Oleh: Ustadz Muhamamd Abduh Negara
Soal perbedaan Idul Adha ini, kita sama-sama sudah tahu. Dari sisi semangat, saya yakin kita semua senang bersatu. Ingin umat Islam merayakan idul adha di hari yang sama.
Tapi fakta bicara lain. Faktor penyebabnya macam-macam, jelas tidak satu saja. Ada faktor fiqih, antara ru'yah tanpa i'tibar ikhtilaf mathali', dengan i'tibar ikhtilaf mathali, dan hisab. Hisab pun kriterianya bisa beda-beda. Sama-sama ru'yah pun, bisa jadi soal kesaksian beda-beda. Kemudian ada juga soal politik.
Kalangan HT/HTI selalu mengangkat, bahwa perbedaan ini karena faktor politik, khususnya karena lahirnya banyak nation state. Kita katakan, itu ada benarnya. Tapi itu tidak menunjukkan perbedaan ini menjadi batil.
Kemudian, bicara faktor politik, ya sejak dulu juga faktor politik sering terlibat. Bahkan lahirnya berbagai balad (negeri) yang sering dibahas di fiqih klasik, juga karena faktor politik. Lalu, yang dibahas di fiqih klasik kan selalu, balad yang satu beda mathla' dengan balad yang lain. Bukan "setengah balad" beda mathla' dengan "setengah balad"-nya lagi.
Jadi, kalau ada yang bertanya, kok Sabang dengan Merauke disamakan waktu 'id-nya, dari ru'yah dan itsbat yang ditetapkan Kemenag, sedangkan Malaysia, yang jauh lebih dekat dengan Sumatera, daripada sumatera dengan Papua, kok malah beda? Jawaban mudahnya, karena fakta saat ini, dari Sabang sampai Merauke itu dianggap satu balad, sedangkan Malaysia beda lagi. Itu bisa dianggap sebagai ijtihad kontemporer, sebagai percabangan dari persoalan i'tibar ikhtilaf mathali'.
Ya intinya, kita sudah sama-sama tahu. Meributkan hal ini saat ini, toh tidak akan menyatukan juga. Yang ada malah saling benci dan saling curiga. Saling mengejek dan saling menghujat. Apa ini yang kita inginkan?
Mau ikut keputusan pemerintah, silakan. Mau ikut ru'yah Saudi, silakan. Mau ikut hisab Muhammadiyah, silakan. Tidak usah menganggap pendapat yang lain itu batil dan tidak sah diamalkan. Kasihan orang awam tambah bingung.
(fb)