Liputan Khusus Majalah TEMPO
Kematian Janggal Personel Densus 88
- Kematian personel Densus 88 yang ditembak rekannya menyisakan berbagai kejanggalan. Diduga ada bisnis jual-beli senjata.
- Ayah Bripda Ignatius Dwi Frisco, Y Pandi bersama istri, dan tim kuasa hukum telah membuat laporan dugaan adanya pembunuhan berencana kepada anaknya di Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta, 4 Agustus 2023.
DENGAN baju berlumuran darah, Brigadir Dua Ifan Muhammad Saifuloh Pelupessy terbirit-birit meninggalkan ruang asrama Resimen I Brigade Mobil, Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ia berlari menjauh dari tubuh Brigadir Dua Ignatius Dwi Frisco Sirage yang meregang nyawa. Dinihari itu, Ahad, 30 Juli lalu, Ifan, personel Detasemen Khusus atau Densus 88 Antiteror Kepolisian RI, baru saja menembak juniornya di Korps Brimob tersebut.
Ifan kemudian bergegas menuju kamar mandi. Ia kembali dengan baju yang tak bernoda darah. Aksi Ifan terlihat dalam rekaman kamera pengawas (CCTV). Ketika ia kabur, waktu di rekaman CCTV menunjukkan pukul 01.43.
Kepolisian Resor Bogor memperlihatkan rekaman tersebut saat gelar perkara yang diikuti tim dokter dan Pusat Laboratorium Forensik pada Selasa, 1 Agustus lalu. Pimpinan Komisi Kepolisian Nasional serta keluarga korban yang didampingi tim pengacara juga hadir dalam pertemuan di Markas Polres Bogor itu.
Kepala Polres Bogor Ajun Komisaris Besar Rio Wahyu Anggoro mengatakan Ignatius tewas akibat peluru yang menembus telinga kanan hingga tengkuknya. Peristiwa itu terjadi tak lama setelah Ifan masuk ke ruang asrama pada pukul 01.40. “Ada durasi 3 menit 53 detik,” ujar Rio.
Ifan dan Ignatius sama-sama bertugas di satuan elite Polri, Detasemen Khusus 88 Antiteror. Keduanya ditempatkan di Sub-bagian Tahanan dan Barang Bukti Bagian Operasional Densus 88. Meski bertugas di tempat yang sama, mereka nyaris tak berteman dan sering berkonflik.
Kapolres Bogor Rio bercerita, lima jam sebelum Ignatius tewas, Ifan menenggak minuman keras bersama dua rekannya yang juga berpangkat brigadir dua, Alfanugi Kurniawan dan Achmad Yunizar. Forum gelar perkara mengungkap, Ifan meminjam telepon seluler Alfanugi untuk menghubungi Ignatius agar segera menemuinya. Ia disebut-sebut berbicara dengan nada kasar.
Di hadapan Alfanugi dan Achmad, Ifan kemudian memamerkan senjata api jenis FN. Setelah memasang magasin, ia memasukkan pistol itu ke tasnya. Pukul 01.40, ketiganya menyambangi Ignatius di ruang asrama Brimob.
Menurut Rio, Ifan kemudian mengeluarkan pistol FN dari tasnya dan menunjukkan kepada Ignatius. Ia mengayunkan senjata itu ke arah kepala Ignatius. Lalu, dor! Moncong pistol menyemburkan peluru berkaliber 45 milimeter. Ifan panik melihat Ignatius rebah. “Dia sempat berusaha kabur, tapi ditangkap rekan-rekannya,” ucap Rio.
Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jawa Barat Komisaris Besar Surawan menyatakan kematian Ignatius terjadi karena faktor kelalaian. Polisi masih menelusuri motif jual-beli senjata api ilegal yang diduga melatari penembakan itu. Sebab, pistol yang digunakan Ifan adalah rakitan. Pemiliknya Brigadir Kepala IG, rekan Ifan. “Keduanya berstatus tersangka,” kata Surawan.
Keluarga Ignatius ragu terhadap kesimpulan polisi yang menyebut unsur kelalaian sebagai penyebab kematian. Pengacara keluarga korban, Jajang, menilai pistol Ifan tak akan meletus jika belum terkokang. Ia menganggap Ifan sebagai personel pasukan antiteror pastilah cakap menggunakan senjata. “Dalam rekaman CCTV, dia tak terlihat seperti sedang mabuk,” ujarnya pada Kamis, 3 Agustus lalu.
