Imam Shamsi Ali: Al-Quran Itu Sudah Diturunkan!

Al-Quran Itu Sudah Diturunkan!

Oleh: Imam Shamsi Ali

DALAM hari-hari ini saya banyak diundang memberikan ceramah sebagai bagian dari rangakaian peringatan Nuzulul Al-Quran. Tentu ini menjadi konteks turunnya Al-Quran yang memang terjadi di bulan Ramadan.

"Di bulan Ramadan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan dari petunjuk itu dan sebagai 'Al-Furqan' atau Pembeda." (Al-Baqarah: 185).

Kali ini saya tidak membahas tentang Al-Quran dan kemukjizatannya. Tapi lebih kepada dua kata dari acara untuk menyambut atau memperingati turunnya Al-Quran. Kedua kata itu adalah "peringatan dan nuzuul".

Kedua kata ini menjadi terasa penting untuk dibahas karena kerap ada kesalah pahaman di kalangan sebagian umat tentang kegiatan ini. Selain memang belum atau tidak menyadari makna Al-Quran sebagai "obyek yang diturunkan" (tanziil) juga seringkali kegiatan ini dituduh sebagai sesuatu yang baru dalam agama atau bid’ah dan karenanya diharamkan.

Memaknai Kata Peringatan

"Peringatan" sesungguhnya adalah sesuatu yang tidak saja boleh. Bahkan dalam agama peringatan itu menjadi penting, bahkan sebuah perintah dalam Al-Quran. Seperti yang ditegaskan: "maka ingatkanlah karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman".

Tentu konteks peringatan di sini adalah mengingatkan kembali manusia (orang-orang beriman) tentang sebuah kenikmatan yang Allah karuniakan kepada mereka berupa Al-Quran. Sebuah Kitab yang menjadi lentera hidup dan petunjuk jalan yang jelas di tengah gulita kehidupan yang membingunkan.

Manusia memang adalah manusia. Artinya bahwa salah satu sisi kelemahan manusia adalah lupa. Karena itulah memang salah satu makna dari manusia sebagai "insaan" yang salah satunya berasal dari kata "nasiya-yansa-nasyaan". Dari kata ini terjadi "ansaa-yunsii-insaan" (dijadikan lupa).

Kata insaan atau dijadikan lupa ini tentu secara historis kembali kepada ketika Bapak dan Ibu seluruh manusia (Adam dan Hawa) dijadikan lupa oleh Iblis la'natullah 'alaih. Bahkan manusia seringkali dijadikan lupa oleh dirinya atau egonya sendiri. Dan itu terjadi ketika manusia lupa kepada Penciptanya.

"Mereka lupa kepada Allah. Maka Allah jadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri". (al-Quran).

Dalam konteks inilah manusia dalam perjalanan hidup yang dari hari ke hari tak lebih dari putaran zaman (rotasi waktu) lupa kepada hal-hal mendasar dalam hidupnya. Salah satunya lupa akan petunjuk jalan hidup yang Allah telah berikan kepada mereka berupa Al-Quran.

Dan dalam konteks ini pula peringatan turunnya Al-Quran menjadi penting untuk dilakukan. Mengingatkan atau lebih pas "menyegarkan" kembali ingatan mereka terhadap GPS abadi kehidupan manusia itu.

Membumikan Al-Quran

Saya telah membaca salah satu buku Prof. Dr. Quraish Shihab yang bermusuhan "Membumikan Al-Quran" sejak lama. Awalnya saya tidak terlalu paham apa makna membumikan itu. Bahkan ketika itu ada kecurigaan jangan-jangan ini sebuah bentuk mereduksi "makaanah" atau posisi Al-Quran dalam kesuciannya.

Dengan kecurigaan di benak itu saya terus membacanya. Tapi namanya juga otak yang penuh kecurigaan akhirnya hanya menghasilkan kecurigaan. Bahkan membaca buku beliau seolah sengaja mencari jusifikasi untuk sekedar menyalahkan.

Dalam perjalanannya proses pendewasaan dan kedewasaan semakin tumbuh. Saya kembali melakukan perenungan. Tidak lagi dengan membaca buku itu. Tapi dengan merenungi judul buku itu. Merenungi kata "membumikan" yang dikaitkan dengan sebuah kitab yang suci.

Dari perenungan-perenungan itu saya diingatkan oleh kegiatan yang semarak dilakukan di Indonesia ketika menyambut turunnya Al-Quran. Itulah "Nuzuul Al-Quran".

Kata "nuzuul" adalah bentuk kata benda dari kata "nazala-yanzilu" yang berarti "turun". Maka ketika kata ini dihubungkan dengan Al-Quran dengan "nuzuul al-Quran" berarti "turunnya Al-Quran".

Kata "nuzuul" ini sangat penting untuk dihayati. Karena sesungguhnya pada kata ini ada makna filosofis yang dalam dari Al-Quran. Makna ini menjadi penting karena akan berpengaruh kepada bagaimana umat kemudian berinteraksi dengannya.

Kata nuzuul atau turunnya Al-Quran sesungguhnya untuk menekankan kembali bahwa dalam melihat Al-Quran ada dua sisi yang harus menjadi perhatian manusia (umat Islam).

Pertama bahwa Al-Quran itu berasal dari langit. Dalam arti bahwa Al-Quran berasal dari Allah Yang Maha Suci. Bahkan Kalam Suci Yang Maha Suci. Dan karenanya semua hal mengenai Al-Quran adalah suci.

Pada aspek ini segala hal yang mengganggu kesucian Al-Quran mengantar kepada "pelanggaran iman" itu sendiri. Termasuk meragukan kesahihan (authenticity) dan kesempurnannya. Allah menegaskan: "Inilah Kitab yang tiada keraguan padanya" (Al-Baqarah: 2).

Kedua bahwa Al-Quran yang suci (samawi) itu telah diturunkan (tanziil) atau (munazzal) kepada Muhammad SAW untuk manusia. Dan karenanya Al-Quran itu telah hadir di bumi dan realita kehidupan manusia.

Pada aspek inilah sesungguhnya makna membumikan Al-Quran yang menjadi judul buku Prof. Quraish tadi. Bahwa Al-Quran sebagai kitab yang telah diturunkan kepada manusia harus dibumikan.

Atau dengan kata lain, Al-Quran dengan kesuciannya itu jangan terus menggantung di langit tanpa pernah turun menjadi realita kehidupan. Membumikan Al-Quran sebagai pemaknaan dari kata "nuzuul" tadi berarti harus direalisasikan dalam kehidupan nyata manusia.

Kegagalan membumikan atau menterjemahkan makna nuzuul inilah yang menjadikan umat nampak terpisah dari kesucian Al-Quran. Keindahan, kekuatan, atraksi dan kesempurnaan Al-Quran berada di semua lembah. Sementara realita hidup umat berada di lembah yang lain. Terjadi "gap" antara kesucian Al-Quran dan realita kehidupan umat yang jauh dari nilai-nilai kesucian itu.

Dan karenanya makna penting dari peringatan nuzuul Al-Quran adalah merealisasikan kesucian itu dalam kehidupan nyata umat Islam. Semoga! [RMOL]

Baca juga :