Dakwah Nihil Tantangan, Mungkinkah?
Oleh: Ustadz Abdullah Zaen
Selembut dan sebijaksana apapun cara kita dalam berdakwah, selama kita menyuarakan kebenaran dan meluruskan penyimpangan; pasti akan menghadapi rintangan dan tantangan. Itu sudah sunnatullah. Bahkan da’i paling bijaksana dan paling lembut sedunia sekalipun, ternyata dicaci-maki, dilempari batu, diusir, malahan diupayakan untuk dibunuh. Beliau adalah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Namun ada satu hal penting yang musti selalu diingat. Bahwa kita tidak pernah diajari Islam untuk sok-sokan meminta dan menantang ujian. Justru sebaliknya, setiap pagi dan petang kita dibimbing untuk selalu memohon afiat dan keselamatan.
Dakwah itu tidak boleh sekedar bermodal nekat dan semangat. Namun harus berbekal ilmu yang beragam. Ilmu tentang konten dakwah yang akan disampaikan. Ilmu mengenai objek dakwah yang akan didakwahi. Ilmu tentang level kekuatan atau kelemahan kita. Yang terakhir ini diistilahkan oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh hafizhahullah dengan term Fiqh al-quwwah wa adh-dha’f.
Lebih dari 13 tahun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di kota Mekah. Tidak pernah sekalipun tercatat dalam sejarah, beliau merusak ratusan berhala yang bertebaran di sekeliling Ka’bah. Bahkan sekedar ‘iseng’ mencolek patung atau menendang sesaji, tidak pernah beliau lakukan. Padahal berhala itu jelas-jelas simbol kesyirikan; dosa terbesar yang tak diampuni Allah. Namun beliau justru berkonsentrasi dan fokus membangun pondasi akidah, sembari mengiringinya dengan penerapan akhlak mulia terhadap masyarakat.
Beliau adalah sosok yang amat bijaksana dan dibimbing wahyu Allah. Beliau sangat memahami bahwa kaum muslimin di fase Mekah dalam kondisi lemah dan minoritas. Jika melakukan tindakan yang tidak terukur, bisa berakibat fatal. Yakni dihabisinya umat Islam tanpa tersisa hingga akar-akarnya.
Sirah Nabawiyyah itu intinya bukan menghapal jumlah pasukan kaum muslimin dan kaum musyrikin saat perang A atau perang B. Bukan pula sekedar menghapal nama atau tahun peristiwa C dan peristiwa D. Namun Sirah Nabawiyyah dicatat untuk dipahami, direnungi dan diambil pelajarannya; guna diaplikasikan di tengah kehidupan kita.
Dalam kondisi kuat dan mayoritas pun, kita tetap dituntut untuk mengatur dan menata diksi ucapan yang akan kita sampaikan. Serta mengukur dan menimbang perbuatan yang akan kita lakukan. Akankah menimbulkan dampak buruk yang lebih besar dibanding manfaatnya atau sebaliknya? Apalagi dalam kondisi lemah dan minoritas. Tentu kita lebih tertuntut untuk tidak grusa-grusu.
Ingat, tidak setiap tantangan dan rintangan yang kita hadapi dalam berdakwah akan membuahkan pahala. Terlebih jika itu muncul sebagai efek dari kejahilan, kecerobohan dan ketidakbijaksanaan kita dalam berdakwah.
6 Jumada Tsaniyah 1443 / 9 Januari 2022
(Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga)