Agustinus Edy Kristianto: Mengapa masyarakat begitu bergairah menyambut ‘kemenangan’ vonis Bharada E?

VONIS BHARADA E

Catatan: Agustinus Edy Kristianto

Jangan salah mengerti. Pada hakikatnya (an sich) membunuh adalah buruk. “Jangan membunuh!” Pembunuhan bukan sesuatu yang patut ‘dirayakan’.

Mengapa peristiwa E, yang dikorting hukuman 87,5% dari tuntutan jaksa (12 tahun menjadi 1,5 tahun) dalam kasus pembunuhan Yosua, penting untuk ‘diperingati’? Sebab, majelis hakim yang memutus perkara itu memunculkan harapan baru bagi masyarakat di tengah keragu-raguan umum terhadap keadilan, kebenaran, dan institusi pengadilan di negara ini.

Majelis hakim juga memunculkan harapan baru dalam perspektif relasi kuasa ‘antarkelas’ bahwasannya yang berpangkat tak selalu menang, tak selalu benar. Uang tak selalu segalanya.

Jika masyarakat begitu bergairah menyambut ‘kemenangan’ si bharada maka secara tidak langsung bisa ditafsirkan selama ini ada kesumpekan yang luar biasa di dalam tubuh bangsa ini. Kesumpekan terhadap keadilan dan kebenaran yang sulit didapatkan, kesumpekan terhadap kekalahan selalu orang kecil terhadap orang yang berkuasa. Kesumpekan yang lebih banyak terpendam, tak terkatakan karena berbagai alasan.

Kata majelis hakim dalam pertimbangan, kejujuran E yang membuat terang perkara itu “menempatkan terdakwa dalam posisi dan situasi yang membahayakan dirinya dan praktis berjalan sendirian.”

Kita semua berhak untuk menuntut kebenaran atas perkara tersebut. Namun, kata hakim, “penyebab meninggalnya korban Yosua telah dikepung berbagai pihak yang mengakibatkan gelapnya perkara sehingga kebenaran dan keadilan nyaris muncul terbalik.”

Itulah mengapa KEJUJURAN, KEBERANIAN, dan KETEGARAN menjadi sangat berarti. Bisa jadi harganya jauh lebih mahal dari ‘sekadar’ korting 87,5%. 

Mungkin, kasus E adalah cara malaikat bernyanyi untuk menyuarakan kebenaran. 

Kekeliruan yang kerap terjadi adalah kita sering mendewakan sosok, benda dsb dan bukan menjunjung prinsip. Kita mudah sekali dipengaruhi narasi-narasi kosong pencitraan di berbagai media.

Padahal orang bisa berubah, keadaan berubah, benda berganti tapi PRINSIP adalah tetap. Prinsip adalah resultan dari sungguh-sungguhnya kita mendengarkan suara hati. 

Jika mendewakan orang, bagaimana pula menjelaskan orang yang dulu dibela publik karena dianggap disingkirkan oleh kekuatan ‘jahat’ dari KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) malah dua tahun kemudian menjadi pembela terdakwa pembunuhan? Bagaimana menjelaskan perwira polisi yang dipuja karena dianggap sukses menembaki teroris yang katanya mengancam bangsa kemudian berujung pembunuhan ajudan dan segala macam isu yang mengikuti (303 dsb)? Bagaimana menjelaskan PC, yang fasih sekali berpidato mengutip ayat Mazmur dalam ultah FS, kemudian rasa sakit hatinya mendorong para pelaku merencanakan (terdapat meeting of minds, kata hakim) pembunuhan itu?

Saya angkat topi untuk majelis hakim yang menuliskan tentang kejujuran dsb itu dalam pertimbangan putusan sehingga prinsip-prinsip semacam itu memiliki kekuatan legal dan bisa dijadikan acuan dalam perkara-perkara lain. 

Salam.

AEK

Baca juga :