Paradoks Presiden Jokowi

Paradoks Presiden Jokowi

OLEH: ILHAM BINTANG (Wartawan Senior)

HARI-HARI ini masyarakat kembali panik dibayangi lonjakan penularan virus Covid19. Angkanya amat mencengangkan. Data terbaru, Jumat (4/2), virus menulari 32.211 orang, dan 42 yang meninggal dunia.

Hari itu, di DKI saja tercatat 13.379 positif dengan jumlah kematian 25 orang.  Jumlah itu menjadi tiga tertinggi selama pandemi. Tertinggi pertama, 14.619 (terjadi 12 Juli 2021), dan 13.133 (11 Juli 2021). Jumlah yang terpapar virus sejak Maret 2020, total 4.446.694. Kematian: 144.453.  

Masuk akal jika masyarakat, khususnya, orangtua panik menghadapi lonjakan itu. Mereka minta Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di sekolah, segala tingkatan, dihentikan sementara. PTM 100 % ini secara nasional mulai berlaku 3 Januari lalu.

Surabaya, Bogor, Tanggerang, dan Bekasi telah mendahului menghentikan PTM. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun mengusulkan pembelajaran tatap muka (PTM) disetop selama sebulan.

Namun, usulan itu ditolak Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Pemprov DKI Jakarta akhirnya tetap melanjutkan pembelajaran tatap muka, tetapi dengan kapasitas 50 persen.

Pakar menyayangkan kebijakan tersebut, lantaran DKI Jakarta bak wilayah perang dalam melawan Covid-19. Terlebih, banyak anak masuk kelompok rentan karena belum divaksinasi.

Fakta obyektifnya, sudah berjatuhan  korban siswa sejak PTM 100 persen dibuka. Minggu lalu sekitar 90 sekolah terpaksa ditutup. Memang ada ketentuan yang membolehkan orang tua meminta PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) atau online untuk anaknya.

"Kita tidak bisa menutup begitu saja sekolah tanpa persetujuan pemerintah pusat. Kebijakan  itu bisa dianggap melawan hukum," kata pejabat Pemprov DKI.

Tidak Pasti

Lonjakan penularan Covid-19 kembali meningkat sejak Indonesia melaporkan kasus varian Omicron pada 16 Desember 2021.

"Tiga sekawan" Provinsi DKI, Banten, dan Jawa Barat kembali mendominasi lonjakan, "menyumbang" 80 persen angka positif secara nasional.

Namun, tidak  ada yang bisa memastikan lonjakan sekarang didominasi varian apa. Omicron, atau varian lama gelombang baru (ketiga), ataukah gabungan Alpha, Delta, dan Omicron.

Sejak tahun lalu Presiden Jokowi sebenarnya sudah berulang kali meminta rakyat waspada terhadap gelombang kertiga virus Covid-19. Ia menganjurkan warga mematuhi protokol kesehatan meskipun Peraturan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sudah dilonggarkan di beberapa daerah.

Kementerian Kesehatan sendiri telah menyatakan Indonesia akan memasuki gelombang ketiga pandemi Covid-19 setelah libur Natal dan Tahun Baru. Menkes Budi Gunadi Sadikin, bahkan sudah memprediksi situasi yang pahit.

Jika masyarakat tak mematuhi protokol kesehatan, maka jumlah kasus positif harian bisa menembus 100 ribu. Dia perkirakan itu akan terjadi di awal sampai pertengahan Februari. Dan, benar: memang itu yang terjadi sekarang.

Sebagai respons atas situasi terkini, Kamis (3/1), Presiden pun cepat tanggap. Ia tampil "live" lewat kanal YouTube Istana untuk kembali mengingatkan masyarakat. Katanya, ia telah memerintahkan Menko Marinves, Luhut Binsar Panjaitan (Koordinator Penangagan Covid-19 Jawa-Bali) dan Menko Ekuin, Airlangga Hartarto (Koordinator Luar Jawa) untuk mengevaluasi PPKM.
 
Sikap tanggap Presiden disampaikan selang sehari setelah Presiden berkunjung di Pasar Porsea, Kabupaten Toba, Sumatera Utara Rabu (2/2/2022). Menurut laporan media, sayangnya dalam kunjungan itu Presiden dan rombongan terlibat kerumunan warga yang menyambut.

Kita sayangkan, karena itu paradoks dengan pernyataan dengan fakta yang di lapangan. Itulah paradoks Jokowi.

Kita sudah mencatat banyak paradoks sebelumnya. Seperti ketika memerintahkan membuka pembatas kunjungan luar negeri. Juga saat menetapkan target 100 ribu penonton balap motor di Sirkuit Mandalika, Lombok, NTB, di tengah ancaman lonjakan kasus Covid-19.

