Kekeliruan Mahfud MD Soal Korban Pinjol Ilegal Tidak Usah Bayar Utang

Oleh: Agustinus Edy Kristianto

Menkopolhukam Mahfud MD berkata masyarakat jangan bayar cicilan jika ditagih pinjol ilegal. 

Itu betul secara hukum tapi tidak mendidik. Utang harus dibayar. Jika tak mau bayar, jangan berutang. Lebih baik berkata semua utang masyarakat di pinjol ilegal alihkan ke pemerintah. Pinjol ilegal yang mau tagih silakan menagih kantor polisi atau kantor militer terdekat. Jangan ganggu masyarakat!

Akar masalahnya bukan di situ. Ini persoalan melawan sistem kapitalisme kucing kurap berwujud model bisnis digital (fintech lending). Mau digerebek seberapa banyak pun oleh polisi, jamur busuk ini akan terus tumbuh selama tidak dipotong mati akarnya

Akar kedua adalah masalah determinasi budaya (lifestyle). Ini adalah sebuah rekayasa sosial untuk mengubah persepsi dan perilaku masyarakat ke arah konsumtif, serakah, money-oriented. Bungkusnya saja manis: inklusi keuangan!

Menurut saya dua hal mendesak dilakukan: 

(1) hentikan semua kegiatan pinjol (bahasa di Peraturan OJK 77/2016 adalah layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi) baik legal maupun ilegal dan evaluasi total model bisnisnya; 

(2) pecat Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki, gantikan dengan yang lebih progresif dan berani untuk menentang model bisnis kapitalisme kucing kurap macam begini, melalui penguatan koperasi. (Siapa penggantinya, saya belum tahu. Tapi, ya, masak di Indonesia tidak ada orang yang berani melawan).

Anda tahu siapa yang mematok bunga pinjol maksimal 0,8% per hari (292% per tahun)? Itu bukan melalui aturan pemerintah atau OJK melainkan cuma berdasarkan code of conduct Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Bandingkan dengan bunga KUR 3%/tahun atau bunga khusus pegawai OJK 1,25%/tahun. Apa adilnya?

Kenapa ada orang mau pinjam dengan bunga setinggi itu? Karena ada kebutuhan berbagai macam dan mereka tidak masuk kualifikasi bank sebagai debitor (bankable). Mengapa pinjol ada, ya, karena itu: potensi pasar mereka yang tidak bankable itu Rp1.000 triliun! Bahkan kartu kredit baru bisa melakukan penetrasi sekitar 6% dari potensi itu.

Mendirikan pinjol relatif mudah. Diatur dalam Peraturan BI 19/2017 dan POJK 77/2016. Kalau PT modal disetor Rp1 miliar, kalau koperasi modal sendiri Rp1 miliar. Modal dasarnya hanya Rp2,5 miliar baik PT maupun koperasi saat mengajukan izin. 

Lalu berbondong-bondonglah investor (individu/institusi asing maupun lokal) tanam uang di sini. Contoh Investree tawarkan imbal hasil (return) 20% bagi investor, Amartha 15%. Bandingkan dengan investasi di bursa yang IHSG-nya tahun lalu -5,09%. Atau bandingkan dengan ditaruh di deposito, emas, obligasi, dsb. "Imbal hasil atraktif," tulis situs Investree.

Investree dkk itu cuma perusahaan aplikasi. Tujuan mereka adalah menghimpun pendanaan untuk kemudian melakukan exit di masa depan (divestasi/IPO). Operasional mereka dibiayai dari biaya-biaya yang dibayar nasabah.

Saya kutip dari Crunchbase, Investree mendapatkan pendanaan US$24 juta (Rp336 miliar), antara lain dari bank lokal juga BRI Ventures dan Mandiri Capital Indonesia, selain dari asing-asing.  

Amartha menghimpun US$63,5 juta (Rp889 miliar), antara lain dari Bank Mandiri, Bank UOB, Line Ventures dll.

