Revolusi Mental Nenek Lu! Pasukan Siber Dalam Genggaman Penguasa dan Pengusaha, Imbalan Jabatan Komisaris

Oleh: Agustinus Edy Kristianto

Status saya sebelumnya yang menyinggung akun-akun hantu mendapatkan konteks yang tepat dalam laporan Kompas edisi16 Oktober 2021 (Hlm. 18) berjudul "Pasukan Siber Dalam Genggaman Penguasa dan Pengusaha".

"Perkembangan opini publik di media sosial sering kali tak terjadi secara alamiah. Sebagian percakapan, terutama yang menyangkut kepentingan publik, acap kali dimanipulasi pasukan siber. Namun, hanya segelintir pihak yang mampu menguasai pasukan siber karena biaya jasanya tidak murah," tulis Kompas, yang mendasarkan liputannya pada penelitian terbaru dari LP3ES, Undip Semarang, UII Yogyakarta, Drone Emprit, Universitas Amsterdam, dan KITLV Leiden. 

Pasukan siber di Indonesia, kata penelitian itu, didanai politikus senior, orang di lingkaran menteri, dan pengusaha kaya. Pasukan terdiri dari jaringan pendengung (buzzer), pemengaruh (influencer), dan pembuat konten. 

Influencer tarifnya bisa mencapai Rp20 juta/bulan. Bahkan disebutkan dalam laporan itu, "Imbal balik pemengaruh ada yang mendapatkan jabatan komisaris di perusahaan negara."

Elite politik berkuasa mempekerjakan pasukan siber untuk menangkis kritik dan meningkatkan penerimaan publik terhadap kebijakan pemerintah. Elite ekonomi menggunakan mereka untuk menghasilkan dukungan publik terhadap kebijakan yang melayani kepentingan mereka, seperti UU Cipta Kerja (saya sebut dalam status terdahulu salah satunya untuk kepentingan pengusaha batubara) dan revisi UU KPK. 

Pemerintah menggunakan jasa pasukan siber untuk mempromosikan antara lain kebijakan normal baru. Anggaran dari pos dana sosialisasi. "Ada pula pendengung yang mengaku dibayar orang dekat menteri di kabinet."

Kesimpulan pentingnya adalah pasukan siber merusak kesetaraan politik. Ini sejalan dengan hasil survei opini publik Litbang Kompas yang dirilis hari ini bahwa di bidang politik dan keamanan, apresiasi terhadap kinerja pemerintah menurun signifikan menjadi 70,8% dari sebelumnya tak kurang dari 77%. Penurunan terdalam terjadi pada aspek "membuka kesempatan bagi publik dalam mengawasi dan mengontrol pemerintahan".

Saya ingin dalami laporan Kompas itu dengan menggunakan contoh saya, yang kata beberapa orang, "Kerjanya setiap hari memaki pemerintah". Betul sekali dan itu saya lakukan konsisten setidaknya sejak pemerintahan jilid 2 Jokowi. Alasan utamanya: 1) saya nilai pola pikir Jokowi kacau menyangkut perkembangan teknologi digital dan pemerintahan; 2) bangsa ini terancam perang saudara jika manipulasi informasi tidak dihentikan. 

Saya nonaktifkan semua akun medsos saya, kecuali Facebook. Saya terinspirasi perkataan investor awal Facebook Roger Mcnamee di dokumenter "The Social Dilemma" (2020). "Salah satu masalah dengan Facebook adalah sebagai alat persuasi. Itu mungkin hal terhebat yang pernah dibuat. Sekarang, bayangkan artinya itu di tangan diktator atau pemimpin otoriter. Jika ingin mengendalikan populasi negaramu, tak pernah ada alat yang seefektif Facebook."

Ambil contoh betapa Facebook menyumbang peran besar bagi pembantaian muslim Rohingya di Myanmar dan perang saudara di berbagai belahan dunia. Dalam diskusi dengan kawan-kawan Kristiani, saya juga 'serang' sikap gereja yang tidak jelas menghadapi persoalan ini. Masalah tak selesai dengan hanya menempatkan seorang romo di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) atau berkampanye kebhinekaan dan antiterorisme semata. Perlu ada tindakan radikal untuk melihat dan memutus akar masalah yang sebenarnya: manipulasi dan bisnis-politik yang kotor!

Saya mencoba memahami algoritma Facebook dkk. Mustahil mengalahkan kecerdasan artifisial mereka. Tapi kita bisa memanfaatkannya untuk tujuan yang baik. Jika saya menulis secara objektif dan faktual, orang akan berkumpul, dan algoritma secara otomatis akan memberikan umpan informasi sejenis dan mengumpulkan orang yang menyukai hal sejenis. Jika itu dilakukan konsisten maka perlahan-lahan akan terbentuk persepsi dan perilaku sesuai dengan tujuan saya yaitu membentuk komunitas yang kritis terhadap informasi, objektif, disiplin verifikasi, mengacu sumber yang jelas, no-anonim, yang jika itu semakin besar maka akan menahan tekanan polarisasi politik yang tajam di masyarakat, yang berpotensi perang saudara.