Jajang meyakini Ifan telah merencanakan pembunuhan sebelum mendatangi Ignatius. Apalagi gesekan keduanya berlangsung sejak awal tahun ini. Menurut Jajang, meski sama-sama berpangkat brigadir dua, Ignatius yang lebih junior kerap dianiaya oleh Ifan jika tak mengikuti kehendak seniornya itu.
Ignatius pun kerap mengeluhkan perlakuan Ifan kepada orang dekatnya. Salah satu tempat curhat dia adalah pacarnya, Claudia Tesa. Jajang bercerita, Ignatius mengatakan kepada Claudia bahwa ia berulang kali mengalami penyiksaan. Bahkan Ignatius pernah menjalani perawatan di rumah sakit karena perlakuan Ifan.
Pada 13 Juni lalu, kata Jajang, Ignatius mengirim pesan kepada Claudia. Isinya menunjukkan bahwa ia sudah tak tahan dengan intimidasi dari seniornya. “Jika Tuhan sayang Abang, mungkin Dia akan panggil Abang sekarang juga,” ucap Jajang menirukan isi pesan pria yang lahir di Melawi, Kalimantan Barat, itu.
Pun keluarga Ignatius mencium gelagat tak beres di balik penembakan itu. Pada Ahad pagi, setelah Ifan menembak juniornya, ayah Ignatius, Yulius Pandi, dua kali menerima panggilan telepon dari orang yang mengaku mewakili Rumah Sakit Polri Dr Sukanto, Kramat Jati, Jakarta, dan dari Kepolisian Resor Melawi. Keduanya meminta Yulius segera ke Jakarta karena putranya sakit keras.
Padahal Ahad pagi itu jasad Ignatius sudah membujur di kamar mayat Rumah Sakit Polri Dr Sukanto. “Sedari awal ada indikasi polisi ingin menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya,” ujar Jajang.
Juru bicara Detasemen Khusus 88, Komisaris Besar Aswin Siregar, enggan meladeni permohonan wawancara Tempo. “Silakan tanya Divisi Humas Mabes Polri,” tuturnya. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan mengatakan penyidik masih mengembangkan penyidikan kasus tewasnya Ignatius.
Seorang narasumber di kepolisian bercerita, Ifan ditengarai terlibat dalam bisnis jual-beli senjata. Penyidik Polri tak hanya mengusut dugaan perdagangan senjata, tapi juga penyalahgunaan barang bukti lain. Penyidik mendapat informasi bahwa Ifan juga mengkomersialkan barang bukti dalam kasus pidana selain terorisme. Ada kemungkinan, kata narasumber itu, perbuatan Ifan mendapat restu dari perwira yang lebih tinggi pangkatnya.
Tak hanya menjalani proses pidana, Ifan juga menghadapi sidang Komisi Kode Etik Polri. Pada Jumat, 4 Agustus lalu, sidang yang digelar Divisi Profesi dan Pengamanan itu berujung pada keputusan penjatuhan sanksi administratif.
Kepala Biro Pengawasan, Penyidikan, dan Pembinaan Profesi Divisi Profesi Pengamanan Polri Brigadir Jenderal Agus Wijayanto, yang memimpin sidang itu, merekomendasikan Ifan diberhentikan dengan tidak hormat. “Pelaku terbukti melakukan tindakan tercela,” ucap Ahmad Ramadhan.
Dalam gelar perkara itu disebutkan bahwa Ifan mengaku mengajak Ignatius berjualan senjata api. Namun keluarga meyakini pengakuan itu sebagai kebohongan. Pengacara keluarga Ignatius, Jajang, meyakini Ignatius pasti menolak tawaran tersebut. “Kami berharap kasus ini bisa diungkap secara terang benderang,” ujarnya.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, meminta polisi bersikap profesional dan transparan dalam mengusut kasus yang melibatkan personel Densus 88 itu. Poengky mengatakan Kompolnas ikut menelusuri dugaan perdagangan senjata api yang diduga melatari pembunuhan tersebut. “Kami membentuk tim penyelidikan yang dipimpin langsung oleh Ketua Kompolnas,” katanya.
(Foto: Ayah Bripda Ignatius Dwi Frisco, Y Pandi bersama istri, dan tim kuasa hukum setelah membuat laporan dugaan adanya pembunuhan berencana kepada anaknya di Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta, 4 Agustus 2023.)