Demokrasi Dan Kegagalan Rezim Jokowi


Oleh:Dr. Syahganda Nainggolan

PROFESOR Thomas Pepinsky dari Department Politic, Cornel University, Amerika Serikat, dalam me-review buku baru "Lelaki   Penuh Kontradiksi" (Man of Contradictions), sebuah political biography tentang Jokowi, karangan Ben Bland, Lowy Institute, Australia mengatakan, "His reliance on military figures in his cabinet and his willingness to use the arms of the state to suppress free expression reveal the fragility of Indonesian democracy".

Kemarin, figur militer yang dimaksud Profesor Pepinsky itu diwakili oleh Dr Moeldoko, mantan Panglima TNI, yang mengancam Gatot Nurmantyo dan Koalisi Aksi Menyelamatkan indonesi (KAMI) untuk tidak coba-coba melakukan aktivitas yang mengganggu stabilitas nasional.

Ancaman ini menjadi topik hangat. Sebuah media cetak yang masih laris dijual di persimpangan lampu merah, misalnya Rakyat Merdeka, membuat judul besar headline "Moeldoko Gigit Gatot".

Dari berbagai kontradiksi Jokowi sebagai lelaki, dalam buku Ben Bland tersebut, terkait dimensi politik, menjelaskan bahwa kontradiksi terjadi karena di satu sisi, Jokowi adalah figur "anti establishment", non feodal, tidak berlatar orde baru yang menurutnya sebagai sebuah harapan bagi keberlangsungan dan kematangan konsolidasi demokrasi di Indonesia paska Suharto.

Tapi, kontradiksi karena ketergantungan Jokowi pada figur militer dalam kabinetnya dan keinginan dia sendiri membungkam demokrasi.

Tentu saja, kita melihat berbagai figur eks tentara garis keras seperti Luhut Pandjaitan, Wiranto, Fachrul Razi, dan Hendropriyono, sedikit nama lainnya, selain Moeldoko, yang membayangi Jokowi dalam urusan demokrasi saat ini. Meskipun seringkali hanya institusi kepolisian seolah olah menjadi garda depan dalam upaya membungkam aktivitas demokrasi dan hak-hak asasi manusia tersebut.

Gatot Nurmantyo dan KAMI

Ancaman Moeldoko terhadap Gatot dan KAMI muncul setelah insiden atau "tragedi Makam Kalibata", sebuah ziarah kubur para jenderal purnawirawan TNI kepada 7 Pahlawan Revolusi, untuk mengenang kekejaman PKI atas pembunuhan jenderal-jenderal itu pada 1965, yang dieksekusi secara biadab.

Ziarah pada 1 Oktober 2020 kemarin diadang demonstran yang diperkirakan berbayar serta adanya upaya pelarangan dari aparatur negara. Khususnya yang terekam di media ketika seorang perwira militer mengatur-atur mantan seniornya tersebut.

Gatot Nurmantyo berbeda dengan kebanyakan senior-seniornya di lingkaran Jokowi saat ini, adalah sosok yang bebas dari peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.

Hal ini membuat Gatot Nurmantyo gampang beradaptasi dalam sebuah koalisi KAMI, dengan latar belakang beragam faham dan pemikiran. Rocky Gerung, misalnya, salah satu pendiri dan pemikir KAMI adalah pewaris mazhab Libertarian, sejak zaman dulu dikenal kelompok liberal, sosial demokrasi di Indonesia.

Di ekstrim lainnya, pendiri lainnya, Abdullah Hehamahua adalah sosok fundamentalis yang pro negara bersyariah di Indonesia.

Adaptasi Gatot Nurmantyo pada spektrum kelompok-kelompok perlawanan saat ini, tentu saja juga karena karir militernya yang maksimal, membuatnya gampang menjadi tokoh sentral dari KAMI.

Dan belum sampai dua bulan KAMI berdiri, KAMI telah menjadi kekuatan rakyat yang mengerikan bagi rezim berkuasa. Sebelum Moeldoko mengancam KAMI, Megawati dari kubu Jokowi lainnya, juga mengkritik tokoh-tokoh KAMI sebagai kaum ambisius untuk calon presiden ke depan. Sebuah kritik dari polisi tua yang faktanya ingin mewariskan partai dan pengaruhnya kepada anaknya.

Kengerian terhadap Gatot dan KAMI bisa dimaknai memang dalam beberapa dimensi. Pertama, rezim Jokowi jilid dua mengalami fragmentasi sejak awal. Sinyalamen yang bersifat publik terjadi ketika rebutan kursi kabinet. Di mana porsi jabatan strategis seperti Mendagri dan Menteri BUMN lepas dari genggaman PDIP, partai pendukung Jokowi dan pemenang pemilu.

