Hipokrit!
Keputusan G7 untuk secara terbuka membela Israel dan menyebut Iran sebagai biang kerok ketegangan dan teror menuai sorotan tajam dari berbagai pihak. Dalam lanskap geopolitik yang semakin terbelah, sikap ini tidak hanya mempertegas keberpihakan negara-negara Barat, tetapi juga membuka kembali pertanyaan besar tentang netralitas dan konsistensi moral kelompok negara maju tersebut.
Di kawasan Timur Tengah, pernyataan G7 dipastikan akan memperburuk situasi. Iran, yang selama ini sudah merasa terpinggirkan dalam diplomasi internasional, kini memiliki dalih baru untuk memperkuat retorika anti-Barat. Kelompok-kelompok proksi seperti Hizbullah di Lebanon, milisi Houthi di Yaman, dan elemen Syiah bersenjata di Irak dan Suriah bisa melihat ini sebagai lampu hijau untuk meningkatkan perlawanan. Alih-alih menurunkan tensi, sikap G7 justru memberi bensin bagi konflik proksi yang selama ini telah menewaskan ribuan warga sipil di kawasan.
Dampak lain yang tak kalah penting adalah menguatnya poros tandingan. Iran kini resmi menjadi bagian dari BRICS+, kelompok ekonomi yang mulai dilihat sebagai penyeimbang dominasi Barat. Ketika G7 menunjukkan keberpihakan sepihak, negara-negara Global South mulai ragu terhadap kredibilitas mereka dalam memimpin isu global seperti perdamaian, hak asasi manusia, dan keadilan ekonomi. Dunia terancam semakin terbelah menjadi dua kubu besar, bukan hanya dalam politik, tetapi juga dalam struktur ekonomi dan diplomasi global.
Lebih jauh lagi, tuduhan terhadap Iran yang disebut sebagai sumber teror dan kekacauan dinilai sarat hipokrisi. G7 selama ini mengaku menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan hukum internasional, namun cenderung diam ketika Israel dituduh melakukan kejahatan perang. Serangan ke kamp pengungsi, pemboman rumah sakit, dan blokade kemanusiaan terhadap Gaza seringkali tak disikapi tegas. Bahkan, beberapa negara anggota G7 tetap menjual senjata dan dukungan logistik ke Israel. Standar ganda ini membuat banyak negara mempertanyakan keadilan dan konsistensi G7.
Penggunaan istilah terorisme secara selektif juga menjadi masalah besar. Kelompok-kelompok bersenjata yang menentang kepentingan Barat cepat sekali dilabeli teroris, sementara tindakan brutal negara sekutu dibiarkan tanpa sanksi. Ini menciptakan ilusi hukum internasional yang hanya berlaku bagi pihak yang lemah.
Keputusan G7 bukan hanya soal diplomasi sesaat, melainkan refleksi dari arah moral politik global. Ketika keadilan dipakai sebagai alat politik, dan hukum hanya tajam ke lawan, dunia makin jauh dari perdamaian. Yang muncul bukan stabilitas, melainkan dendam yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
(Feri Susanto)