Kalau ada yang bilang, "ngga usah digoreng kan bisa direbus?"
Dia ngga bisa membedakan public policy (kebijakan publik) dan sikap pribadi.
Minyak goreng itu ngga semua buat menggoreng, ada juga yang dipakai buat bahan bakar. Suku badui contohnya.
Orang Banyumas yang usahanya jual mendoan, dage, gorengan, memang mau jualan mendoan rebus? ngga semudah itu.
Kenaikan harga signifikan di minyak itu urusannya panjang. Dan langsung menyasar ke masyarakat menengah bawah. Hajat hidup orang banyak. Mempengaruhi sektor kuliner dan lainnya.
Masyarakat ini sudah "dihajar" pandemi 2 tahun lamanya. Ada yang kena PHK kemudian buka usaha kuliner. Jangan sepelekan kenaikan harga minyak goreng yang ugal-ugalan. Mereka saat ini sedang berusaha bangkit setelah 2 tahun usaha lesu.
FYI, saya resign dari kerjaan tahun 2016. Sebelum pandemi pun kondisi ekonomi makro sedang tidak baik-baik saja. Beberapa bulan setelah saya resign, kantor cabang perusahaan saya tutup. Semua karyawan di cabang di phk. Dan saya tahu di industri sejenis juga tidak sedang baik-baik saja. Industri keuangan itu mewakili sektor riil di masyarakat. Jika industri keuangan sedang bermasalah, sektor riil apalagi.
Jangan sampai kenaikan harga minyak goreng, ibarat melepas selang oksigen pasien yang sedang sakit keras.
Produsen dan distributor kelompok yang sama dan bersatu, konsumen bisa apa, jika tidak di back up regulator (pemerintah)?
(Hanif Acep)