[PORTAL-ISLAM.ID] JAKARTA - Kejaksaan Agung telah menaikkan kasus dugaan pelanggaran hukum dalam pengelolaan satelit untuk slot orbit 123 Bujur Timur, yang terjadi sejak 2015 di Kementerian Pertahanan, ke tingkat penyidikan.
Jaksa Muda Pidana Khusus Febrie Adriansyah tak memungkiri kemungkinan Kejaksaan memeriksa sejumlah nama tokoh besar dalam kasus satelit Orbit 123.
Dua nama yang mungkin diperiksa adalah Wiranto dan Ryamizard Ryacudu. Wiranto menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan sejak 2016 - 2019 dan saat menjabat sengaja Ketua Dewan Pertimbangan Presiden. Sedangkan Ryamizard merupakan Menteri Pertahanan pada 2015.
"Dalam proses penyidikan tentu kita profesional kita akan melihat terhadap pihak-pihak yang memang menguatkan pembuktian, kita tidak melihat dalam kapasitas jabatan," kata Febrie dalam konferensi pers, di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat, 14 Januari 2022.
Febrie menegaskan penyidik tak akan melihat posisi sosok yang akan diperiksa. Sepanjang sosok tersebut memiliki kapasitas untuk dimintai keterangan dalam penyidikan dan punya korelasimya untuk pembuktian, Febrie berjanji pemeriksaan akan dilakukan. "Saya rasa jaksa penyidik kita profesional," kata Febrie.
Tak hanya petinggi negara, kasus ini juga memiliki indikasi adanya keterlibatan anggota TNI. Hal ini dikonfirmasi oleh Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Andika mengatakan mengetahui permasalahan ini usai bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md.
"Selasa kemarin saya sudah dipanggil Pak Menko Polhukam, intinya sama. Beliau menyampaikan bahwa proses hukum segera akan dimulai dan memang beliau menyebut ada indikasi awal beberapa personel TNI yang masuk dalam proses hukum," kata Andika kemarin.
Kasus Satelit Kemenhan
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD membeberkan adanya dugaan kerugian negara sekitar Rp800 miliar terkait penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan proyek satelit Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015 lalu.
"Kementerian Pertahanan pada tahun 2015, melakukan kontrak dengan Avanti untuk melakukan sesuatu. Padahal, anggarannya belum ada. Anggarannya belum ada, dia sudah kontrak," kata Mahfud dalam konferensi pers virtual, Kamis (13/1/2022).
Kasus ini bermula pada 19 Januari 2015 saat Satelit Garuda-1 keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur. Hal ini membuat terjadinya kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
Merujuk pada peraturan International Telecommunication Union (ITU) yang ada di bawah PBB, negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk kembali mengisi slot itu. Jika tak dipenuhi maka slot dapat digunakan negara lain.
Di Indonesia, slot ini dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Namun Kementerian Pertahanan kemudian meminta hak pengelolaan ini dengan alasan pembangunan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Untuk mengisi slot itu, mereka menyewa Satelit Artemis yang merupakan satelit sementara pengisi orbit (floater) milik Avanti Communication Limited (Avanti).
Dari sini masalah mulai muncul.
Mahfud Md mengatakan Kemenhan membuat kontrak dengan Avanti, padahal Kemenhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut. Kontrak dengan Avanti diteken pada 6 Desember 2015, padahal persetujuan di Kominfo untuk pengelolaan slot orbit 123 baru keluar 29 Januari 2016.
"Belum ada kewenangan dari negara dalam APBN bahwa harus mengadakan itu, melakukan pengadaan satelit dengan cara cara itu," kata Mahfud.
Lebih parah, kontrak Satelit orbit 123 tak hanya dilakukan dengan Avanti. Untuk membangun Satkomhan, Kemenhan juga menandatangani kontrak dengan Navajo, Airbus, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu 2015-2016. Menurut Mahfud, saat itu anggaran juga belum tersedia. Pada 2016 anggaran sempat tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemenhan.
Meski persetujuan penggunaan dari Kemkominfo baru diterbitkan tanggal 29 Januari 2016, Mahfud mengatakan Kemhan pada tanggal 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit itu kepada Kemkominfo.
Lalu, pada tanggal 10 Desember 2018, Kemkominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT. Dini Nusa Kusuma (PT. DNK).
"Namun PT. DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan," kata Mahfud.
Merespons hal itu, Mahfud menjelaskan pihak Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration. Pasalnya, Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.
"Lalu, pada tanggal 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat Negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar Rp515 Miliar," kata Mahfud.
Tak hanya itu, Mahfud mengatakan pihak Navayo telah menandatangani kontrak dengan Kemhan menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance. Namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan dalam kurun waktu 2016-2017.
Melihat hal itu, Mahfid mengatakan pihak Navayo mengajukan tagihan sebesar USD16 juta kepada Kemhan Namun pemerintah menolak untuk membayar. Sehingga Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura.
"Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura tanggal 22 Mei 2021, Kemhan harus membayar USD 20.901.209,00 kepada Navayo," kata dia.
"Selain keharusan membayar kepada Navayo, Kemhan juga berpotensi ditagih oleh Airbus, Detente, Hogan Lovells dan Telesat, sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi," tambah Mahfud.
Melihat hal demikian, Mahfud mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo memerintahkan agar kasus dugaan penyelewengan kewenangan di proyek satelit Kemhan itu diusut tuntas.
"Presiden memerintahkan saya untuk meneruskan dan menuntaskan kasus ini," ucap dia.
Kini, kasus satelit ini sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung.