam.
Kepala Kepolisian Sektor Cisauk Ajun Komisaris Dhady Arsya memastikan kejadian pada Minggu malam hanya masalah komunikasi, bukan masalah yang menyinggung etnis atau agama tertentu.

”Bukan, tidak begitu. Tidak seperti yang beredar. Kita sama-sama jaga keamanan dan kedamaian,” ujar Dhady, Senin.

Dhady menuturkan, memang ada mahasiswa yang sedang berdoa di salah satu indekos. Namun, bukan karena mereka beribadah lalu diprotes warga.

Sebelumnya, warga sudah memberikan teguran karena keramaian yang ditimbulkan oleh para mahasiswa yang kerap berkumpul hingga larut malam. Aktivitas itu mengganggu warga sekitar. Akan tetapi, teguran itu kerap tidak dihiraukan oleh sejumlah mahasiswa.

Puncaknya, pada Minggu malam, warga merasa perlu kembali menegur para mahasiswa itu agar tidak beraktivitas hingga larut malam lagi. Sayangnya teguran itu berakhir pada perselisihan hingga perkelahian antara warga dan kelompok mahasiswa.

Ketua RW 002 Marat mengatakan warga tidak mempermasalahkan kegiatan ibadah. Hanya, dalam beberapa kegiatan mahasiswa kerap berkumpul setidaknya 10-20 orang.

”Karena sudah ditegur sekali dua kali sebelum kejadian ini tidak diindahkan. Bukan mengusir (ibadah), tetapi memang sudah malam. (Salah satu warga dan kelompok mahasiswa) Mereka sama-sama sumbu pendek,” kata Marat.

Saat kejadian, kata Marat, ada seorang warga yang emosi membawa pisau dari rumahnya.

Dhady melanjutkan, ada salah satu penghuni indekos yang menjadi korban, mengalami luka goresan kecil, akibat perselisihan Minggu malam.

”Ada perempuan (korban) luka goresan. Semuanya masih didalami oleh polres (Tangerang Selatan). Penyelidikan kewenangan polres,” ujarnya.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Tangerang Selatan Ajun Komisaris Alvino menerangkan, pihaknya telah menerima laporan dugaan tindak pidana pengeroyokan dan atau penganiayaan.

”Sampai saat ini, kami masih menyelidiki fakta-fakta di lapangan,” ucapnya.

Ibadah itu baik. Hanya tinggal tenggang rasa untuk mengatur kegiatan peribadahan agar tidak mengusik ketenangan warga.

Farhan Rizky (22), salah satu penghuni indekos yang terluka karena terkena pisau. Menurutnya, ia berinisiatif menengahi dan melerai perkelahian. "Gue berusaha melerai pengeroyokan, misahin. Gue netral enggak kenal kanan kiri. Karena gue kasihan saja (melihat ada penghuni kos yang dikeroyok warga)," kata Farhan, Senin (6/5/2024).

Upayanya melerai dan mendamaikan perkelahian itu ternyata membuat Farhan dituduh sebagai bagian teman perkumpulan mahasiswa indekos. Ia kemudian diserang oleh warga yang membawa pisau.

"Gue pikir masalah selesai. Ternyata ada Abang baju merah bawa pisau. Gue teriak kenapa bawa pisau. Gue malah ditodong diperut tapi berhasil gue tahan, tiba-tiba dari arah lain ada seseorang bawa pisau ngarahin ke kepala dan tiba-tiba kepala sudah bocor," ujar Farhan.

Frederikus Legianto (25), salah satu penghuni indekos mengatakan, malam itu ia dan teman-temannya sebanyak 15 orang berkumpul untuk berdoa Rosario rutin memperingati Bulan Maria. Saat doa hampir selesai, ada pengurus RT setempat datang untuk memberitahu agar kegiatan itu segera diselesaikan.

Salah satu warga juga meminta agar mengakhiri kegiatan tersebut. Ketegangan mulai terjadi ketika salah satu kelompok pemuda di indekos dan pemuda warga setempat saling berdebat yang berujung pertengkaran.

"Kami juga tak ingin ada peristiwa ini. Kalau berdoa kami memang rutin. Jangan sampai ada rusuh karena jadi enggak enak," kata pria yang disapa Legi itu.

Salah satu penghuni indekos lainnya yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan, kejadian Minggu malam tak perlu terjadi jika kedua pihak bisa berbicara baik-baik.

"Semoga ke depan baik-baik. Kita belajar di sini. Jadi suasana bisa baik," katanya.

Kepala Kepolisian Resor Tangerang Selatan Ajun Komisaris Besar Ibnu Bagus Santosa mengatakan pihaknya telah menahan terduga pengeroyok dan penganiaya di kasus gesekan antarwarga di Kampung Poncol.

"Masih kami dalami tentang keterlibatan tersebut. Besok (Selasa) kami pers rilis," kata Ibnu.

Etika Sosial

Perwakilan dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Tangerang Selatan, Asep Aziz Nasser, menjelaskan, konflik di Kelurahan Babakan tidak berkaitan dengan persoalan agama, tetapi terkait etika sosial.

”Sebenarnya ibadah itu baik. Hanya tinggal tenggang rasa untuk mengatur kegiatan peribadahan agar tidak mengusik ketenangan warga,” katanya.

Dia menjelaskan, apa yang dilakukan mahasiswa itu merupakan ibadah untuk memperingati bulan Bunda Maria. Ibadah ini seperti pengajian dan boleh digelar di mana saja. Tidak ada yang melarang.

Hanya, pelaksanaannya harus memperhatikan etika sosial. Kebetulan kegiatan ibadah itu diadakan di salah satu indekos yang dekat dengan permukiman warga.

Terkait meletusnya perselisihan, Asep berpendapat, hal itu terjadi karena kebetulan yang berhadapan adalah sama-sama anak muda yang belum bisa mengendalikan emosi.

Untuk mengatasi permasalahan ini, semua pihak terkait, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, termasuk forum kerukunan umat beragama, berkumpul untuk berdiskusi.

”Dan kita sudah satu suara untuk berdamai,” katanya. Mahasiswa pun boleh menggelar ibadah, tetapi tidak boleh membuat gaduh.

Asep mengingatkan bahwa Tangerang Selatan tidak dibangun oleh satu agama saja, tetapi dari berbagai agama. Oleh karena itu, warga harus hidup berdampingan sebagai bentuk harmonisasi.

”Saya berharap konflik ini yang terakhir terjadi di Tangerang Selatan,” ucapnya.

(Sumber: KOMPAS)
Baca juga :