Tujuan investor itu mendapatkan capital gain saat perusahaan exit. Tujuan borrower mendapatkan return tinggi. 

Ada bisnis sampingan lain yang gede juga, yakni perusahaan layanan tanda tangan elektronik. Perjanjian pinjol mensyaratkan itu. Ada 2 pemain besar penyedia layanan itu dan salah satunya, menurut sumber saya, dikendalikan orang-orang otoritas dan pemerintahan juga!

Dari model bisnis macam itulah semua petaka bermula. Nasabah dijerat bunga tinggi. Debt-collector dikerahkan agar kolektibilitas terjaga (saya dengar 10% disisihkan untuk penagihan dari biaya yang dibayarkan nasabah). Denda harian, bunga berbunga dikenakan. Data dioper ke sana-sini. Gambar porno tersebar...

Mampuslah masyarakat.

Kenapa pemerintahan Jokowi bapuk menghadapi ini (terutama Menkop UMKM-nya), karena gagal menjalankan amanat UU Perkoperasian (17/2012). Jokowi malah membangga-banggakan fintech-fintech ini sebagai unicorn/decacorn dan bekas-bekas pejabat malah jadi advisor di situ... 

Amartha, yang awalnya adalah koperasi di Ciseeng, Bogor, malah jadi fintech, mengikuti model bisnis ini. Pendirinya pernah dijadikan staf khusus pula oleh Jokowi.

Negara ini tidak butuh pinjol kalau Jokowi ngerti nurani rakyat. Yang perlu diperkuat adalah koperasi itu. Di UU diatur tentang Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam (konvensional maupun syariah). Kenapa malah pinjol bin fintech yang Anda banggakan terus?

Negara ini tidak butuh pinjol kalau akses masyarakat kecil/pelaku UMKM dipermudah di perbankan. Saat ini bank cenderung untuk kepentingan orang/institusi yang sudah kaya. Lihat kasus Dipasena (Sjamsul Nursalim). Bank milik dia, BLBI dikucurkan ke dia, petambak disuruh ngutang ke dia, ketika berperkara utang petambak itu yang dimajukan. 

Negara ini tidak butuh pinjol kalau setidaknya Teten Masduki itu ada gunanya. Sudah digaji dan difasilitasi negara, nanti dapat pensiun, apa kerjanya dia? Kalau saya jadi dia, ke mana-mana wajah saya tutupi karung saking malunya membaca korban pinjol di Kompas (20/10/2021) yang awalnya membutuhkan modal usaha di bawah Rp10 juta, namun terjerat hingga puluhan juta. 

Akui saja, Teten Masduki tidak melakukan apa-apa untuk penguatan koperasi dan pelaku UMKM di hadapan jamur pinjol.

Negara ini tidak butuh pinjol kalau presidennya agak cerdas sedikit dengan tidak memberikan secara cuma-cuma Rp5,6 triliun kepada platform digital mitra Prakerja. Uang itu yang seharusnya dipakai untuk permodalan koperasi kecil, pendampingan pelaku usaha, pengenalan terhadap teknologi pemasaran digital, pembukaan dan promosi ke market yang lebih luas, pelatihan kerja di BLK-BLK, pemagangan...

Biar Presiden dan Teten Masduki tahu juga, masyarakat susah dan terjerat pinjol adalah karena mindset kepemimpinan mereka yang ngawur, yang justru berpihak pada makelar digital (venture capitalist) dan investor-investor kaya. 

Kalau pun 1 miliar unicorn fintech di Indonesia ini tercipta, yang makmur investor-investor besar dan para borrower itu, masyarakat cuma jadi nasabah yang terjerat utang dan teror para penagih.

Jadi, konkret saja, kapan Teten Masduki angkat kaki dari kantornya?

Sebagai sesama alumnus YLBHI, saya malu melihatnya!

Salam.

(fb)
Baca juga :