Inflasi hanya 0,76 persen? Bagus?
Tunggu dulu. Bisa jadi ini gejala dari sesuatu yang lebih seram: lemahnya daya beli masyarakat.
Dominasi sektor informal + upah rendah + rontokmya industri manufaktur = daya beli masyarakat yang terus menurun.
Saya curiga inflasi rendah yg dialami Indonesia bukan hal bagus karena biasanya BI akan menurunkan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Cuma BI tertekan the Fed yang tak kunjung turun suku bunganya, sebagai antisipasi kebijakan tarif Trump yg pasti akan memicu inflasi di sana. Pendek kata, BI tertekan antara menjaga keseimbangan ekonomi makro atau mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah manapun biasanya punya dua pilihan: 1) menjadi pengungkit utama perekonomian, 2) menjadi fasilitator saja.
Prabowo sebenarnya lebih memilih menjadi yang pertama (terbukti dari MBG, food estate, dll), tapi cekaknya duit negara, membuat pemerintah tak bisa berbuat banyak. Mau memperluas tax ratio? Siapa lagi yg mau dipajakin, wong pengangguran makin banyak seiring rontoknya sektor formal.
Celakanya, kebijakan dadakan seperti soal tabung LPG 3 kg ini akan memperburuk situasi. Kalo LPG 3 kg hanya untuk orang miskin, bagaimana dengan UMKM? Para penjual nasi goreng, misalnya, gak boleh lagi konsumsi LPG 3 kg? Banyak yg curiga bahwa kebijakan ini sebenarnya karena pemerintah hendak mencabut subsidi LPG, sebagaimana ketika menghapus premium (dan kini pertalite pun sangat dibatasi). Tambah lagi BPJS yg katanya tmau dikurangi manfaatnya, tambah lagi dengan pendidikan mahal.
Sepertinya inflasi rendah Indonesia saat ini bukan hal yang baik-baik saja, tetapi gejala dari sebuah stagnasi ekonomi yg cukup panjang. Sepanjang salah urus dan kelakuan pejabat pemerintahan yg jembar berkibut.
Pemerintah jemvut…
(Kardono Ano Setyorakhmadi)