Ketika Nama DIA Diucapkan: Belajar Dari Kasus Ferdinand dan Dudung

Ketika Nama DIA Diucapkan: Belajar Dari Kasus Ferdinand dan Dudung

By: Arjul A Safah

Kasus hukum yang menjerat Ferdinand Hutahaean (FH) agaknya lebih menarik ketimbang kasus yang disangkakan terhadap Habib Bahar Smith (HBS). Sekalipun dari keduanya ada kemiripan. Yakni sama-sama menyoal ‘Allah atau Tuhan’, Sang Pencipta alam semesta dan segala isinya.

Kalau yang menimpah FH terkait dengan cuitannya di Twitter "Kasian sekali Allahmu ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya, DIA lah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela.” 

Kasus HBS awalnya diduga terkait dengan pernyataan KSAD Jenderal Dudung yang menyebut, 'Tuhan bukan orang Arab'. Kalau pada pernyataan KSAD Jenderal Dudung terkesan lebih mengarah pada penyerupaan "suku bangsa", pada cuitan FH menyasar pada 'perbandingan kualitas' yakni lemah versus kuat.      

Tapi apapun itu, yang patut dicatat, bahwa keduanya terkait dengan Sang Pencipta. Sang Maha Tahu, Maha Melihat dan Maha Mendengar akan segala kejadian-peristiwa di bumi bahkan di akhirat nanti. Justru karena itu pula persoalannya lebih menarik untuk direnungkan, ditafakkuri, dan dipetik pelajaran. 

Mengapa? Ya karena yang diobrolin, dipergunjingkan, diperdebatkan, oleh banyak orang belakangan adalah dzat yang Maha hidup, tidak mati. Maha terjaga, tidak tidur. Maha melihat, tidak buta. Maha mendengar, tidak tuli. Maha tahu, tak ada satupun yang luput dari pengetahuanNya. Ini berdeda ketika yang diobrolin adalah makhlukNya, manusia, hewan, tumbuhan, dan ciptaan lainnya.

Ambil contoh, kalau seorang menggunjing Presiden Jokowi, mengkitisi kebijakannya. Sebaliknya memuji, mencintai, menyanjung, menghargai atau mengapresiasi kebijakannya, tidak ada jaminan bahwa Jokowi akan tahu semuanya. Sebagai manusia Jokowi punya keterbatasan. Jangankan ketika berbicara di belakang, di tempat lain, jauh darinya. Bicara dihadapannya langsung, Jokowi belum tentu tahu persis apa yang diucapkan seseorang itu sesuai isi hatinya atau tidak.

Sementara, ketika DIA yang dibicarakan, kapan pun, dimana pun, oleh siapa pun, dalam konteks, maksud, tujuan, niat apapun pasti DIA tahu. Dengan gampang, DIA tahu, kalau seorang yang menggunjing-Nya, berkata bohong atau jujur. Niatnya baik atau jahat. Nama DIA dipolitisasi atau tidak. Termasuk tentunya, pernyataan FH terkait dengan DIA selama ini. Begitu pula dengan siapa saja membangun argumen terkait kasus FH ini. 

Mengikuti logika “dialog imajiner” FH, boleh jadi DIA akan berkata, “bohong kau FH, kau tidak berkata jujur terkait penyakitmu suka merasa down, kau lagi-lagi membuat alibi atas namaKU, kemarin kau bilang tidak beragama, tapi suatu ketika kau sebut dirimu Kristen taat, belakangan kau mengaku mualaf.” Yang dikhawatirkan adalah, ketika DIA berkata, “Hei FH, tidakkah kau bosan membawa-bawa namaKU, mempermainkan namaKU, bahkan kau jual diriKU. Lantas karena sebab kau pula, kini banyak diantara kamu, teman-temanmu, kolegamu, professor, agamawan, juga lawanmu ikut menyebut-nyebut namaKU hanya sebatas di mulut dan di otaknya saja. Hanya karena bernafsu membelamu atau menentangmu sehingga mereka tidak menjaga kesucian namaKU. Padahal dari mulut mereka, sering terucap, subhanallah.”

Nampaknya, kasus FH ini pada gilirannya akan menguji siapapun. Hakim, jaksa, polisi, pengacara, bahkan semua yang terlibat membahasnya. Karena ini menyangkut DIA Yang Maha Tahu. Medan pengujiannya bukan saja di persidangan dunia, kini dan sekarang. Tapi juga di persidangan akhirat nantinya. 

Semua harus mawas diri, sebab kasus ini bisa menjadi ‘pisau bermata dua’. Bisa menguntungkan juga merugikan. Menyelamatkan juga mencelakakan. Membuat seseorang semakin dekat dengan DIA, atau semakin dijauhkan. Membuat semakin dicintai atau dibenci bahkan dimurkai oleh-Nya. Sama halnya dengan apa yang menimpah FH kali ini, karena bisa jadi ini adalah konsekuensi perbuatan dari salah satu diantara keduanya. Murka DIA (Allah Subhanahu Wataala)-kah atau kasih sayang-Nya. Wallahu a’alam.(*)

Baca juga :