Mungkin saja kondisi itu tidak dinginkan Jokowi, tetapi pembantunya tidak pandai mengatur acara.

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat, Irwan pun menyoroti kerumunan dalam kunjungan kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, insiden itu memperlihatkan bahwa teladan Jokowi dan jajaran pemerintahan lainnya semakin drop dalam menerapkan protokol kesehatan (prokes) Covid-19.

Menanggapi kritik itu, Sekretariat Presiden (Setpres) "buang badan". Ia mengatakan kerumunan warga pada kunjungan kerja Jokowi menjadi urusan pemerintah daerah (pemda).

"[Soal] masyarakat ya [urusan] pemda," kata Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono lewat pesan singkat seperti dikutip CNNIndonesia.com, Jumat (4/2) lalu.
 
Dari penjelasan Presiden dan beberapa pejabat terkait sebelumnya, mengesankan lebih cendrung mengindetifikasi virus yang menyerang sekarang dari varian Omicron.

Asumsinya, tidak terlalu berbahaya. Asumsi itu tampaknya yang menjadi dasar penyelenggaran beberapa acara, termasuk di Porsea, Sumut, Imlek di sebuah mal di Bandung, dan konser musik di Subang, tak merisaukan dampak kerumunan.

Toh, belakangan, denda atas pelanggaran itu ringan pula. Mal hanya ditutup operasi tiga hari dengan denda Rp 500 ribu. Padahal, tempo hari sanksi atas pelanggaran sama cukup berat. Penyelenggara acara Maulid Nabi sampai di penjara dan denda Rp 50 juta.

Di banyak negara lonjakan Omicron memang tidak begitu dirisaukan oleh masyarakat dan pemerintahnya. Bahkan penggunanaan masker pun tidak lagi diwajibkan.

Lonjakan kasus yang dipicu Omicron memang tinggi. Namun dampak  yang ditimbulkan ringan, tidak banyak merenggut jiwa. Malah dianggap seperti flu biasa. Ada juga menganggap sebagai tanda berakhirnya pandemi.

Namun, data mengenai kasus Omicron itu paradoks di AS. Kamis (3/2) yang terpapar jumlahnya 312 ribu kasus dan meninggal 3022 jiwa. Di hari yang sama di Argentina, 287 ribu kasus, wafat 1000 orang. Artinya, Omicron tetap harus diwaspadai.

Di sini pun ada sebagian masyarakat menganggap begitu. Pandu Riono, pakar epdimolog dari UI rajin "berkampanye begitu" di media. Warga yang terpapar Omicron tidak perlu panik, katanya. Cukup dirawat di rumah saja. Tidak usah menyerbu rumah sakit.

Pandu mengakui, Omicron memang memiliki kecepatan penularan tiga sampai enam kali lebih cepat dibandingkan varian sebelumnya, Delta, yang pertengahan tahun lalu mengobrak abrik dunia dan di Tanah Air.

Delta saja (waktu itu juga disebut tiga kali kecepatan varian awal) merenggut ratusan ribu jiwa rakyat Indonesia dalam kurun singkat. Ratusan tenaga kesehatan termasuk dokter menjadi korban wafat.

Puncaknya bulan Juli - Agustus tahun 2021. Angka penularan hariannya, pernah menyentuh lebih 47.887 ribu kasus. Jumlah kematian hariannya pun pernah mencapai posisi tertinggi di dunia. Semua itu terkonfirmasi dalam data RS yang lumpuh tak mampu menampung jumlah pasien yang meledak.

Juga, terkonfirmasi lewat ambulans yang mengantar jenasah untuk dimakamkan, mengantre hingga dini hari di pekuburan. Di Ibukota saja Pemrov DKI sampai membuka lahan pemakaman baru untuk menampung ledakan  itu.

Siapa yang menjamin kasus penularan di Tanah Air sekarang adalah varian Omicron. Kalau bukan?

Trauma masyarakat akibat pengalaman dua tahun hadapi pandemi, tidak mudah dihapus begitu saja. Biarpun Presiden menyatakan penyebaran virus terkendali, sulit mereka percaya.

Seruan supaya isolasi mandiri di rumah saja, tidak bisa mencegah mereka menyerbu di RS. Masih segar dalam ingatan di awal-awal pandemi ketika  Presiden sendiri dan menteri-menterinya menganggap sepele pandemi Covid-19 ini. Jejak digitalnya masih rapi tersimpan.

"Tidak diobatin pun sembuh," kata Menteri Kesehatan, Dr Terawan, waktu itu.

Wapres Maruf Amin sarankan, sudah baca saja doa qunut. Menteri Perhubungan suruh menkonsumsi nasi kucing. 

Namun, apa yang terjadi kemudian? Data per hari Jumat (4/2) kemarin yah, total kasus positif 4.446.694. Kematian: 144.453 jiwa. 

Baca juga :