Tapi Anda bisa lihat sendiri laporan Kompas, Jokowi dan aparatusnya tidak melakukan seperti ideal yang saya katakan di atas. Sebaliknya, informasi dimanipulasi untuk kepentingan elite berkuasa. 

Ketika berbicara tentang unicorn dkk dalam kampanye, saya sudah mencium bau busuk itu. Dia tidak menyadari betapa bahayanya model bisnis perusahaan unicorn itu untuk memanipulasi dan mengubah perilaku serta persepsi masyarakat sesuai kepentingan "beneficial owner". Entah demi uang, entah demi jabatan. Celakanya, Jokowi justru memfasilitasi besar-besaran aksi mereka.

Dia angkat staf khusus seorang pendiri pinjol. Si staf khusus memanfaatkan jabatannya untuk menyurati camat-camat berkedok pendataan bantuan Covid-19. Di balik itu, ada potensi besar perusahaan pinjol untuk menghimpun data calon nasabah. Data itu dikumpulkan dan dianalisis pola perilakunya. Mana yang bisa ditawari pinjaman, mana yang bisa ditawari produk. Di masa depan, arahnya adalah perubahan pola perilaku dan persepsi. Masyarakat desa yang sudah hidup dalam tatanan tertentu berdasarkan kearifan lokal akan diubah menjadi dependen terhadap segala jenis utang. 

Dia angkat staf khusus seorang pendiri Ruangguru. Start-up itu dikendalikan Lippo Group. Dibentuklah kebijakan Kartu Prakerja. Merangkul perusahaan platform digital dan dibiayai negara Rp5,6 triliun ketimbang menggunakan platform resmi milik Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi saja. Negara juga membayari survei (3 kali) sebesar Rp150 ribu/orang sehingga total Rp840 miliar. Data pengguna, hasil survei, identitas dsb adalah basis data yang dipegang platform digital itu yang sangat berguna untuk pengembangan bisnis ke depan. Artinya, sudah dapat komisi, dapat database, dapat proyek APBN pula... Lebih jauh lagi dia bangga-banggakan IPO start-up yang jelas-jelas pemegang saham pengendalinya adalah badan hukum asing meskipun diberitakan adalah karya anak bangsa. 

Dia diamkan BUMN Telkomsel menyuntik Rp6,4 triliun Gojek-Tokopedia (GoTo). Berapa banyak data yang sudah dikuasai GoTo, apa saja jenisnya, untuk tujuan apa, di mana disimpannya, perubahan persepsi dan perilaku/budaya apa yang mereka rencanakan... kita tidak tahu. 

Entah kenapa pikiran Jokowi tidak sampai ke sana. Dia tidak melihat betapa ada bom waktu yang mengintai di balik kebanggaannya terhadap segala hal yang berbau teknologi yang ia pahami secara salah kaprah. Dia tidak bisa membaca bahwa pertarungan revolusi mental yang sesungguhnya terjadi di wilayah penguasaan data itu. Teknologi persuasi sangat mengandalkan data-data yang banyak dan beragam untuk menentukan/memanipulasi perubahan persepsi dan perilaku masyarakat. Entitas bisnis menggunakannya untuk menjual penggunanya ke pemasang iklan, entitas politik memakainya untuk memanipulasi pikiran pemilih untuk tujuan politik. 

Ingat, semua itu dalam era media sosial, sifatnya candu. Hanya ada dua bisnis di dunia ini yang menggunakan istilah pengguna (users): 1) bisnis narkoba; 2) bisnis digital. 

Jokowi sudah terlalu dalam berselingkuh dengan para hantu digital itu. Dia sudah masuk dalam kategori 'menjual' negara ini demi kepentingan yang jauh dari kepentingan nasional. Justru yang diperlukan saat ini adalah membabat habis elite ekonomi-politik berkuasa yang menggunakan teknologi digital sebagai alat manipulasi informasi dan akumulasi bisnis.

Jangan cuma gerebek kantor pinjol tapi buat regulasi yang menyulitkan model bisnis manipulatif mereka bergerak; jangan cuma gerebek akun-akun hantu tapi cari sampai lubang terjauh siapa pemesan dan penerima manfaat tertingginya; jangan cuma bangga-banggakan IPO start-up tapi pajaki sebesar-besarnya penguasaan mereka atas bigdata.

Lakukan sesegera mungkin karena modus manipulasi serupa sudah mulai dimainkan. Laporan Tempo beberapa waktu lalu tentang tim persiapan pemilu Erick Thohir, contohnya. Ada gelagat mereka akan menggunakan modus 'manipulasi' persepsi dan perilaku menggunakan basis data yang mereka punya. Anak muda mendamba iPhone terbaru, ditawarilah hadiah iPhone dengan syarat menjadi follower akun Erick Thohir. 

Mau jadi apa negara ini jika cara berpolitiknya recehan macam begini. 

Revolusi mental nenek lu!

Salam.

(fb)

Baca juga :