Pemerintah Hapus Angka Kematian dari Indikator Penanganan Corona, Epidemiolog: Membahayakan

[PORTAL-ISLAM.ID]  Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman mengkritik keputusan penurunan level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM Level 4 menjadi 3 di beberapa daerah. Alasannya, pemerintah tak memasukkan indikator kematian sebagai pertimbangan. 

"Ini yang berbahaya sekali ya, karena kita akan kehilangan indikator penting. Angka kematian itu indikator keparahan suatu wabah, termasuk pandemi. Kalau indikator menentukan tingkat keparahannya hilang, kita enggak tahu seberapa parah kondisinya," ujar Dicky saat dihubungi Tempo, Selasa, 10 Agustus 2021.

Pemerintah sebelumnya menggunakan sejumlah indikator menentukan level PPKM. Untuk level 4, kriterianya; angka kasus konfirmasi positif Covid-19 lebih dari 150 orang per 100 ribu penduduk per minggu. Kejadian rawat inap di rumah sakit lebih dari 30 orang per 100 ribu penduduk per minggu. Angka kematian akibat Covid-19 lebih dari lima orang per 100 ribu penduduk di daerah tersebut.

Sementara level 3, angka kasus konfirmasi positif Covid-19 antara 50-100 orang per 100 ribu penduduk per minggu. Kejadian rawat inap di rumah sakit 10-30 orang per 100 ribu penduduk per minggu. Angka kematian akibat Covid-19 antara dua sampai lima orang per 100 ribu penduduk di daerah tersebut.

Koordinator PPKM Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan menyebut, dalam penerapan PPKM Level 4 dan 3 yang akan dilakukan pada 10 Agustus-16 Agustus 2021, ada 26 kota atau kabupaten yang turun dari level 4 ke level 3.

Namun dalam perpanjangan PPKM 10-16 Agustus, Luhut menyebut evaluasi dilakukan dengan mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian karena ditemukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang. "Sehingga hal ini menimbulkan distorsi dalam penilaian," ujar Luhut, kemarin.

Dicky menyebut, alasan tersebut tidak dapat dibenarkan. "Masalah input data itu tidak bisa jadi alasan, saat pandemi ini juga enggak ada yang realtime. Makanya dalam data selalu dihitung pergerakan dalam 7 hari. Alasan itu tidak tepat dan tidak bisa kita menghilangkan indikator yang sangat penting. Ini bahaya," ujarnya.

Dicky menegaskan, tingkat keparahan situasi wabah hanya bisa diukur dari angka kematian. "Itu pemahaman mendasar di epidemiologi. Jadi kalau itu hilang, ya kita hilang. Sudah kita terbatas kapasitas testing dan tracing surveilans, hilang data mortality ini dapat membuat kita makin gelap dalam pengendalian pandemi ini," ujarnya.

Dicky khawatir, jika permasalahan data ini tidak dibereskan, maka Indonesia akan semakin lama terbebas dari pandemi Covid-19. "Inilah yang saya khawatirkan, salah satu indikator kenapa saya menempatkan Indonesia dalam potensi bakal keluar gelombang paling akhir pandemi, karena manajemen data ini," tuturnya soal langkah pemerintah hapus indikator kematian saat turunkan level PPKM.

(Sumber: Tempo)
Baca juga :