Kemudian diperlihatkan oleh ketidaksukaan kelompok-kelompok pendukung non-PDIP atas ajakan Megawati agar Prabowo, oposisi pada capres, bergabung dan memperoleh dua kursi kabinet, satu anggota BPK, serta pembagian lembaga lainnya. Kehadiran Prabowo dianggap memperkecil jatah partai-partai pendukung ini.

Secara publik, Megawati dan Surya Paloh memperlihatkan sikap sinis satu sama lain ketika mereka berjumpa dalam Kongres PDIP, Agustus tahun lalu di Bali. Dan beberap saat sebelumnya, Surya Paloh mengumumkan akan mendukung Anies Baswedan sebagai Capres 2024, sebagai langkah sinis Paloh.

Fragmetasi semakin berkembang karena perebutan dominasi di sekitar Jokowi menonjolkan sosok Luhut Panjaitan, yang selalu mengklaim bahwa hubungannya dengan Jokowi lebih bersifat personal, yang bebas dari kontrol partai-partai politik pendukung Jokowi.

Dalam krisis ekonomi dan pandemi saat ini, fragmentasi semakin dalam, karena ada isu reshuffle kabinet, perebutan pengaruh kontrol atas sumber sumber pembiayaan pemulihan ekonomi nasional dan konsekuensinya perebutan pengaruh di sekitar Jokowi.

Kedua, terkait situasi fragmentasi di atas, sebaliknya kubu oposisi yang sempat terganggu dengan pembelotan Prabowo ke kubu Jokowi, mengalami recovery dan konsolidasi besar setelah kehadiran Gatot Nurmantyo dan Profesor Din Syamsuddin dalam barisan oposisi.

Gatot dan Din Syamsuddin yang pernah menjabat dalam jajaran setingkat kabinet di era Jokowi jilid satu, mempunyai pengetahuan yang dalam atas pola komunikasi dan berbagai informasi penting di sekitar istana. Tentu ini menggetarkan pihak rezim yang berkuasa.

Gatot dan Din Syamsuddin juga bukanlah bagian representasi kelompok 212, yang selama ini distigmakan Islam Fundamentalis. Din Syamsuddin sebagai mantan pemimpin organisasi Islam besar tertua di Indonesia, Muhammadiyah, dalam mapping sosial, baik lokal maupun oleh Amerika dan barat, ditempatkan sebagai poros moderat.

Begitu pula Gatot bukanlah terasosiasi dengan Islam Fundamentalis seperti pada Kivlan Zen. Sehingga upaya mendorong kelompok KAMI dalam stigma dan framing teroris ataupun fundamentalis ke pihak-pihak barat tidak akan pernah berhasil.

Ketiga, yang terpenting pula, adalah isu-isu yang dinarasikan KAMI terkait bangkitnya Komunisme, khususnya setelah rezim atau bagian rezim Jokowi, mengusulkan RUU HIP, telah membawa pembangkangan sosial yang meluas.

Baik dari kalangan Islam maupun eks militer. Pembangkangan ini merupakan kesadaran kolektif yang bersifat manifest menolak adanya upaya dominasi ajaran berbau Komunis bangkit di tanah air.

Narasi KAMI di sisi lain bersinergi dengan fatwa Imam Besar Habib Rizieq dan gerakan Majelis Ulama Indonesia terkait hal yang sama: lawan bangkitnya Komunisme. Tentu saja ini membuat sebuah front perlawanan besar.

Skenario Ke Depan?

Vis a vis atau posisi berhadapan antara rezim Jokowi vs KAMI semakin nyata ketika Moeldoko mengambil alih front depan rezim menghadapi KAMI. Padahal sebelumnya, Mahfud MD, Menkopolhukam Jokowi, di ILC TV One mengatakan menghormati aktivitas KAMI.

Mahfud bahkan akan meminta pihak-pihak pendemo KAMI diusut karena tidak sesuai dengan demokrasi. Sebaiknya, Mahfud meminta KAMI membatasi diri dalam konteks protokol Covid-19, namun tetap menghormati demokrasi. Mahfud juga mengklaim telah memenuhi tuntutan KAMI, MUI, Anak NKRI, dll dalam menolak pasal-pasal anti-Pancasila pada RUU HIP, dengan menghapus pasal-pasal tersebut.

Jika merujuk Prof Pepinsky dalam review buku "Man of Contradictions", kemungkinan ke depan boleh jadi Jokowi akan menyerahkan urusan-urusan penanganan tafsir demokrasi pada elemen eks militer, bukan kepada Mahfud MD. Maka kecenderungan antidemokrasi dan kebebasan akan semakin menggunung.

KAMI sendiri meyakini bahwa demokrasi adalah pilihan politik yang belum diubah. Meskipun Perppu Corona dan UU Corona telah mengkebiri demokrasi, KAMI memandang secara keseluruhan gerakan politik oposisi tetap harus memilih koridor demokrasi.

