Jangan Bandingkan Erdogan dengan Jokowi, Jauuuuh

[PORTAL-ISLAM.ID] Wartawan senior FNN Hersubeno Arief bersama akademisi yang juga pengamat politik Rocky Gerung membahas soal loby Presiden Jokowi saat kunjungan ke Ukraina dan Rusia terkait suply gandum. 

Berikut Petikannya dalam Kanal Rocky Gerung Official, Rabu (13/7/2022):

Ini yang ramai juga ini soal kemarin Pak Jokowi menegur Mendag Zulhas yang berkaitan dengan yang disebut kampanye untuk putrinya di Lampung. Itu rame di Twitter. Tapi sebelum itu saya mengajak Anda juga ke luar negeri sebentar, tapi juga ada urusannya dengan dalam negeri.

Kemarin rame Pak Jokowi diwacanakan dapat Nobel Perdamaian karena ini berhasil mendamaikan Rusia dan Ukraina. Kan sampai sekarang serangan dari Rusia tambah gencar.

Dan kita tahu bahwa sebenarnya tujuannya itu soal gandum. Jadi kalau mau gandum sebetulnya tirulah cara Turki. Karena, sekarang dia sedang membuat sebuah forum untuk mempertemukan Rusia dan Ukraina membahas soal ekspor gandum.

Ya, jelas, profil Turki jauh di atas Indonesia. Kepemimpinan, ketegasan, dan terutama kekuatan militer Turki tetap dianggap punya kemampuan militer. Dan itu justru yang hendak dipamerkan.

Jadi kemampuan diplomasi dan kemampuan militer itulah yang jadi dasar kenapa seseorang menyediakan diri untuk jadi semacam negosiator. Nah, Pak Jokowi datang dengan dua hal mines: kemampuan militer kita nggak dianggap oleh Eropa dan Rusia; Profil diplomasi kita juga rendah sekali.

Jadi, Turki punya hak sebetulnya dan diharapkan oleh publik internasional untuk masuk di dalam negosiasi perdamaian. Tentu bisa dimulai dengan hal yang paling sederhana, problem di Eropa: pangan. Jadi diplomasi pangan dari Turki sekaligus memperlihatkan bahwa dia diterima sebagai tokoh.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan itu bisa diterima sebagai tokoh yang punya profile tinggi, tanpa perlu dielu-elukan semua orang paham. Jangan membandingkan Erdogan dengan Pak Jokowi. Ya agak jauh.

Walaupun nasionalisme kita menganggap ya Pak Jokowi, iya tapi ada fakta-fakta riil di dalam realitas politik global di mana Pak Jokowi nggak dianggap. Tapi, selalu kita bersedih karena faktor itu justru yang hendak di-push oleh buzer di dalam negeri supaya Pak Jokowi dianggap. Lainlah.

Ini kan di dalam negeri boleh saja nipu-nipu, tapi kalau di luar negeri nggak mungkin. Nanti buzer justru musti masuk dalam forum internasional buat naikin profil Pak Jokowi.

Ini beda dengan kalau dianggap kita tidak mendukung Presiden Jokowi. Justru kita mendukung Presiden Jokowi supaya hati-hati. Jadi Presiden Jokowi pergi ke dunia internasional justru kita dibuli.

Kita membuli mereka yang mendorong presiden pergi ke dunia internasional sehingga dia dibuli habis dalam di luar negeri. Erdogan berbalik kan. Rakyat Turki tahu potensi Erdogan sehingga Erdogan nggak ngapa-ngapain juga di Turki orang juga anggap biasa saja karena memang dia punya profil.

Justru internasional yang menganggap potensi perdamaian itu bisa dimulai oleh Turki, bukan oleh Indonesia. Tapi, nanti kita sudah tahu kok nggak nasionalis ya kok nggak membela. Bukan, tuan-tuan buzer. Anda harus paham bahwa player internasinal itu nggak peduli dengan nasionalisme Indonesia. Dia cuma peduli Indonesia punya apa untuk jadi semacam jembatan atau fasilitator. Kan itu intinya.

Dan profil Erdogan ini unik karena dia bagian dari negara NATO, tapi dia juga hubungan dekat dengan Presiden Vladimir Putin. Jadi saya kira memenuhi syaratlah. Belum lagi kalau kita mau jujur, letak Turki itu kan di antara Asia dan Eropa. Jadi untuk ketemu juga sangat mudah.

Soal-soal seperti itu yang masih gagal diantisipasi oleh publik. Jadi Erdogan sepertinya juga kasih sinyal, sudahlah Mister Jokowi, sudah Anda tinggal di dalam negeri saja. Urus saja problem Anda dulu. Nanti saya beresin Eropa. Kira-kira begitu.

Kan itu sinyal yang sekaligus melecehkan kita sebetulnya. Lain kalau Presiden Jokowi diminta oleh Erdogan untuk membantu dia sebagai juru damai. Atau Jokowi minta Erdogan. Jadi nggak dianggap Indonesia. Dan itu yang ingin kita pulihkan supaya Indonesia dianggap.

Tapi selalu dianggap nanti saya sinis atau satire pada Presiden. Memang itu nyatanya. Jadi kemampuan kita untuk memperbaiki diri terhalang oleh kesombongan diri kita sendiri, seolah-olah kita bisa jadi jagoan di dalam pertarungan dua gajah. Lucu saja orang memaksakan diri, seseorang yang tidak well archite ..... secara diplomatik dan secara militer.

Dan saya kira pertemuan ini juga penting buat Indonesia, karena membahas soal supply gandum dari Ukraina yang kita menjadi salah satu konsumen terbesarnya.

Jadi sebenarnya pertemuan ini tidak hanya bisa dilihat sebagai sebuah upaya inisitor perdamaian, tapi justru dia lebih peduli dengan persoalan gandum, dan sekarang lebih sering soal pangan.

Benar, mustinya Pak Jokowi beritahu bahwa Indonesia lagi bikin Food Estate, sehingga kita mau membantu juga buffer pangan dunia.

Tapi kemarin itu beritanya justru buruk bahwa semua Food Estate Jokowi mangkrak. Jadi program pangan Jokowi justru mangkrak ratusan triliun rupiah. Itu yang ada dalam berita internasional juga.

Jadi, bagaimana mungkin Pak Jokowi dianggap mampu untuk membantu diplomasi pangan kalau dia sendiri proyek dalam negerinya gagal semua. Ini sebetulnya fakta-fakta itu.

Tapi seperti biasa juga kita tahu, ya itu kan artinya belum sukses kalau gagal. Iya, tapi artinya APBN kita sudah dihambur-hamburkan untuk hal-hal yang secara strategis dulu dianggap bisa menghasilkan devisa kalau kita bisa penuhi pangan dalam negeri kita bisa juga penuhi pangan dunia. 

Mangkrak semuanya itu. Beritanya beredar luas dan nggak ada keterangan kenapa dia mangkrak. Pasti salah strategi kan. Sementara lahan-lahan yang punya masyarakat adat sudah digusur untuk bikin food estate. Jadi bagian ini sebetulnya yang merisaukan kita.

Hak rakyat adat untuk menikmati hasil buminya sudah nggak ada, sementara janji untuk food estate justru mangkrak. Jadi, kekonyolan itu yang harusnya kita perhatikan, terutama para buzer dan para pembela junto penjilat presiden. 

SELENGKAPNYA VIDEO:

Baca juga :