[PORTAL-ISLAM.ID] Suatu hari, di atas pesawat perjalanan Padang-Jakarta, saya berjumpa dengan seorang gubernur di wilayah Jawa. Beliau duduk di kursi paling depan, dan saya berada persis di belakangnya. Beliau sendirian dan kursi sebelahnya kosong. Di kelas bisnis, kursi memang hampir selalu banyak yang kosong. Saya ijin untuk duduk di sebelahnya.
Kami sudah saling kenal, meski baru ketemu hari itu. Empat tahun sebelumnya kami sering komunikasi via WA. Bahkan Sang Gubernur pernah utus ajudannya khusus untuk ketemu saya.
Singkat cerita, kami ngobrol panjang lebar. Temanya tentu tentang urusan negara dan dinamika politik di Indonesia. Saat pesawat landing dan sebelum kami berpisah, satu kalimat yang beliau sampaikan ke saya: “2024, Anies-… (gubernur itu sebut nama dirinya) boleh tuh”. Bagus juga, kata saya merespon. Bukan sekedar untuk menyenangkan, tapi beliau juga punya track record cukup bagus. Cocok jadi cawapres.
Anies Baswedan, orang menyebutnya “Gubernur Indonesia” sedang jadi rising star. Namanya tidak saja menasional, tapi sudah meng-global. 2019 belum beranjak, presiden dan wakil presiden belum juga dilantik, nama Anies sudah santer dibicarakan orang untuk 2024. Ini terjadi karena pertama, ekpektasi rakyat ke presiden dan wapres terpilih saat ini tak terlalu besar. Tak sedikit rakyat malah kehilangan ekpektasi. Track record incumben sudah bisa dibaca lima tahun sebelumnya. Dapat diprediksi apa yang akan dilakukan dan apa yang akan terjadi lima tahun kedepan. Tak membuat penasaran.
Kedua, banyak rakyat yang kecewa. Setidaknya dari 44 persen rakyat tidak mendukungnya di pilpres 2019. Ini jika mengacu pada hitungan KPU. Belum lagi jika dikaitkan dengan “catatan” rakyat terhadap hasil hitungan KPU.
Ini tantangan terberat buat Jokowi. Mampukah ia mengembalikan kepercayaan rakyat yang terus menipis? Cara yang paling efektif adalah membuktikannya dengan hasil kerja, terutama pada aspek ekonomi, lapangan kerja, stabilitas harga, kedaulatan pangan dan kepastian (keadilan) hukum. Kalau ini semua beres, kepercayaan rakyat kepada Jokowi akan kembali. Tapi, kalau hanya sibuk dengan program “rekonsiliasi”, maka substansi persoalan bangsa yang menjadi faktor rakyat kecewa tak akan tersentuh. Pemerintahan henya akan memproduksi kegaduhan politik untuk waktu yang panjang. Jangan sampai ada kesan bahwa pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan “tergaduh” di sepanjang sejarah demokrasi Indonesia.
Sumber utama kegaduhan bangsa ini bukan politik identitas. Ini yang sering orang salah paham. Sumber utamanya itu “hasil kerja dan sikap pemerintah”. Politik identitas di Indonesia dari dahulu kala sudah ada. Mudah diatasi kalau kinerja dan komunikasi politik pemerintah baik.
Dua faktor di atas yaitu hilangnya ekspektasi dan kekecewaan rakyat telah mendorong sebuah harapan lahirnya pemimpin baru, meski masih lima tahun mendatang. Dan nama Anies Baswedan muncul. Santer dibicarakan orang di hampir semua media. Pro-kontra itu hal biasa. Malah semakin tinggi eskalasinya, justru akan menaikkah “brand” Anies.
Merespon diskusi rakyat dan santernya di media itulah seorang gubernur di salah satu wilayah di Jawa membaca adanya peluang masa depan: Anies Presiden 2024-2029. Iapun berminat mendampingi Anies sebagai calon wapres. Ini langkah dan sikap politik yang realistis dan juga rasional. “Jika engkau belum jadi singa, berpasanganlah dengan singa”, begitu nasehat orang sukses.
