Jalur Mandiri

Jalur Mandiri

Oleh: Budi Kurniawan*

Awal jalur mandiri jadi seleksi selain SBMPTN dilakukan UGM tahun 2002 seiring dengan kebijakan otonomi kampus. UGM merasa dirugikan saat itu dengan tidak transparannya panita SBMPN dalam soal dana. UGM juga mengalami keresahan karena semakin lokalnya UGM yang mayoritas diisi anak Jawa Tengah dan DIY. UGM ingin membuat kampusnya tetap kampus nasional dengan latar belakang mahasiswa seluruh Indonesia dan jadilah kemudian UGM membuat test mandiri selain SBMPTN dengan menggunakan jaringan KAGAMA di seluruh Indonesia. Ujian Mandiri UGM itu dilakukan sebelum ujian SBMPTN sehingga UGM menang start mendapat mahasiswa berkualitas daerah. Ujian Mandiri ini pun diprotes oleh banyak PTN di daerah karena putera daerah yang berkualitas "diserobot" UGM terlebih dahulu. Tahun tahun berikutnya jadilah kemudian UM UGM dilakukan setelah SBMPTN sehingga membuat gengsi UM UGM menurun dan hanya jalan terakhir bagi mereka yang tidak lulus SBMPTN.

Model ujian mandiri untuk tambahan income sebenarnya juga dilakukan sebelumnya oleh beberapa kampus dengan menjadikan program program diploma sebagai sapi perah. Kampus menjadikan program diploma sapi perahan para dosen untuk mencari income tambahan. Bahkan yang ironisnya yang mengajar adalah dosen dosen yang berlatar belakang pendidikan akademik S2 dan bahkan S3 bukan praktisi vokasi yang sejatinya mengapa program D3 itu dibuka sebagai bagian dari pendidikan vokasi. Bisa bayangkan keterampilan vokasi apa yang didapat?

Ujian mandiri kemudian menjadi "sexy" ketika dibuka program kedokteran di sebuah PTN. Tingginya minat orang tua agar anak menjadi dokter membuat program ini jadi peluang mendapatkan uang bagi kampus baik secara resmi maupun tidak resmi. Jadilah kemudian apa yang terjadi yang saat ini trending.

Selain jalur mandiri cara dosen dan kampus mendapat uang adalah dengan membuka program S2 dan S3. Sudah jadi rahasia umum ada istilah Universitas Pasti DOKTOR. Praktik bimbingan doktoral di beberapa kampus Indonesia sangat memalukan seperti memberi uang dan upeti ke dosen. Gila hormatnya orang Indonesia akan gelar akademik membuat program master dan doktor laris manis dan soal kualitas tesis dan desertasi sangat memprihatinkan. Tetapi tidak semua kampus seperti ini masih banyak juga kampus negeri terutama di Jawa yang idealis mendidik mahasiswa paskanya.

Untuk mengejar target pemasukan kampus, PTN kita menerima mahasiswa sangat banyak per jurusan bisa ratusan per-angkatan untuk setiap jurusan. Dosen pun kelabakan mengajar. Rasio dosen dan mahasiswa tidak diperhatikan akibatnya kualitas mengajar sangat memprihatinkan. Di beberapa daerah akibat penerimaan mahasiswa besar-besaran dalam rangka mengejar income ini berdampak dengan matinya kampus swasta. Banyak kampus swasta yang tutup karena mahasiswa semuanya lari ke PTN. Mensiasati hal ini, kampus swasta membuka kelas-kelas S2 dengan jualan gelar ke mereka terutama PNS yang butuh gelar akademik S2. Jadilah mereka masih bisa bernapas walau pemasukan dari mahasiswa S1 berkurang. 

Semoga kondisi real ini bisa jadi bahan evaluasi pemerintah.

(22/8/2022)

*fb

Baca juga :