Untuk jadi Kepala Sekolah bayar hingga RATUSAN JUTA

Indonesia Kekurangan 50 Ribu Kepala Sekolah?

Sebenarnya, Indonesia Tidak Kekurangan Kepala Sekolah. Tetapi....

Sebenarnya, Indonesia itu tidak kekurangan kader dari Guru untuk mengisi 50 ribuan pos-pos jabatan kepala sekolah. Banyak kok Guru yang berpotensi jadi kepala sekolah. Jika ada syarat, Kepala Sekolah harus dari Guru Penggerak, maka juga sebenarnya banyak sekali Guru yang berpotensi jadi Guru Penggerak.

Salah satu sebab, mengapa Indonesia kekurangan Kepala Sekolah Negeri, sampai PLT kok lama sekali menjabat, tidak ada yang mengisi, antara lain karena buruknya sistem birokrasi di negeri ini, yang menetapkan "tarif" atas pos-pos jabatan di pemerintahan, salah satunya adalah Kepala Sekolah Negeri.

Saat menjabat Kepala Sekolah, saya punya kolega yang bertahun-tahun hanya puas jadi Wakil Kepala Sekolah. Bahkan beliau adalah ruhnya sekolah negeri tersebut, sekalipun Kepala-nya berganti-ganti. Pernah beliau dicalonkan Kepala Sekolah beberapa kali, tapi akhirnya tidak jadi. Bukan karena tidak punya kompetensi. Tetapi,...

Saya pun bertanya kepadanya, "Dhe, njenengan pun dicalonkan kepala sekolah kok boten siyos dados leh Dhe?" (Dik, anda sudah dicalonkan jadi Kepala Sekolah kok gak jadi?)

Beliau menjawab, "Nganu Mas, kudune mbayar. Aku ora oleh Ibukku." (Saya harus bayar. Ibu melarang)

Saya tanya, tarifnya berapa untuk ukuran Kepala SMP Negeri saat itu. Beliau menjawab, "Kalau untuk pertama kali promosi, bayar 150 Juta Mas. Kalau pindah ke sekolah yang favorit, ya tarifnya lain. Wis aku ikhlas, selawase dadi wakil lah ora opo-opo mas."

Saya pun terkejut. Saya yang saat itu masih lugu, karena baru pertama kali terjun di bidang pendidikan secara langsung, baru tahu bahwa ternyata di birokrasi Indonesia itu "TIDAK ADA MAKAN SIANG GRATIS"

Di birokrasi Indonesia ada budaya "TERIMA KASIH", maksudnya, kalau kamu menerima sesuatu, ya harus mau ngasih. Ini adalah matarantai korupsi yang sistemik. Menjabat Kepsek Negeri berbayar, karena menjabat Kepala Dinas berbayar, akhirnya ada tarif untuk jabatan dibawah kedinasan. Kepala Dinas berbayar, karena Bupati juga modalnya banyak. Untuk mengembalikan modal, butuh menyerap dana dari seluruh bawahannya.

Lain hari, ada kolega lain, Kepala Sekolah Negeri yang dicalonkan jadi Kepala Dinas dalam edaran resmi. Saat bertemu beliau, saya ucapi selamat, "Selamat ya Dhe, dicalonkan jadi Kepala Dinas."

"Halah Mas, ngono iku mung formalitas thok.
Ethok-ethoke seleksi, asline yo wis do ngerti sing dadi sopo? Wong aku iki ora nduwe duit kok, yo ora ngarah dadi."

"Lha mbayare pinten Dhe?"

Beliau menjawab sekian M.

Dalam kisah lain, ada salah satu pengurus Yayasan Arwaniyyah Kudus yang akan dicalonkan menjadi Kepala Dinas Pendidikan. Oleh pejabat setempat, beliau diminta menyetorkan uang sekian M. Sebelum menerima tawaran itu, beliau sowan kepada Abuya KH Muhammad Ulin Nuha Arwani, memohon izin dan pertimbangan. Ternyata, Abuya Ulin tidak mengizinkan. 

Abuya dhawuh, "Pak, menawi njenengan kersa nampi jabatan sing kados ngoten niku, artosipun kedah mbayar, niku kalebet suap. Menawi njenengan dadose kok jalur nyuap, gaji njenengan ingkang njenengan tampi saking mriku, selawase hukume haram!"

Akhirnya, beliau tidak berani melanggar dhawuh Abuya Ulin. Beliau tetep ngestuaken dhawuh, walaupun akhirnya tidak jadi menjabat Kepala Dinas. 

Parahnya lagi, karena dianggap melawan titah Bupati dan menjadi oposisi, beliau yang kandidat Kepala Dinas Pendidikan itu dipindahtugaskan ke DINAS PEMADAM KEBAKARAN! 

Coba, apa korelasinya? Ketemu pirang perkara? 

Inilah salah satu bentuk kejamnya birokrasi di Indonesia. Tapi, akhirnya beliau ikhlas menerima, dengan keyakinan bahwa semua hal jika dilakukan secara ikhlas akan berkah. 

Beliau jadi petugas Damkar saat Matahari Kudus kebakaran, jadi ada manfaat yang tetep bisa dihadirkan di masyarakat. 

Beliau cerita, bahwa nderekke dhawuh Guru itu selamet. Walaupun tidak punya jabatan yang tinggi, hidupnya tetap berkah dan menentramkan hati.

Walaupun korupsi, suap, nepotisme masih ada dimana-mana, di setiap sudut negeri ini. Saya tetap berharap dan mendoakan yang terbaik untuk negeri ini. Karena mendoakan negara itu pahalanya besar. Jika negaranya aman, baik dan sentosa, maka sudah barang tentu segalanya akan ikut baik, maju dan sejahtera.

(sumber: fb Sahal Japara)

Baca juga :