Tak hanya seorang gubernur, partai politik pun sudah mulai terang-terangan meminang Anies. Diantaranya adalah Nasdem. Surya Paloh, ketum Nasdem dan pemilik Metro TV ini berjumpa dengan Anies dan menyatakan dukungannya untuk maju 2024. Lahiriyah dan batiniyah. Tak tanggung-tanggung. Surya Paloh curi start.
Dalam konteks ini Surya Paloh dikenal punya insting yang cukup tajam. Berdasarkan recordnya, Nasdem termasuk partai yang pertama kali mendukung Jokowi nyapres 2019. Sebelumnya, di 2018, Nasdem juga yang pertama kali mencalonkan Ridwan Kamil jadi cagub Jawa Barat. Jauh sebelum pendaftaran pigub. Dan sekarang, giliran Anies Baswedan yang dicapreskan. Padahal, 2024 masih lima tahun lagi.
Publik tahu, Anies punya kedekatan dengan PKS, PAN dan Gerindra. Begitu juga Anies dekat sekali dengan Jusuf Kalla, yang sedikit banyak punya kekuatan pengaruh terhadap Golkar. Tapi Nasdem curi start. Takut ketinggalan. “Sekarang, saya fokus menuntaskan tugas dan tanggung jawab saya di DKI”, respon Anies ketika mendapatkan tawaran nyapres dari Nasdem. Sebuah jawaban yang etis dan diplomatis.
Sebenarnya, jelang pilpres 2019, sejumlah partai menawarkan tiket ke Anies untuk jadi calon presiden. Prosentasenya lebih dari 20 persen syarat minimal nyapres. Anies tegas, akan tetap fokus bekerja di Jakarta. Apalagi ada Prabowo yang nyalon. Gak mungkin Anies mau melawan Prabowo, Sang mentor dan King Maker saat Anies nyagub di DKI. Apa kata dunia? Saya pun ikut merayunya. “2019, saya tak akan berkompetisi dengan Pak Prabowo, titik!” Tolak Anies atas rayuan saya.
Bahkan kabarnya, ormas terbesar di Indonesia pun menemui Anies dan memberi dukungan kepadanya jika Anies bersedia nyapres 2019. Anies-pun menolaknya. Tetap memilih fokus menjalankan tugas dan menyelesaikan tanggungjawabnya membenahi Jakarta. Dan ketika Prabowo juga menawarinya jadi cawapres, Anies tetap dengan jawaban yang sama: ” ingin fokus membenahi Jakarta dulu”. Hasilnya, Jakarta mendapatkan tidak kurang dari 22 penghargaan. Sampai disini, Anies membuktikan ucapannya. Benahi Jakarta, dan terbukti prestasinya cukup layak dibanggakan oleh warga Jakarta. Ini yang membuat warga di luar Jakarta ngiri, ingin punya gubernur seperti Anies.
2024, Anies tak cukup punya alasan untuk menolak jika ada tawaran nyapres. Inilah ruang yang dimanfaatkan oleh para tokoh, partai, dan ormas untuk merapat dan persuasi membujuk Anies.
Jika benar 2024 Anies maju menjadi capres, hampir dipastikan akan banyak partai yang berminat mengusungnya. Jika ini terjadi, Anies bisa menjadi calon terkuat. Tentu dengan catatan: pertama, Anies bisa mempertahankan dan bahkan meningkatkan prestasi yang telah diraihnya sekarang. Kedua, tetap stabil menghadapi berbagai skenario perlawanan terhadap dirinya.
Siapapun yang berminat nyapres di 2024, langkah paling efektif adalah menghancurkan nama Anies. Negatif dan black campaign jadi pilihan. Ini ironis dalam konteks demokrasi. Tapi, itulah yang terjadi selama ini. Proses ini nampaknya sedang berjalan. Menghadapi ini, Anies kelihatan tetap stabil emosinya dan tak mudah terpancing.
Jakarta, 29/7/2019
Penulis: Tony Rosyid