Agustinus: Mural Tembok Bisa Dihapus, Tapi Rasa Ketidakadilan Tidak Bisa Hilang

[Catatan Agustinus Edy Kristianto]

Jangan bicara "izin" dalam mural politik. Itu bias kekuasaan. Apalagi diucapkan oleh orang yang sedunia juga tahu ia adalah kutu loncat. Opisisi seolah-olah yang muka tembok lalu ikut klub mangkal di pinggir jalan sebagai pengantre tetesan jabatan.

Presiden Jokowi bisa saja mendapat suara terbanyak dalam pemilu, tapi belum tentu juga ia mendapat 'izin' rakyat untuk memimpin. 

Di sini saya juga mau buat mural. Saya ingat pernah membacanya dari Majalah Aktuil: "Ya, Tuhan, semoga aku laku keras hari ini". Itu gambaran sulitnya ekonomi saat ini, yang dirasakan pula oleh para pekerja hiburan malam.

Yang penting kita tahu batasannya: keamanan nasional, keselamatan publik, dan ketertiban umum. Materi tidak bohong, SARA, dan kebencian. That's it!

Kita fokus pada pesannya. 

The New York Times (14/8/2021) menulis judul "Poverty, Disease, Customs: Why So Many Indonesian Children Die of Covid. "... many of those factors boil down to a single one: POVERTY."

Dikutip pernyataan Dr. Marisa Dolhnikoff, ahli patologi Sao Paulo University Medical School Brazil. "The first thing to know is that socioeconomic inequality is a very important factor of mortality."

CNN (14/8/2021) juga menulis "Indonesia has thousands of empty hospital beds. So why are Covid-19 patients dying at home." Sementara Aljazeera (4/8/2021): "Indonesia remote East Nusa Tenggara struggles to get vaccines."

Itu poinnya. 

Kombinasi tiga hal ini yang menyebabkan Jokowi seperti tidak punya 'izin' (kredibilitas) untuk memimpin: lemah, tidak cakap, dan tidak adil.

Ia lemah karena membiarkan (atau larut?) dalam kendali oligarki bisnis-politik di sekelilingnya. Ia tidak cakap karena kapasitasnya untuk menghalangi penyerobotan sumber daya negara oleh oligarki sangat lemah. Ia tidak adil karena membuka pintu bagi oligarki untuk mengeruk sumber daya negara yang pada akhirnya memperlebar ketidakadilan ekonomi.

Itulah jalan kematian.

Tuhan, aku lapar! Mengapa Anthony Salim, Jerry Ng, Eddy Sariaatmadja (EMTEK), Chairul Tanjung dkk tidak? 

Jerry Ng masuk 10 besar daftar Forbes real time Billionaires (14/8/2021) dengan kekayaan Rp61,9 triliun. Ia bekas Dirut BTPN yang sekarang menjadi pengendali bank rencana digital Bank Jago (ARTO). Di balik Arto ada GoTo, yang disuntik Rp6,4 triliun oleh BUMN Telkomsel. Di balik GoTo ada Boy Thohir (Komisaris), kakak Menteri BUMN. 

Selebihnya Anda sudah tahu siapa. 

Adalah fakta bahwa jargon "orang baik" semasa kampanye tidak mampu menahan ambrolnya tembok keadilan. "Orang baik" memperlebar kesenjangan orang kaya-miskin di Indonesia. "Orang baik" tidak bisa mengubah struktur yang tidak adil dan malah melanggengkannya. "Orang baik" menciptakan peluang bagi pemburu rente untuk menjadi katalisator penguatan struktur yang tidak adil. 

"Orang baik" adalah jargon yang tidak jelas. Tapi sayangnya, mengutip Gustave Le Bon, penulis "The Crowd: A Study of The Popular Mind" (1895): "Words whose sense is the most ill-defined are sometimes those that possess the most influence."

Mural tembok bisa dihapus tapi rasa ketidakadilan tidak bisa hilang. Ia akan ditulis terus meski tidak dikatakan, sampai jauh ke ujung bumi. 

Ia akan menghancurkan 'imaji politik kolektif' bahwa pemerintahan ini baik adanya dan adil.

Jokowi 404.

"Task is still in progress, are you sure to cancel it?"

Salam Mural

[fb]

Baca juga :