Koridor itu mengatur bagaimana negara dan rakyatnya (civil society) berargumentasi dalam ruang publik dan isu-isu yang baik untuk kepentingan rakyat, sebagai "ultimate stake holder".

Sehubungan dengan demokrasi itu, maka KAMI adalah organisasi gerakan terbuka. Organisasi dikembangkan tanpa ada yang disembunyikan dan penyampaian tuntutan serta narasi yang dikembangkan juga terbuka.

Meskipun KAMI melihat ada upaya penjegalan dan pembungkaman demokrasi, kadangkala mempolitisir protokol Covid-19 (misalnya membiarkan arak2-arakan Pilkada di berbagai daerah di Indonesia, sementara menghalangi deklarasi KAMI dengan alasan tidak memenuhi standar protokol Covid-19), kepemimpinan Gatot, Din Syamsuddin, dll di KAMI berusaha melawan hal hal ini secara demokratis. Tentu dengan taruhan bahayanya sebuah rezim jika kembali menjadi rezim otoriter seperti masa lalu.

Kontradiksi yang dilakukan rezim dengan mempropagandakan demokrasi untuk mendukung keterselenggaraan Pilkada, di satu sisi, namun membatasi aktivitas politik publik lainnya pada saat bersamaan, bisa jadi akan menimbulkan ketidakpuasan publik semakin menyebar. Dan ini tentu akan menguntungkan kaum oposisi dengan mendapatkan pemihakan rakyat.

Penutup
Kegagalan rezim Jokowi dalam mempertahankan demokrasi sebagai sistem sosial yang baik, telah dibahas dalam buku "Man of Contradictions", karangan Ben Bland, yang dirilis awal bulan lalu.

Profesor Thomas Pepinsky, Cornel University, yang me-review buku tersebut, menemukan kontradiksi Jokowi dalam demokrasi yakni di satu sisi Jokowi menampilkan sosok sederhana yang berasal dari kaum nonelite dan menjanjikan demokrasi sepenuhnya jika berkuasa. Namun faktanya sangat tergantung pada "military figures" di kabinetnya serta keinginannya sendiri menggunakan alat-alat negara membungkam demokrasi.

Belakangan ini kelompok-kelompok demokrasi, khususnya KAMI, mengalami ancaman verbal dari Moeldoko, yang memberi peringatan agar KAMI tidak melakukan instabilitas nasional. Padahal instabilitas nasional lebih merupakan tanggung jawab Jokowi dalam:
1. Mengatasi parahnya pandemik Covid-19
2. Memberikan bantuan dan Kesejahteraan sosial (welfare)
3. Upaya tidak menggunakan resources negara untuk bank-bank atau konglomerat yang akan kolaps
4. Tidak mengubah Pancasila atau tafsirnya
5. Tidak mengecilkan eksistensi kaum buruh.

Tanggungjawab KAMI sendiri adalah tanggung jawab bela negara dari setiap warganegara. Dalam ilmu sosial itu merupakan upaya demokratis masyarakat sipil (civil society) mempengaruhi ruang publik sebagai upaya "check and balances" dalam merespons maupun mengusulkan arah dan kebijakan negara. Apalagi peranan legislatif mengalami degradasi belakangan ini.

Sehingga KAMI tidak mungkin merupakan ancaman bagi demokrasi apalagi bagi kekuasaan demokratis. Namun, memang, jika kekuasaan yang ada mengkhianati demokrasi itu sendiri, maka persepsi atau penilaian terhadap KAMI bisa berubah sesuka hatinya.

Gatot Nurmantyo, Profesor Din Syamsuddin dan Profesor Rochmat Wahab, Presidium KAMI, dan tokoh-tokoh KAMI lainnya seperti Rocky Gerung, Ahmad Yani, Adhie Massardi, Said Didu, dan tokoh muda, misalnya, Korneles Galanjinjinay serta tokoh-tokoh buruh yang ada seperti Jumhur Hidayat dan Mirah Sumirat, adalah nama-nama yang meyakini sekuat apapun keinginan rezim Jokowi memberangus lawan-lawan politiknya, akan tetap dihadapi dengan cara-cara demokrasi.

Ini merupakan sebuah dimensi latar belakang KAMI berdiri, yakni menjaga Indonesia kembali ke zaman otoritarian yang berwatak fasis sekaligus Komunis dan pelanggaran hak-hak azasi rakyat.

Namun, kegagalan rezim Jokowi menjaga keberlangsungan demokrasi, sebagaimana terurai dalam buku "Man of Contradictions" tetap merupakan tanggungjawab rakyat semesta.

(Sabang Merauke Circle)
Baca juga :