Selama Presiden Jokowi Memerintah, Selama Itu Pula Konflik Kepentingan seolah ‘Dihalalkan’

[Catatan Agustinus Edy Kristianto]

Sesuatu mesti dilihat dari konteks, relasi, dan relevansi historisnya. Menyangkut masalah afiliasi dan konflik kepentingan, sulit untuk tidak mengatakan selama Presiden Jokowi memerintah, selama itu pula afiliasi dan konflik kepentingan seolah ‘dihalalkan’, dilakukan secara telanjang, tanpa ada sanksi apapun bagi pelakunya.

Kita terus menerus mempermasalahkan hal itu bukan karena sakit hati atau hendak sok jago melainkan karena Reformasi mengamanatkan untuk melawannya, aturan formalnya masih berlaku (TAP MPR, UU 28/1999 dkk), dan masih diperjanjikan oleh Jokowi ketika berkampanye sebagai bagian dari ikhtiar menegakkan keadilan serta pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.

Ujungnya omong kosong!

Putra sulungnya menjadi Wali Kota Solo bahkan ketika ia masih tercatat aktif sebagai pengurus (komisaris) perusahaan kuliner dan jasa lainnya.

Kepala Staf Kepresidenannya mendirikan PT Mobil Anak Bangsa (MAB) ketika masih aktif menjabat, yang bergerak di bidang usaha kendaraan listrik, sekaligus menjadi Ketua Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo), lantas mendorong sesegera mungkin Indonesia melakukan elektrifikasi kendaraan tanpa harus transisi ke hybrid. “Ya, kalau bisa langsung murni listrik, kenapa tidak,” kata Moeldoko (Detikoto, Selasa, 12 Juli 2022).

Menko Marivesnya pun menggenggam 10% saham TOBA, perusahaan yang berkongsi dengan GOTO dan ASTRA mendirikan Electrum, yang juga bergerak di bidang kendaraan listrik.  

Menteri Perdagangan yang baru, sekaligus Ketua Umum PAN, sama saja. Bukannya fokus mengendalikan harga minyak goreng malah memanfaatkannya untuk sesuatu yang bernada kampanye. Ia dan putrinya membagikan produk migor subsidi (Minyakkita) di Lampung sambil berkata, “Nanti milih Futri, ya. Oke? Kalau milih Futri, entar tiap dua bulan ada deh ginian (pembagian migor curah). Oke nggak,” kata Zulhas (Kompas, Selasa 12 Juli 2022).

Bahkan ketika pandemi sedang hebat-hebatnya, pejabat pun diduga kuat berbisnis. Berdirilah PT GSI yang bergerak di bidang colok-colok hidung (PCR) yang pemegang sahamnya antara lain Yayasan Adaro Indonesia, Yayasan Northstar, Yayasan Indika, TOBA (melalui anak perusahaannya) dkk. Yayasan Adaro milik Adaro, yang pemegang sahamnya kakak Menteri BUMN Erick Thohir, Boy Thohir. TOBA pemegang sahamnya salah satunya Menko Marives. Menteri BUMN dan Menko Marives adalah bagian dari pengambil kebijakan termasuk soal kewajiban PCR.

Menteri BUMN tak usah ditanya lagi. Dia membawahkan Pupuk Indonesia yang anak perusahaannya (PT Rekind) berbisnis dengan PT Panca Amara Utama (PAU) membangun pabrik amoniak Banggai senilai Rp7 triliun, yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Jokowi. Pengurus (Komisaris) PAU adalah kakak Menteri BUMN. Ketika terjadi sengketa menyangkut performance bond dan uang retensi proyek, tidak diperkarakan secara hukum, bahkan Rekind berujung tak menerima uang retensi USD50 juta padahal pabrik sudah selesai dibangun dan beroperasi. Semua diselesaikan lewat perjanjian kesepakatan, ketika sang adik berkuasa.

Soal GOTO, sudah lelah kita teriak, tapi tidak digubris pemerintah dan otoritas. BUMN Telkom melalui Telkomsel memberikan Rp6,4 triliun ke GOTO, di mana kakak Menteri BUMN menjadi salah satu pengurus dan pemegang sahamnya.

Bahkan di depan mata, saya menyaksikan sendiri. Seorang anggota DPR anggota Panja Investasi BUMN di perusahaan digital berkata “Nanti kita ketemu, ya” kepada salah satu narasumber yang adalah pebisnis venture capital, sebelum rapat dimulai. Si anggota ternyata memiliki perusahaan start-up edutech.

Terus, piye? 

Sebegitu terpuruk pejabat negara ini dalam hal etika, moral, dan kepatuhan hukum, sementara masyarakat tercekik kenaikan harga kebutuhan pokok dan ketidakadilan di berbagai sektor.

Yang kaya makin kaya, yang miskin tambah miskin.

Salam.

(Agustinus Edy Kristianto)

*fb penulis 12/07/2022
Baca juga :