"Alat musik itu benda, dan tidak ada hukum pada benda, yang dihukumi adalah perbuatan!" ~ Benarkah demikian?


"Alat musik itu benda, dan tidak ada hukum pada benda, yang dihukumi adalah perbuatan!"

Benarkah demikian?

Sebelum menjawab, benar atau salah, maka perlu kita sampaikan, bahwa ungkapan di atas, sama dengan contoh-contoh di bawah ini:

• "Smartphone itu benda, dan tidak ada hukum pada benda, yang dihukumi adalah perbuatan!"

• "Pisau itu benda, dan tidak ada hukum pada benda, yang dihukumi adalah perbuatan!"

• "Khamr itu benda, dan tidak ada hukum pada benda, yang dihukumi adalah perbuatan!"

• "Babi itu benda, dan tidak ada hukum pada benda, yang dihukumi adalah perbuatan!"

Ketika saya sebut "smartphone" dan "pisau", mungkin anda langsung mengangguk, tanda merasa paham. Tapi ketika saya sebut "khamr" dan "babi", anda mungkin langsung mengernyitkan dahi, bahkan mungkin ngedumel. Padahal, semuanya sama, sama-sama benda, bukan perbuatan.

Jadi, apakah benar tidak ada hukum pada benda?

Jawabannya, iya. Hukum "wajib", "haram", "mubah", "mandub" dan "makruh", itu berlaku pada perbuatan kita, bukan pada benda itu fi dzatih.

Lalu, berarti salah orang yang menyebut "hukum khamr", "hukum babi", dan seterusnya? 

Jawabannya, tidak salah.

Kok bisa tidak salah?

Jawabannya mudah, karena dalam bahasa Arab, bahkan dalam bahasa Indonesia juga ada yang semisal, ada gaya penyampaian yang meninggalkan/menyembunyikan sebagian lafazh, namun maknanya diketahui dari konteks kalimatnya. Ulama menyebut ini dengan istilah idhmar.

Jadi, maksud "hukum khamr" adalah "hukum meminum khamr" atau semisalnya. Maksud "hukum babi" adalah "hukum makan babi" dan semisalnya. Dan ini berlaku juga pada "hukum alat musik", maksudnya adalah "hukum memainkan alat musik" dan semisalnya.

Semua yang mendalami ilmu syar'i, paham dengan jelas bahasan semisal ini.

Lalu, apakah status alat musik sama dengan smartphone dan pisau, atau sama dengan khamr dan babi?

Ini tergantung pendapat yang anda pilih. Kalau anda mengikuti pendapat sebagian kecil ulama yang membolehkan, maka statusnya sama dengan smartphone dan pisau. Namun bagi anda yang mengikuti pendapat yang masyhur dari empat madzhab dan selainnya, maka status alat musik (kecuali yang dikecualikan) sama dengan khamr dan babi.

Semoga bisa dipahami. Dan saran saya, kalau belum pernah khatam satu kitab fiqih dan kitab ushul fiqih, apalagi belum pernah merasakan capeknya mempelajari kitab-kitab ini halaman demi halaman bersama guru, capeknya menelaah kitab-kitab ini siang dan malam, sebaiknya tahu diri. Diamnya anda, lebih selamat bagi agama anda.

(Ustadz Muhammad Abduh Negara)

Baca juga :