Ibu Kota Negara Baru, Partisipasi Rakyat, dan Nuansa Oligarki

Ibu Kota Negara Baru, Partisipasi Rakyat, dan Nuansa Oligarki

Oleh: Gde Siriana (Direktur Eksekutif INFUS)

Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) telah disetujui oleh DPR. Tapi rencana pemindahan ibu kota negara ini masih menyisakan banyak masalah. 

Seharusnya proyek ibu kota negara baru mendapat dukungan dari mayoritas rakyat, bukan semata keinginan presiden dan elite-elite partai politik. 

Ibu kota negara baru itu juga seharusnya bukan karena didorong kepentingan legasi (warisan) Presiden Jokowi semata. 

Pengesahan undang-undang itu oleh DPR juga tidak dapat dikatakan telah mencerminkan kehendak mayoritas rakyat.

Apakah rencana itu merupakan jawaban atau solusi atas persoalan Indonesia, khususnya masalah ibu kota Jakarta hari ini, seperti kepadatan penduduk, ketimpangan ekonomi, efektivitas kerja birokrasi pemerintah pusat, dan kelestarian lingkungan? 

Jawaban bagi masalah-masalah tersebut sebetulnya adalah relokasi pusat pemerintahan, bukan pemindahan ibu kota seperti yang akan dilakukan pemerintah sekarang.

Sesungguhnya ide relokasi pusat pemerintahan sudah muncul sejak zaman Orde Baru. Kala itu Presiden Soeharto berencana merelokasinya ke Jonggol di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bahkan waktu itu telah disiapkan lahan seluas 30 ribu hektare.

Konsep inilah yang juga dijalankan oleh Malaysia dengan mengintegrasikan pusat pemerintahan di Putera Jaya, yang berjarak hanya 25 kilometer dari Ibu Kota Kuala Lumpur. Ini lebih-kurang sama dengan jarak dari Monas ke Cibubur di Bogor. Perbedaannya, rezim Soeharto tumbang pada Mei 1998 sebelum sempat merealisasi Jonggol sebagai pusat pemerintahan baru. Sedangkan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad dapat melewati krisis moneter 1998 dan membangun Putera Jaya.

Jika ibu kota negara memang hendak dipindah, atau hanya merelokasi pusat pemerintahan, di mana lokasinya yang dikehendaki rakyat? Lalu, apa namanya? Apakah "Nusantara" dapat diterima publik? Hal-hal semacam ini tidak dapat diputuskan oleh presiden dan elite-elite partai politik tanpa didahului oleh diskusi terbuka dan partisipasi masyarakat.

Jika pemindahan itu hanya keinginan presiden dan elite partai, ibu kota baru bisa jadi akan bernasib sama seperti Naypyidaw, ibu kota baru Myanmar, karena tidak didukung rakyat. 

Berbeda halnya dengan Brasilia, yang sukses menjadi ibu kota baru Brasil karena didukung rakyat setelah melalui proses panjang dan bertahap sehingga perencanaannya pun matang.

Gagasan Brasilia sebagai ibu kota negara sudah muncul sejak 1789. Jose Bonifacio, politikus dan tokoh pemikir Brasil, mengingatkan kembali Brasilia sebagai ibu kota baru dan simbol kemerdekaan negeri itu pada 1822. Rencana pemindahan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasilia baru disetujui Kongres pada 1891. Pada tahun berikutnya, Kongres menyetujui sebuah ekspedisi untuk melakukan survei ke dataran tinggi Brasil bagian tengah dan menetapkan batas-batas ibu kota baru. Ekspedisi tersebut melibatkan astronom, insinyur, militer, dokter, ahli botani, dan banyak ilmuwan lainnya.

Pada 1946, konsep ibu kota baru tersebut masuk konstitusi. Akhirnya, pada 1956, di bawah Presiden Juscelino Kubitschek, Brasilia secara resmi dibangun sebagai ibu kota baru Brasil. Brasilia memang dibangun dengan konsep sebagai kota modern yang mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Tapi hal itu merupakan faktor teknis saja. Prinsip utamanya adalah ibu kota baru tersebut merupakan amanat rakyat sebagai simbol kemerdekaan Brasil.

