Menjadi orang Jawa adalah juga menjadi seorang Islam

Penubuhan Islam dalam Kebudayaan Jawa

Menurut KH. Agus Sunyoto*, diterimanya Islam oleh orang jawa adalah sebuah keharusan sejarah. Ia adalah kelanjutan dari mata rantai sejarah bangsa Jawa dari era sebelumnya. Oleh karena itu, istilah yang dipakai pak ustadz Irfan Afifi sebagai editor di buku Jawa-Islam di Masa Kolonial karya Nancy Florida adalah 'penubuhan'. Bagaimana Islam masuk dan menubuh, menjadi bagian tak terpisahkan dari orang Jawa.

Saya jadi ingat tulisan ustadz Hamid yang berjudul Islam, Agama dan Peradaban. Sebagai sebuah agama, Islam telah komplit, namun sebagai sebuah peradaban, Islam itu seperti organisme yang hidup. Ia menyapa kebudayaan dan peradaban di luar tanah lahirnya, tidak hanya menyapa tapi juga memungut hikmah yang berserak di seluruh pelosok bumi. 

Sebagai agama, ia membekali peradaban Islam dengan berbagai seminal concept, sebagai inner dynamic, yang siap untuk berdialog dengan kebaikan hidup dimanapun ia berada. Itulah sebabnya, meski mempunyai, aqidah dan syari’at yang sama, tiap belahan dunia Islam tetap mempunyai kulturnya sendiri-sendiri. Ada yang seragam, namun ada juga yang tetap dijaga keragamannya.

Dalam musik misalnya, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga menekuni gamelan, hingga mengembangkan musik Jawa bukan memasuk paksakan musik rebana. Gamelan dan tembang Jawa yang di era Majapahit hanya terdiri dari dua genre, kidung dan kakawin menjadi Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmarandana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh dan Pucung. 

Penamaan dan filosofi tembang itu dikaitkan dengan tahapan kehidupan manusia yang bermuara pada konsep sangkan-paraning dumadi, Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, bahasa agamanya. Demikian dituturkan ustadz Irfan Afifi, budayawan Islam Jawa penulis buku, 'Saya, Jawa dan Islam'. 

Dalam menerjemahkan konsep-konsep tasawuf Islam juga diterjemahkan dengan aneka diksi yang sudah akrab dengan dunia batin masyarakat Jawa, yakni kadang papat lima pancer. Bahwa dalam diri manusia ada nafsu lawwamah, amarah supiyah dan muthmainnah, dimana ruh, spiritualitas adalah sebagai pancer, tonggak yang harus memanage dengan baik.

Proses penubuhan ini berlangsung cukup lama, ratusan tahun hingga akhirnya terbentuklah integrasi antara identitas etnis dengan identitas keagamaan, Menjadi orang Jawa adalah juga menjadi seorang Islam. Karena Jawa bukan semata etnis, ia adalah sebuah sifat kemampuan mengenali diri, menjadi dewasa.

Dasar bocah durung Njawa, maksudnya anak yang melakukan kesalahan karena kebelum pahamannya. Senajan Cino, wong kae njawani, jadi meskipun dia beretnis Cina, tapi unggah-ungguh dan tindak-tanduknya mencerminkan kedewasaan sikap. Integrasi ini, oleh Ricklefs disebut sebagai Sintesis Mistik Islam – Jawa.

Ada tiga pilar utama, dalam sintesis mistik ini, yakni (1) munculnya kesadaran bahwa menjadi orang Jawa berarti menjadi Muslim, (2) lima rukun Islam adalah sebuah kewajiban hidup dan yang (3) menjadikan realitas kekuatan spiritual khas Jawa seperti Ratu Kidul, Sunan Lawu dan banyak makhluk adikodrati lain yang lebih rendah, disesuaikan dengan pandangan hidup Islam.

Tumbal kepada Nyi Roro Kidul diganti sedekah laut, karena dalam sedekah, orang Jawa berposisi sebagai pihak yang memberi bukan meminta. Yang telanjang dada diajak berkebaya bagi perempuan dan pakai beskap untuk yang laki-laki.

Oleh karena itu, berbeda dengan Geertz yang membagi agama Jawa menjadi tiga varian, Santri, Abangan dan Priyayi untuk dipisahkan, maka CC Berg menyatakan bahwa varian dalam kemampuan melaksanakan ajaran agama bukan berarti mereka terpecah dalam tiga segregasi sosial. Sebab ketiganya tetap disatukan dalam satu ritus bersama yakni upacara kematian, yasinan dan tahlilan. 

Kaum abangan dan priyayi dalam masalah keagamaan menyerahkan pada kaum santri. Hanya santri lah yang dapat memimpin doa di dalam ritus yang paling sentral dari orang-orang abangan, yaitu slametan. Juga santrilah yang dapat memimpin upacara ketika seorang abangan mengalami, apa yang disebut Malinowsky krisis yang paling utama dan paling final dalam kehidupan, yaitu: kematian.

Lalu, mengapa sekarang Islam dan Jawa diposisikan saling berhadapan secara diametral, bermusuhan dalam hal-hal yang substansial dalam kebudayaan? Ah, itu ceritanya panjang, ada faktor internal umat Islam sendiri, karena sebagiannya ada yang memandang inferior budaya Jawa, dan juga ada faktor luar, yakni upaya penubuhan kebudayaan Barat dan keagamaan Kristen dalam kebudayaan Jawa.

Mbahasnya lain kali saja ya.

(By Arif Wibowo)

___
*K.H. Ng. Agus Sunyoto, M.Pd. (21 Agustus 1959 – 27 April 2021) adalah seorang penulis, sejarawan, dan salah satu tokoh Nahdlatul 'Ulama. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PBNU. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku Atlas Wali Songo yang mengisahkan penyebaran agama Islam di Nusantara yang tokoh-tokohnya nyata atau tidak sekadar dongeng. Buku tersebut telah dinobatkan sebagai buku nonfiksi terbaik pada 2014.
Baca juga :