Catatan Agustinus Edy Kristianto:
Secara pribadi, saya anggap penunjukan Jokowi sebagai salah satu yang mewakili Indonesia dalam pemakaman Paus Fransiskus kurang pantas.
Alasannya lebih karena masalah moral dan etik.
Pemakaman Paus adalah momen untuk menunjukkan wajah Indonesia kepada dunia. Sebagai WNI sekaligus bagian dari umat Katolik yang berduka, saya pikir sosok Jokowi tidak tepat mewakili wajah Indonesia dalam momen tersebut.
Salah satu hal penting yang diwariskan oleh Paus Fransiskus adalah semangat antikorupsi. Dalam salah satu homili saat meditasi pagi di Kapel Domus Sanctae Marthae, Senin, 16 Juni 2014, ia mengecam dosa korupsi yang menjatuhkan banyak orang berkuasa—baik dalam hal kekuasaan materi, politik, maupun spiritual.
Ada politik yang korup, bisnis yang korup, dan rohaniwan yang korup. Dan mereka ada di mana-mana. Karena, kata Paus, korupsi adalah dosa yang sangat dekat, yang menggoda siapa saja yang punya otoritas atas orang lain, baik dalam bidang ekonomi, politik, atau gereja.
"Ia adalah dosa yang dekat di ujung jari."
Sementara itu, Jokowi adalah salah satu finalis tokoh dunia yang dinilai telah berkontribusi besar dalam memperburuk korupsi dan kejahatan terorganisasi secara global—versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) tahun 2024.
Konteks 'penghargaan' tersebut adalah karena Jokowi dianggap melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan diduga memanipulasi institusi politik serta hukum untuk mendukung ambisi politik keluarganya, termasuk pencalonan putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai wakil presiden.
Secara formal, putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) No. 02/MKMK/L/11/2023 masih berlaku. Anwar Usman (Ketua MK sekaligus paman Gibran) dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim karena tidak mengundurkan diri dari penanganan perkara yang memiliki potensi benturan kepentingan, karena melibatkan keponakannya—Gibran, yang adalah anak Jokowi.
Saya tak mengerti alasan Presiden Prabowo menunjuk Jokowi dalam momen sepenting itu. Apakah memang ada yang sengaja 'membajak' momen itu untuk ambil panggung demi kepentingan tertentu? Bisa saja.
Jika alasannya karena Jokowi adalah mantan presiden, bukankah ada juga mantan-mantan lainnya seperti SBY dan Megawati?
Bagi saya, seharusnya Presiden Prabowo-lah yang mewakili belasungkawa Indonesia di sana, bukan Jokowi.
Kejadian ini, alih-alih memamerkan kekuasaan lewat wewenang untuk mengutus siapa pun, justru memberi kesan sebaliknya: meminjam kalimat editorial Koran Tempo (24/4/2025), sang presiden malah “terlihat sebagai bapak-bapak manis yang jadi anak buah Jokowi.” Bukan pemegang kuasa—melainkan pengikut setia.
Ia merelakan dirinya untuk dibajak!
Salam,
AEK