[PORTAL-ISLAM.ID] Amnesty International Indonesia (AII) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bertanggung jawab atas insiden di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah.
Wakil Ketua Komisi II Fraksi PDIP Junimart Girsang menilai cukup Ganjar yang turun menyelesaikan persoalan ini.
"Menurut saya kejadian di desa Wadas sifatnya insidentil yang terjadi tanpa perencanaan 'kekerasan' sedemikian rupa. Ini bisa diluruskan dan diselesaikan dengan komunikasi yang baik tanpa melibat lebarkan dan cenderung provokatif ke AII. Ini tanggung jawab Pemerintah, dalam hal ini Gubernur Jateng dan turunannya untuk menyelesaikan," kata Junimart saat dihubungi, Kamis (10/2/2022).
Politisi PDIP ini meminta semua pihak memahami terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi di Wadas. Karena itu, menurutnya Jokowi tidak perlu sampai harus bertanggung jawab soal insiden tersebut.
"Mosok untuk hal demikian kita minta presiden bertanggung jawab? Kita harapkan semua pihak memahami dulu apa sebenarnya dasar sehingga insiden tersebut terjadi, tidak perlu langsung mengkonklusikan bahkan men-judge kesalahan kepada pihak-pihak tertentu," ucapnya.
Lebih lanjut, Junimart juga menyarankan agar semua pihak menunggu tindak lanjut dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar. Dia menduga ada conflict of interest jika harus kepala negara turun tangan.
"Menurut saya demikian, tidak perlu melebar kemana-mana, apalagi permintaan ke AII itu ada unsur conflict of interest. Kita menunggu saja penjelasan konkret sesuai fakta dasar dan sampai terjadinya kisruh di Wadas tersebut dari Gubernur dan Kapolda Jateng," ujarnya.
Sebelumya, Amnesty International Indonesia (AII) angkat bicara terkait insiden di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. AII menyebut pemerintah pusat dan daerah harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi di Desa Wadas.
"Presiden Jokowi dan Gubernur Ganjar harus bertanggung jawab atas pengerahan pasukan yang berlebihan dan dampak ikutannya yang melanggar prinsip-prinsip pemolisian yang demokratis dan kaidah negara hukum, dan penghormatan HAM," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam konferensi pers yang diadakan oleh YLBHI melalui Zoom, Kamis (10/2/2022).
Usman mengatakan AII sangat mempertanyakan kebijakan pengerahan pasukan ke Desa Wadas. Menurut Usman, kebijakan itu berlebihan.
"Kebijakan kekuatan pasukan keamanan ke Desa Wadas yang sangat berlebihan, dilihat dari jumlah satuan dari yang berseragam dan tidak berseragam, termasuk jenis kendaraan yang digunakan, kami menilai pengerahan pasukan itu berlebihan," kata Usman.
Usman mengatakan, secara tertulis, pengerahan pasukan hanya diminta untuk mengamankan anggota BPN yang melakukan pengukuran tanah. Namun realitas di lapangan, jelas Usman, tak seperti itu.
"Tampaknya penambahan pasukan terjadi ditujukan untuk mengamankan warga, termasuk para pendamping dari pekerja bantuan hukum seperti LBH Yogyakarta atau pendamping lainnya SP Kinasih, dan kalangan seniman, dengan satu dalih bahwa sikap pendampingan mereka dianggap telah menghalangi proyek pemerintah. Jadi sulit berpegangan pada penjelasan Menko Polhukam bahwa polisi sudah bertindak secara prosedur untuk menjamin keamanan masyarakat karena yang dijamin adalah dari pejabat negara yang turun ke lokasi," jelas Usman.
Usman membenarkan tidak ada penembakan yang dilakukan kepolisian. Tetapi, kekerasan aparat, kata Usman, masih terjadi.
"Benar tidak ada penembakan dari aparat, tapi tidak benar jika dikatakan tidak ada kekerasan dari aparat, tidak benar juga, jika dikatakan polisi segera bertindak atas permintaan untuk pengawalan keamanan masyarakat agar tidak terjebak konflik horizontal, yang benar pengerahan itu untuk mengawal dan menjaga keamanan pejabat dan aparat pemerintah yang turun," lanjutnya.
Usman mengatakan memang terjadi perbedaan pendapat terkait pembangunan Bendungan Bener. Namun perbedaan itu, jelas Usman, disebabkan kebijakan pemerintah yang terburu-buru memaksakan proyek strategis nasional.
"Tidak profesional ketika aparat misalnya tidak menunjukkan identitas kepada warga saat melakukan tindakan pemolisian, juga tidak menggunakan pakaian resmi, jika pemerintah membantah orang yang tidak berseragam bukan petugas resmi, pertanyaan mengapa aparat berseragam resmi justru membiarkan bahkan ada yang ikut serta melakukan tindakan yang sama menyimpang," tegas Usman.
"Kita yakin pemerintah bertanggung jawab atas pelambatan, pemutusan, atau penghalangan terhadap komunikasi mereka, terutama para pendamping dan warga baik dari segi internet, medsos LBH yang diretas sampai telepon seluler SP Kinasih yang tidak bisa dibuka. Sekali lagi tindakan itu tidak bertanggung jawab, sebaliknya membuat polisi kehilangan wibawa karena tidak melaksanakan tugas pokok dan fungsi, yaitu melindungi dan melayani masyarakat," sambungnya.
Usman mengatakan negara wajib secara konstitusional menjamin hak warganya, termasuk warga Desa Wadas, untuk menyatakan pendapat, termasuk keselamatan mereka.
"Warga yang ditangkap harus semuanya dibebaskan, yang dikenakan pasal, harus dicabut," imbuh Usman.
"Hentikan pencarian warga yang berusaha menyelamatkan diri, hentikan pencarian dengan cara-cara yang tidak perlu seperti penggunaan anjing pelacak," lanjutnya.
[detik]