KEBIJAKAN Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat yang akan memberikan tunjangan perumahan kepada anggota DPR yang baru menjabat harus batal. Selain menghambur-hamburkan anggaran, pemberian fasilitas itu menampar konstituen anggota DPR yang sedang susah karena kondisi ekonomi sulit.
Sekretariat Jenderal DPR beralasan tunjangan perumahan itu sebagai pengganti fasilitas rumah dinas anggota DPR di Kalibata, Jakarta Selatan, yang rusak dan tak layak huni. Alasan ini justru memantik pertanyaan: ke mana anggaran pemeliharaan rumah dinas anggota DPR sebelumnya? Komisi Pemberantasan Korupsi mesti mengusut pengakuan ini karena bisa jadi terindikasi korupsi.
Para anggota DPR adalah orang-orang yang mampu. Akhir tahun lalu, Badan Kebijakan Fiskal serta Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia merilis modal calon anggota legislatif pusat untuk kampanye sebesar Rp 1-5 miliar. Artinya, mereka orang berpunya. Sebagian besar anggota DPR yang dilantik pada 1 Oktober 2024 bahkan punya rumah di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Untuk anggota DPR dari luar kota-kota itu, mereka bisa menyisihkan gaji Rp 54 juta untuk biaya kos atau rumah kontrakan.
Sekretariat Jenderal DPR belum menetapkan tunjangan perumahan untuk setiap anggota DPR. Namun ancar-ancarnya Rp 50 juta untuk biaya sewa rumah atau kamar kos di sekitar Senayan. Karena itu, jika kebijakan ini berlanjut, negara harus mengeluarkan uang tambahan Rp 1,74 triliun bagi 580 anggota DPR sebagai biaya sewa rumah selama lima tahun.
Anggaran sebanyak itu akan lebih bermanfaat jika dipakai untuk biaya legislasi. DPR periode lalu memang mengesahkan 255 undang-undang—terbanyak dalam tiga periode terakhir. Namun pengesahan undang-undang itu dikebut pada akhir periode dan acap tak melibatkan partisipasi publik. Jika anggaran perumahan dialihkan untuk pembuatan undang-undang yang partisipatif, kinerja anggota DPR akan lebih efektif.
Anggota DPR harus menolak gagasan Sekretariat Jenderal DPR itu demi memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat. Bertahun-tahun tingkat kepercayaan publik kepada DPR stabil di angka 61 persen. Dalam setiap survei kepercayaan, DPR selalu menempati peringkat kedua terbawah sebagai lembaga yang paling tidak dipercaya.
Ribut-ribut soal tunjangan perumahan ini akan makin meruntuhkan kepercayaan publik kepada lembaga legislatif itu. Di tengah melemahnya peran DPR mengawasi kekuasaan eksekutif yang kian eksesif, DPR mesti menunjukkan diri kembali menjadi lembaga tepercaya. Menolak secara terbuka pelbagai fasilitas yang tak perlu akan menaikkan kembali kepercayaan masyarakat.
Kepercayaan publik terhadap DPR penting agar fungsi checks and balances, yang menjadi syarat utama demokrasi, berjalan. Untuk bisa menjalankan fungsi itu, DPR perlu mendapat dukungan publik yang kuat. Perilaku anggota DPR selama ini, yang mengabaikan suara konstituen dan abai membela kepentingan publik tapi menerima banyak fasilitas, membuat publik kian muak.
Sebagai anggota DPR yang baru, mereka perlu mengembalikan kedudukan anggota Dewan yang terhormat dengan menunjukkan kepedulian terhadap kepentingan orang banyak. Salah satunya menolak pelbagai fasilitas mewah. Dengan begitu, kita punya harapan kembali terhadap lembaga negara yang bisa diharapkan membela kepentingan kita di pemerintahan baru hingga 2029.
(Sumber: TEMPO)