[PORTAL-ISLAM.ID] Gak habis pikir! Semua aktifitas negara ini didominasi untuk kepentingan pilpres. Seolah tak tersisa ruang untuk kegiatan yang lain.
Rakyat terbelah dan dibenturkan. Isu-isu sensitif dijadikan trigger permusuhan. Opini tentang HTI, Wahabi, ISIS dan Islam radikal terus diproduksi untuk memancing kebencian, kekhawatiran dan kemarahan sekelompok ormas dan massa. Politik identitas telah melampaui batas kewajaran. Sudah tak waras! Anehnya, kok ya percaya.
Rakyat menonton video sejumlah gubernur, walikota, bupati dan camat ramai-ramai memberi dukungan kepada capres-cawapres tertentu. Video itu sengaja diviralkan, baik via media mainstrean maupun medsos. Kita juga temukan tanda tangan beberapa lurah untuk mendukung dan memenangkan Paslon tertentu. Dukungan yang terbuka. Para menteri jadi dirijen yang bertugas untuk menyeragamkan dukungan itu. “Kalau saya bilang dana desa…, jawab… Jokowi…, gitu ya” ajak seorang menteri.
Lurah, camat, walikota/bupati dan gubernur itu pemimpin rakyat. Mestinya mereka netral, demi menjaga situasi agar kondusif. Seperti ASN, TNI dan Polri, mereka milik rakyat dan digaji oleh rakyat.
Mereka kemungkinan ingin netral. Karena posisi mereka adalah pemimpin untuk semua rakyatnya. Bukan pemimpin bagi pendukung Paslon tertentu. Para kepala daerah ini tak ingin berhadapan dengan warganya sendiri. Dengan begitu, rakyat merasa diayomi, dan suasana menjadi kondusif. Tidak gaduh. Posisi paling pas bagi mereka adalah berada di tengah dan netral. Keberpihakan kepala daerah kepada Paslon tertentu justru berpotensi jadi sumber kegaduhan bagi warganya.
Para kepala daerah tentu ingin bisa selalu berinteraksi dengan -dan dapat partisipasi dari- semua warganya yang beragam pilihan. Mesti berada di tengah dan mendamaikan. Sikap ini akan lebih menarik simpati. Malah bisa jadi investasi, khususnya bagi walikota/bupati dan gubernur yang ingin nyalon lagi di periode berikutnya. Lebih baik mereka sibuk dengan program pembangunan daerah, dari pada buang-buang waktu, energi dan dana untuk kampanye yang bukan bagian dari kepentingannya. Tapi, mengapa mereka ikut kampanye? Ada yang tak beres. Seperti ada kekuatan besar yang membuat mereka “terpaksa” harus melakukan itu semua.
Lalu, apa bedanya dengan masa rezim Orde Baru? Semua dikontrol dan dikendalikan secara terang-terangan. Inikah yang disebut dengan perang total itu? Begitulah kira-kira yang ada di kepala rakyat.
Anda bayangkan, jika nanti Prabowo-Sandi yang menang. Bagaimana sikap para kepala daerah itu, setelah beramai-ramai berada di kubu sebelah. Dan bagaimana pula nasib mereka di pilkada berikutnya? Apakah rakyat masih akan memilih mereka? Tidak saja pilkada, dalam menjalankan tugas pemerintahan, mereka hampir pasti akan kehilangan kepercayaan dan dukungan dari rakyat yang telah memenangkan Prabowo-Sandi. Apakah situasi ini sudah mereka pikirkan?
Kami terpaksa! Kenapa terpaksa? Berani jadi pemimpin, berani ambil risiko. Pemimpin kok mudah dipaksa-paksa. Cemen! Pemimpin itu bekerja pakai nurani rakyat, bukan kerja paksa.
Ketika sejumlah kepala daerah dinyatakan melanggar karena memberi dukungan kepada paslon tertentu, hanya dapat teguran. Ketika salah seorang kepala desa melakukan hal yang sama, dapat hukuman. Apakah karena yang didukung berbeda? Memori rakyat tak akan pernah lupa atas ketidakadilan ini.
Selain dana desa, THR juga mau dimajukan. Soal waktu, tak ada masalah. Mau kapan aja bisa. Bagi ASN, itu berkah. Mereka pasti senang. Hanya saja, apa alasan rasional THR dimajukan? Kalau alasannya untuk menyenangkan ASN, agar mereka berterima kasih lalu pilih Paslon tertentu, tentu keputusan ini tak semestinya dilakukan. Mengapa semua harus diarahkan untuk kepentingan pilpres? Jika ini terus dipaksakan, rakyat justru akan kehilangan simpati. Ini berpotensi jadi hukuman di 17 April 2019 nanti.
Viral video pasukan hitam yang membawa rangsel besar berisi sembako. Ada emak-emak yang paksa warga untuk terima bantuan. Mereka keliling kampung, bagi-bagi sembako kepada warga yang sudah ada daftar namanya. Untuk apa? Dukung Paslon tertentu. Meski banyak warga menolaknya. Artinya, rakyat masih punya nurani, kendati dalam keadaan susah ekonomi. Suaranya gak bisa dibeli dengan semangkok sarimi.
Tukang ojek juga ambil bagian tugas ini. Antar sembako ke rumah-rumah sesuai daftar yang sudah diberikan. Banyak juga yang menolak, begitu kata Abang Ojek. Tujuannya sama: pilih Paslon tertentu. Dimana Bawaslu? Begitulah pertanyaan warga selama ini.
Entah dimana akal sehat kini berada. Pilpres menelan dan menghancurkan tidak saja norma dan etika, tapi juga akal sehat rakyat. Aturan diabaikan dan tak lagi berfungsi. Dan rakyat terus dibenturkan.
Pers yang seharusnya berperan jadi alat kontrol sosial tak lagi berdaya. Bungkam! Aparat? Terkait dengan pilpres, agak sulit untuk bisa diharapkan netral dan berada di tengah. Walaupun demikian, rakyat harus tetap dan terus berharap. Karena hanya itu yang bisa dilakukan.
Bahkan Dwi fungsi TNI mau dihidupkan kembali. Tidakkah salah satu hasil reformasi adalah mengembalikan TNI ke barak? Kenapa harus dihidupkan kembali? Demi pilpres? Ironis!
Bagi rakyat, siapapun yang akan terpilih jadi presiden, mereka terima. Legowo. Yang terpenting, pilpres berjalan dengan jujur dan adil. Menghargai hak-hak demokrasi rakyat tanpa tekanan dan intimidasi. Juga tanpa money politic dan bagi-bagi sembako. Itu saja harapan rakyat.
Jangan sampai, demi ambisi kemenangan, demokrasi dikorbankan. Jangan biarkan reformasi yang dibangun bangsa ini selama 20 tahun terakhir dikorbankan hanya untuk pilpres. Tidakkah hasil nyata dari reformasi adalah demokrasi. Diantara bagian dari demokrasi adalah kebebasan rakyat, kemerdekaan pers, netralitas ASN dan aparatur negara serta mengembalikan TNI ke barak untuk bertugas kembali sebagai penjaga kedaulatan NKRI. Itulah produk reformasi. Jika semua itu pun dikendalikan, itu artinya demokrasi juga telah mati. Lalu, masih adakah yang tersisa dari reformasi?
Jakarta, 25/2/2019
Penulis: Tony Rosyid