Gaya PKI Memutarbalikkan Fakta
Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam sejarahnya selalu ingin memutarbalikkan fakta. PKI tidak pernah mengakui mereka salah dan meminta maaf. Padahal mereka dalam sejarahnya, jelas-jelas telah memberontak kepada negara dan melakukan pembunuhan yang penuh kekejian.
Ini diantara pemutarbalikan yang dilakukan tokoh-tokoh komunis di Indonesia:
1. Peristiwa Madiun adalah provokasi Hatta
Peristiwa Madiun September 1948 yang ditandai dengan pendirian Republik Soviet Indonesia oleh Muso jelas-jelas ingin mengkomuniskan Indonesia. Saat itu pasukan komunis menyerang dan membantai kiai, santri dan pejabat dengan keji. Mereka membunuh siapa saja yang tidak mendukung Muso atau komunis. Ribuan orang terbunuh dan Muso akhirnya dapat ditangkap dan dibunuh oleh TNI.
Meski peristiwa itu berbarengan dengan jatuhnya kabinet Amir Sjarifuddin yang kemudian digantikan oleh Hatta, tapi Hatta tidak pernah menginstruksikan pemberontakan di Madiun. Aidit pada tahun 60-an berpidato bahwa PKI tidak melakukan kesalahan pada tahun 1948.
2. Gerakan 30 September 1965 adalah pertentangan di dalam Angkatan Darat
Ini juga opini yang dibangun tokoh-tokoh komunis untuk mencuci dosa mereka pada tahun 1965. Bagaimana mungkin terjadi pertentangan, semua jenderal bersatu di bawah Nasution dan Soekarno. Yang memberontak pada tahun 1965 adalah Untung yang berpangkat Letnan Kolonel. Yang terjadi bukan pertentangan dalam Angkatan Darat, tetapi adalah penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh jenderal.
Bukti- bukti pembunuhan dan penculikan yang dilakukan pasukan PKI dibawah komando Untung tidak bisa terelakkan. Selamatnya Jenderal Nasution dari pembunuhan oleh PKI, membalikkan keadaan sehingga PKI akhirnya bisa ditumpas. Coba bayangkan apa yang terjadi bila mereka berhasil membunuh Nasution.
3. Gerakan 30 September 1965 tidak diketahui pimpinan PKI
Ini juga omong kosong yang dilakukan kaum komunis dengan pendukungnya. Harian Suara Rakjat milik komunis pada 2 Oktober 1965 jelas menyatakan bahwa PKI berhasil mengamankan Dewan Jenderal dan membentuk Dewan Revolusi Indonesia di bawah Untung.
Untung yang mengambil alih siaran RRI pada 1 Oktober 1965 menyatakan bahwa telah membentuk Dewan Revolusi Indonesia yang anggotanya sebanyak 45 orang. Aidit sebagai pimpinan tertinggi PKI setelah peristiwa G30S PKI itu melarikan diri menuju bandara Halim Perdanakusuma.
Dalam pidato-pidatonya menjelang 30 September 1965, Aidit menyatakan bahwa bangsa Indonesia telah hamil tua dan siap menyambut bayi yang akan lahir.
4. Soeharto terlibat dalam G30S PKI
Ini juga yang dilakukan PKI. Mereka berdalih bahwa Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad tidak ikut diculik PKI. Mereka menyatakan bahwa Soeharto dekat dengan Untung, Latief dan Syam Kamaruzzaman.
Untung, sepengakuan Soeharto, “Saya mengenal Untung sudah lama dan sejak menjadi Komandan Resimen 15 di Solo, di mana Untung menjadi salah satu komandan Kompi Batalyon 444.”
Batalyon yang bermarkas di Kleco, Solo, tersebut dipimpin Mayor Sudigdo dan dikenal sebagai Batalyon Digdo. Untung yang kelahiran Kebumen tidak asing dengan Solo karena sekolah di Solo. Dalam biografinya, Soeharto menekankan bahwa Untung pernah dapat pendidikan politik dari tokoh PKI Alimin yang termasuk Pahlawan Nasional.
Soeharto yang memimpin Pangkostrad saat itu memang bukan perwira yang menonjol. PKI dendam terutama kepada Yani dan Nasution yang sering bersaing di hadapan Soekarno. Maka jangan heran, Soeharto pada 2 Oktober 1965 menjadi pimpinan sementara Angkatan Darat. Saat itu ia langsung mengumumkan di RRI bahwa gerakan 30 September bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan dan karena itu harus diberantas sampai ke akar-akarnya.
Hubungan Soeharto dengan Nasution sangat harmonis sehingga perlawanan pada PKI dapat dilakukan dengan lancar. Dendam PKI dan anak cucunya kepada Soeharto begitu mendalam, sehingga akhirnya Pak Harto harus lengser dari kursi kepresidenan pada 1998. Mereka sebenarnya ingin mengkriminalkan pak Harto, tapi keburu ia meninggal.
Hilangnya diorama di Markas Kostrad yang berisi patung Soeharto, Sarwo Edhie dan Nasution menunjukkan ada yang tidak senang dengan museum yang mengabadikan peran besar ketiga tokoh itu dalam memadamkan pemberontakan PKI.
5. PKI adalah korban, negara harus meminta maaf
Opini ini diserukan terus menerus oleh kaum komunis hingga saat ini. Bahkan mereka juga mengadakan seruan itu dari negara Belanda. PKI tidak pernah mengakui mereka adalah pelaku pemberontakan 1948 dan 1965.
Mereka selalu menyatakan bahwa mereka adalah korban kebijakan orde Baru dan jumlah korban mereka jutaan. Padahal mereka tidak pernah menyampaikan bukti korban yang berjumlah jutaan itu. Korban pembalasan terhadap aksi kekajaman PKI hanyalah ribuan atau puluhan ribu orang berdasarkan pada beberapa penelitian.
Taufiq Ismail menyatakan bahwa dalam sejarahnya di berbagai negara kaum komunis telah membunuh sedikitnya 120 juta orang. Lenin, Stalin, Mao dan kawan-kawannya telah membunuh jutaan orang dan mereka menganggap bahwa hal itu biasa dalam revolusi.
Pemutarbalikan fakta yang dilakukan kaum komunis di Indonesia kini terus berlangsung. Baik lewat buku, media sosial bahkan buku-buku pelajaran.
Jenderal Nasution menyebutnya sebagai fitnah. Dalam amanatnya ketika menguburkan para perwira yang dibunuh oleh PKI itu Nasution menyatakan:
“Rekan-rekan adik-adikku sekalian, saya sekarang sebagai yang tertua dalam TNI yang masih tinggal bersama yang lainnya, akan meneruskan perjuanganmu, membela kehormatan kamu.
Menghadaplah sebagai pahlawan, pahlawan dalam hati kami seluruh TNI, sebagai pahlawan menghadaplah kepada asal mula kita yang menciptakan kita, Allah Subhanahu Wata’ala. Karena akhirnya Dialah Panglima Kita yang Tertinggi. Dialah yang menentukan segala sesuatu, juga atas diri kita semua.
Tetapi dengan keimanan ini juga kita semua yakin bahwa yang benar akan tetap menang dan yang tidak benar akan tetap hancur. Fitnah-fitnah lebih jahat daripada pembunuhan, fitnah berkali-kali lebih jahat daripada pembunuhan.” Wallahu azizun hakim.
Oleh: Nuim Hidayat, Ketua DDII Depok (2012-2021), Anggota MIUMI dan MUI Depok
(Sumber: SuaraIslam)