Ribut terkait buku traveling ke Negeri Syi’ah
Si penulis punya hobi travelling. Sampailah dia menginjakkan kaki di Iran. Selama disana, ia melihat dan merasakan perayaan Karbala, berinteraksi dengan warga lokal, merasa kebaikan orang-orang Iran. Si penulis tak sekalipun mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan seperti kecopetan atau dibegal. Negerinya indah, kotanya bersih, makanannya kaya rempah, banyak situs bersejarah, wanitanya cantik nan ramah.
Begitulah kira-kira kesan yang didapat oleh si penulis saat travelling di Iran. Semua yang dialaminya itu lalu ditulis menjadi sebuah buku berjudul “Lelaki Sunni dikota Syi’ah”.
Mizan sebagai penerbit buku lalu membuat serangkaian teknik marketing dan promosi, salah satunya dengan memanfaatkan media sosial. Sang penulis dibranding sedemikian rupa karena menulis cerita tentang syi’ah di Iran secara realistis nan humanis.
Begitulah bisnis marketing dibidang penerbitan buku. Sebagai publisher, Mizan punya kepentingan bagaimana supaya buku-buku terbitannya laku sekian juta eksemplar. Apakah sebuah buku diganjar penghargaan Pulitzer atau Ramon Magsaysay, jelas menjadi prioritas paling akhir. Yang penting buku harus terjual sesuai target awal.
Gue sendiri uda baca buku yang ditulis oleh Iqbal Aji Daryono itu. Kebetulan sedari dulu emang suka dengan buku-buku bertemakan travelling. Penulis favorit gue tentu saja mbak Trinity. The Naked Traveler selalu sukses bikin pembaca tertawa terbahak-bahak. Gaya bahasanya ringan, menyajikan realita, penuh canda dan tawa.
Bagaimana dengan buku karya Iqbal Aji Daryono? Bagus kok. Membacanya serasa berada di Iran. Sebagaimana buku traveling, pembaca diajak untuk mengenal beberapa situs sejarah, adat dan tradisi masyarakat Iran.
Apakah setelah membaca tuntas buku itu gue jadi berpindah aliran dari sunni menjadi syi’ah? Enggak tuh. Sholat tetap seperti biasa, sujud gak pake turbah yang jadi ciri khas aliran syi’ah.
Orang kayak gue yang gak pernah mau mengkultuskan individu tertentu, gak punya ustad favorit, gak punya politisi pujaan, gak fanatik pada satu mazhab atau aliran, sudah barang tentu sangat sulit untuk dipengaruhi hanya dengan isi dari sebuah buku. Beli buku bertema traveling hanya untuk menambah khazanah akan dunia luar. Mau penulisnya islam kek, kristen kek, hindu kek, atheis kek, sama sekali gak jadi soal.
Ujug-ujug rame dimedia sosial, Iqbal sang penulis buku dan Mizan sebagai publisher diberi stempel syi’ah oleh sebagian netizen. Ya gak papa. Semua itu hak personal, karena sudut pandang manusia dalam menyikapi sebuah tulisan bisa beragam.
Jadi ingat dulu bapak sempat menegur gue ketika pulang ke Pontianak sambil menenteng novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
“Waduh….. Anak bapak kok baca bukunya orang PKI? Pramoedya itu komunis tulen. Hati-hati, nanti bisa jadi kiri,” kata bapak memberi warning, tapi gak bisa melarang.
Bapak emang gak bisa melarang, karena sedari kecil gue dibebaskan untuk membaca apa saja. Bobo, Aku Anak Saleh, Forum, Gatra, Tempo, Sabili, Intisari, Hidayatullah.
“Pak, ini hanya sebuah karya sastra. Yang Ruby nikmati adalah alur ceritanya. Sama aja kayak baca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya buya Hamka. Relasi antara Zainuddin dan Hayatilah yang dinikmati oleh pembaca.”
Jawaban itu membuat bapak manggut-manggut lalu membiarkan gue lanjut membaca Bumi Manusia.
Begitulah. Mau diblejeti dengan teori-teori ekonomi liberal ala Adam Smith juga gak bakal terpengaruh. Apalagi cuma baca buku bertema traveling ke Iran. Tapi yang namanya persepsi selalu membuat pandangan kita akan sebuah hal jadi beragam.
Memberi stempel Iqbal sebagai penganut syi’ah, sesat, adalah hak personal setiap orang. Tapi jangan lupa, Iqbal juga punya hak untuk menulis apapun. Mizan hanyalah perusahaan penerbitan buku yang ingin mendapatkan keuntungan. Sama seperti kalian yang berprofesi sebagai pedagang.
Yang buat kita gelisah saat ini sejatinya bukan syi’ah, bukan pula ideologi kiri. Tapi konten pornografi yang semakin mudah diakses lewat berbagai perangkat teknologi.
Awasi anak-anak kita saat bermain smartphone. Karena pengaruh seorang Iqbal Aji Daryono gak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kakek Sugiono. Anak SD berbuat mesum di toilet masjid, disemak-semak, hingga cipokan dibelakang gerobak bakso. Semua fenomena itu sukses bikin gue melongo.
(Oleh: Ruby Kay)
*fb penulis