CALON-CALON SYUHADA

CALON-CALON SYUHADA

Sejak Januari 2021 setidaknya 1.149 anak Palestine ditangkap tentara zionis, 15 di antaranya syahid. Mirisnya, data itu dirilis di Hari Anak Sedunia yang diperingati setiap tanggal 20 November.

Begitulah kehidupan para calon-calon syuhada itu. Setiap hari tak bisa luput dari terror dan aniaya. Kalaupun tidak menimpa mereka, namun mereka harus tetap menyaksikannya pada ayah, kakek, paman, atau teman. 

Salah satu ancaman hukuman berat apabila mereka kedapatan melempar batu pada siapa saja. Kena atau tidak kena. Hukumannya 20 tahun. Tidak peduli berapapun usia mereka.

Terbayang di saat anak-anak di sini ribut berebut mainan, saudara-saudaranya di Palestina sedang mencoba berlindung dari pukulan atau tendangan tentara bersenjata.

Kalaupun hari itu mereka lolos dari kekerasan fisik, belum tentu lolos dari kekerasan verbal. Atau dari suasana yang menekan dan mengancam.

Kapan saja teman-teman atau saudara mereka bisa “diciduk" saat duduk di bangku sekolah maupun di rumah.

Saya bisa membayangkan tangguhnya mental mereka, karena setiap hari mendapat “stimulus” seperti itu. 

Seorang psikolog anak dan pendidikan yang bekerja di Dewan Pengungsi Norwegia bernama Olla Abu Hasaballah memberikan kesaksiannya tentang anak-anak di Palestina, utamanya yang tinggal di Gaza. Mereka rerata mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD) atau stress pascatrauma.

"Gejalanya tak bisa tidur, mimpi buruk, merasa bersalah, merasa terkucilkan, ngombol lagi di usia sekolah, merasa kebal, tak punya harapan, marah, pikiran negatif tentang masa depan dan depresi," jelas perempuan yang selama 13 tahun terakhir membantu anak-anak terdampak perang di Gaza.

Menariknya, sekalipun anak-anak itu hidup di bawah tekanan yang luar biasa, mereka tak mau meninggalkan kampung halamannya. 

“Kalau sudah besar saya tak mau meninggalkan Palestina. Ini bukan tempat biasa. Ini tanah kakek nenek saya. Kuburan mereka. Tanah kenangan dan identitas saya,” katanya menirukan suara murid-muridnya.

Anak-anak memang tak seharusnya berada di tengah situasi perang. Karenanya Rasulullah SAW pun tak mengizinkan para sahabat yang masih kecil ikut berjihad. 

Ini ditandai dengan adanya larangannya pada sahabat Al Barra’ bin Azib, Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit untuk ikut dalam perang Badar karena usianya belum genap berusia 15 tahun.

Walaupun kemudian di perang Uhud, ada juga sahabat Samurah bin Jundub dan Rafi' bin Khudaij yang usianya baru 15 tahun diizinkan ikut perang, karena kemampuan bergulat dan memanah yang dimilikinya. 

Ketabahan anak-anak Palestina menerima deraan dan siksaan untuk mempertahankan setiap jengkal Baitul Maqdis mengingatkan pada kegigihan para sahabat belia di medan jihad. Ada benang merah yang sama, kalau para sahabat adalah para syuhada, maka anak-anak itu adalah calon-calon syuhada.

(By Uttiek)

Baca juga :