Rencana Jokowi memindahkan ibu kota negara juga tidak tepat dilakukan di saat ekonomi Indonesia sedang sulit. Fokus pemerintah saat ini seharusnya konsisten menangani pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Seperti orang yang sedang sakit berat, dia harus dipulihkan dulu. Setelah sehat, dia pun tak bisa buru-buru berjalan cepat dan butuh waktu lagi untuk bisa berlari kencang.

Saat ini keuangan negara sedang berat dan ekonomi belum pulih, tapi tiba-tiba dipaksa membangun megaproyek ibu kota negara baru. Selain itu, kapasitas pemerintahan Jokowi dalam pembangunan ekonomi menunjukkan prestasi yang tidak bagus. Pertumbuhan ekonomi pada periode pertamanya hanya stagnan di 5 persen. Hal itu telah terjadi sebelum pandemi Covid-19. Dan, hari ini banyak badan usaha milik negara yang menanggung beban utang yang berat.

Banyak pula proyek infrastruktur yang dikerjakan tanpa pertimbangan prioritas kebutuhan dan perencanaan yang matang sehingga tidak layak dikerjakan, anggarannya meleset, atau tersendat pelaksanaannya, seperti kereta cepat Jakarta-Bandung. Bahkan, proyek yang sudah selesai pun, seperti Bandar Udara Kertajati, masih bermasalah karena sejak awal tidak memperhatikan biaya operasional dan mekanisme pemeliharaannya. Sedangkan kehadirannya tidak dirasakan manfaatnya oleh pengguna bandar udara sehingga mengancam keberlanjutan bandara tersebut.

Jadi, proyek ibu kota negara baru seharusnya dikerjakan oleh pemerintahan yang menunjukkan konsistensi dan prestasi yang mengesankan dalam pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi inilah yang kelak akan menjadi sumber pembiayaan bagi ibu kota baru tersebut.

Pembiayaan pembangunan ibu kota negara baru juga tidak meyakinkan. Bahkan terlihat adanya agenda masing-masing di kabinet Jokowi. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa Rp 178 triliun dari total anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN), yang berjumlah hampir Rp 456 triliun, akan masuk pos Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Pos itulah yang akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan jalan di ibu kota baru.

Anehnya, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto membantah bahwa dana PEN akan digunakan untuk ibu kota baru, melainkan dari anggaran Kementerian Pekerjaan Umum tanpa penjelasan sumber dana di kementerian ini. Hal itu menunjukkan ketidakjelasan sumber dana pembangunan ibu kota baru karena memang sejatinya kondisi keuangan negara sedang sulit.

Selain itu, jaminan atas realisasi pemindahan ibu kota negara tidak cukup melalui undang-undang. Ibu kota negara seharusnya ditetapkan dalam konstitusi, seperti halnya bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Bahkan, wilayah dan batas-batas Republik Indonesia pun harus ditetapkan dalam konstitusi sebagai "sertifikat" yang sah bahwa rakyatlah yang memiliki tanah air Indonesia.

Nuansa kepentingan oligarki sangat kuat di balik agenda pemindahan ibu kota. Hal inilah yang dapat mempengaruhi situasi politik di masa depan yang dapat membatalkan rencana pemindahan ibu kota. Tidak ada jaminan bahwa pemerintahan berikutnya akan melanjutkan pembangunan ibu kota baru ini.

Harus dapat dibedakan antara tahap pembangunan sebuah kota untuk menjadi ibu kota baru dan realisasi pemindahan ibu kota. Misalnya, pembangunan ibu kota baru dapat saja diteruskan dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tapi tidak serta-merta akan terjadi pemindahan ibu kota. Dengan kata lain, APBN telah dimanfaatkan hanya untuk pembangunan sebuah kota baru di Kalimantan. Yang paling diuntungkan oleh pembangunan tersebut adalah para pengembang besar.

Berbagai pihak telah mengklaim kepemilikan atau hak pengelolaan lahan di wilayah ibu kota negara baru. Bahkan grup-grup pengembang besar sudah membangun banyak properti di sana. Sejak pemerintah mengangkat rencana ibu kota baru, beberapa tahun lalu, kenaikan harga properti di sana sudah terjadi dan semakin tinggi ketika UU IKN disahkan. Dengan kata lain, jadi atau tidak ibu kota pindah, para pengusaha besar itulah yang bakal meraup keuntungan.

(Sumber: Koran TEMPO 27-01-2022)
Baca juga :