Memoar Warga Aceh: Ingat Tsunami Ingat FPI
Oleh: Yopi Ilhamsyah (Dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh)
Saya adalah warga Banda Aceh yang selamat dari kejadian Gempa Bumi dan Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004. Selepas gempa besar pada Minggu pagi sekitar jam 08.00 WIB, 15 menit kemudian orang-orang dari arah pantai berlarian sembari berteriak air laut naik. Saya yang belum mengetahui kejadian sebenarnya ikut berlari sampai di jalan raya saya terperanjat melihat air hitam membentuk dinding setinggi toko dua lantai dengan buih di atasnya.
Ramai orang mulai memanjat pepohonan di pinggir jalan. Saya pun berpikir untuk naik ke atas pohon. Kala itu semua pohon penuh dengan orang. Saya menaksir satu pohon dipenuhi puluhan orang hingga bergantungan di pucuk dan dahan pepohonan. Bahkan pohon pepaya pun turut dipanjat orang. Saya mencoba memanjat pohon asam jawa, baru naik tiba-tiba saya ditendang orang dari atas. Kala itu, saya menggendong seorang anak kecil berumur 4 tahun.
Dalam tulisan ini, saya menyebut anak tersebut dengan sebutan adik kecil. Adik kecil ini adalah putra dari dosen saya. Saya mendapati si kecil berlari sendiri terpisah dari ibunya di pinggir jalan raya. Saya menarik dan menggendongnya sembari berlari menghindari gulungan ombak Tsunami.
Dalam pelarian di tengah kepanikan tiba-tiba terdengar nyaring di telinga saya suara "dek naik lantai 2", saya mencoba mencari asal suara. Ada rumah berlantai dua tapi masih jauh di seberang sana. Saya berlari ke arah rumah berlantai dua diikuti gelombang Tsunami beberapa meter di belakang saya. Syukur pintu rumah tersebut terbuka dan tangga menuju lantai dua langsung tampak saat masuk ke dalam rumah. Alhamdulillah saya dan si adik kecil selamat.
Hari ke-2 selepas memulangkan adik kecil ke ayahnya dan mengetahui keberadaan serta kondisi adik saya dalam keadaan baik setelah Tsunami menerjang kontrakan rumah kami. Terpikir oleh saya kala itu untuk mengenang peristiwa dahsyat ini. Saya dan teman-teman kemudian sepakat untuk menyusuri reruntuhan kota Banda Aceh dan wilayah yang terdampak di sekitarnya dari timur laut hingga barat daya dari tenggara ke barat laut hingga mencapai bibir pantai dengan berjalan kaki. Sayangnya kamera handphone 16 tahun silam belum sebagus sekarang dan kami tidak memiliki kamera digital untuk dokumentasi.
Saya mengenang keberanian dan keikhlasan teman-teman Front Pembela Islam (FPI) kala melakukan evakuasi jenazah korban Tsunami. Saya melihat kehadiran teman-teman FPI di sekitar wilayah Banda Aceh yang terdampak Tsunami pada hari ke-4 pasca Tsunami. Relawan FPI yang bertugas mengevakuasi jenazah korban Tsunami di Aceh nantinya dikenal warga dengan sebutan tim pemburu mayat.
Teman-teman FPI mulai menjejaki para korban yang telah meninggal dunia. Kebanyakan jenazah ditemukan di bawah timbunan bukit-bukit sampah. Dengan peralatan seadanya, teman-teman FPI membongkar bukit-bukit sampah tersebut guna diambil jenazah yang terkubur di bawahnya.
Saya melihat teman-teman FPI bekerja tulus tanpa ada perasaan jijik. Tidak tampak pula mereka menggunakan masker. Memasuki hari ke-4 pasca Tsunami tentu jenazah-jenazah tersebut sudah berubah pula keadaannya. Mereka mengangkat satu demi satu jenazah hanya menggunakan sarung tangan. Sementara di kalangan masyarakat saat itu sudah beredar peringatan agar berhati-hati dalam mengevakuasi jenazah. Untuk memasuki wilayah terdampak yang didominasi sampah dan bangunan-bangunan yang hancur akibat Tsunami, para relawan harus terlebih dahulu mendapatkan vaksinasi tetanus serta pemeriksaan medis lainnya.
Alhamdulillah saya tidak mendapati berita tentang teman-teman FPI yang menderita sakit selepas bertugas mengevakuasi jenazah.
Saya juga mengenang teman-teman FPI yang memuliakan para korban musibah Tsunami dengan sebutan syahid. Jika mereka menemukan jenazah, mereka menyebut "ada yang syahid disini". Jenazah syuhada Tsunami tersebut sudah empat hari terendam di bawah tumpukan sampah yang masih tergenang air. Kita dapat membayangkan saat syuhada-syuhada Tsunami tersebut diangkat dari tempat lembab berhari-hari. Terkadang saya mendapati saat diangkat ada anggota tubuh yang terlepas atau kulit yang mengelupas saat dipegang. Keadaan jenazah tersebut sungguh mengenaskan. Namun demikian, teman-teman FPI tetap ikhlas dalam misi mulianya.
Saya mengenang pula ketelitian dan kesabaran teman-teman FPI kala menemukan jenazah perempuan. Teman-teman FPI membersihkan tumpukan sampah di sekitarnya terlebih dahulu sebersih-bersihnya. Setelah memastikan jenazah aman untuk diangkat, barulah kemudian jenazah tersebut dievakuasi.
Umumnya perempuan memiliki rambut yang panjang, acapkali rambut-rambut tersebut terlilit pada sampah. Jika sampah di sekitarnya tidak benar-benar dibersihkan, maka tarikan rambut yang masih tertahan di sampah, saat dilakukan evakuasi, dapat mengupas kulit kepala hingga tampak isi kepala syuhada Tsunami berjenis kelamin perempuan ini.
Sementara itu cairan-cairan yang keluar dari jenazah boleh jadi dapat menimbulkan penyakit seperti peringatan yang beredar di masyarakat kala itu. Alhamdulillah tidak ada teman-teman FPI yang terpapar penyakit. Allah menjamin keselamatan teman-teman FPI yang sedang berupaya melaksanakan fardhu kifayah. Lewat tulisan ini saya ingin mengucapkan terima kasih atas aksi-aksi kemanusiaan yang dilakukan teman-teman FPI kala Tsunami Aceh. Kehadiran organisasi masyarakat Front Pembela Islam berdampak positif di tengah masyarakat Indonesia.[]