Umar Bin Khattab dan Yerusalem

Umar Bin Khattab dan Yerusalem

Permata mahkota dari segenap penaklukan oleh pasukan Muslim semasa Kekhalifahan Umar bin Khattab adalah kota Yerusalem, yang menjadi kota suci ketiga bagi umat Islam. 

Sebetulnya salah satu kisah Umar paling terkenal terjadi setelah penaklukan kota Yerusalem. 

Umar mengadakan perjalanan ke Yerusalem untuk menerima penyerahan kota ini kepada Kekhalifahan Islam. Umar berjalan dengan asistennya, tapi mereka hanya punya satu ekor keledai sehingga mereka harus bergantian naik keledai. 

Ketika mencapai tembok kota kebetulan yang mengendarai keledai adalah pembantunya, sedangkan Umar berjalan kaki. 

Penduduk Yerusalem salah menduga bahwa khalifah adalah yang di atas keledai. Mereka buru-buru memberi hormat kepada asisten Umar dan mengeluarkan sumpah serapah kepada yang berjalan, yakni Umar sendiri. 

Kerumunan itu akhirnya diberitahu bahwa yang seharusnya mereka kasih takzim adalah yang berjalan. 

Kisah ini sangat terkenal di seantero kekhalifahan dan sekaligus menegaskan sikap 'modesty' dan 'humility' seorang khalifah Umar bin Khattab.  

Apa yang terjadi berikutnya juga tak kalah pentingnya. Ketika Umar memasuki Yerusalem, komunitas Kristen menduga bahwa Umar akan melakukan salat di gereja paling suci di Yerusalem sebagai simbol kemenangan pasukan Muslim. Tapi Umar menolak melakukannya. Umar menyatakan bahwa bila ia salat di gereja, maka para penguasa Muslim di kemudian hari akan mengubah gereja itu menjadi masjid, dan bukan itu yang dikehendaki Islam. Umar juga mengatakan bahwa penduduk lokal bebas hidup dan beribadah sesuai cara mereka. 

Mulai saat itu, masyarakat Muslim juga hidup berdampingan dengan mereka dengan sistem keyakinan Islam dan memberikan keteladanan. Bagi non-Muslim yang tertarik dengan apa dan bagaimana kaum Muslimin, mereka boleh bergabung. Tapi tak ada paksaan dalam Islam.

Ini kemudian memberikan pola hubungan antara Muslim dan penduduk lain yang mereka taklukan. Warga Kristen dan Yahudi di Yerusalem dan di seluruh kekhalifahan mendapati bahwa sebagai non-Muslim mereka wajib membayar jizyah (pajak bagi non-Muslim), tapi jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan pajak yang harus mereka setor kepada penguasa Bizantium sebelumnya. 

Berbeda dengan penguasa Bizantium yang turut campur terhadap praktik-praktik agama Kristen dan Yahudi, penguasa Muslim tidak campur tangan dengan kepelbagaian sekte pada kedua agama tersebut.

(Oleh: Donny Syofyan)

Baca juga :