Masri Sitanggang: Puan Perjelas Ungkapan Kampong “Maling Teriak Maling”


Puan Perjelas Ungkapan Kampong “Maling Teriak Maling”

Oleh: Dr. Masri Sitanggang (Ketua Masyumi Reborn)

Aku bukan Urang Minang. Aku Batak. Aku Sitanggang. Tapi aku benar-benar terusik (bisa juga dibilang marah) dengan ucapan Puan Maharani yang mengesankan bahwa orang Sumatera Barat (Sumbar) selama ini tidak mendukung Negara Pancasila.

Bukannya aku ingin membela Urang Minang, karena tanpa kubela pun, setiap anak SD yang belajar  sejarah pasti tahu kalau Urang Minang itu berjasa besar dalam mendirikan NKRI. Marahku tak lebih karena Puan Maharani adalah seorang Ketua PDIP.

Seorang Ketua PDIP  “menuduh” orang lain tidak mendukung negara Pancasila? Buat aku itu sebuah keanehan, kalau tidak dibilang sebagai kejahatan. Ada sesuatu atau maksud tertentu yang ingin disembunyikan dibalik “tuduhan” penghinaan tersebut.

Partai Puan Maharani sekarang memang sedang menghadapi guncangan keras. Ini berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diusulkan oleh partai berlambang kepala kerbau itu.  Masyarakat yang setia pada Pancasila di seluruh tanah air marah, menolak dan menuntut para penyusun naskah akademik dan pengusul RUU HIP supaya diusut secara hukum.

Masrarakat mesti marah. Masalahnya RUU HIP tersebut, jelas-jelas ingin menggantikan falsafah Pancasila yang sah, yakni Pancasila 18 Agustus 1945 yang diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dengan Pancasila yang tidak ada dasar hukumnya, yaitu Pancasila 1 Juni 1945 yang merupakan ideologi PDIP. Ini makar yang nyata terhadap falsafah negara, tapi berselubung konstitusi.

Apakah Puan ingin menghilangkan jejak partainya, yang tertuduh tidak mendukung Pancasila yang sah? Dengan melontarkan ungkapan “semoga Sumbar menjadi propinsi yang mendukung negara Panacasila”. Entahlah, tetapi di kampung-kampung memang populer istilah “maling teriak maling”. Itu efektif untuk menyelamatkan seorang maling dari tuduhan “maling”. Setidaknya untuk sementara waktu.

Di tahun 2017, tepatnya 18 Agustus 2017, di hadapan Anggota Komisi A DPRD Sumut, Syamsul Qodri (PKS) dan Brilian Muchtar (PDIP), aku mengatakan, “kalau nanti saya berkuasa, yang pertama saya bubarkan adalah PDIP”. Saat itu aku mengajukan tantangan debat soal Pancasila kepada PDIP, dan itu viral ral ral ral. Tapi tak seorang pun anggota PDIP yang mau menerima tantanganku, sampai hari ini.

Waktu itu, aku dan sejumlah aktivis di Sumut melakukan aksi menolak Perppu no 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dijadikan dasar bagi pemerintah untuk mencabut badan hukum Hizbut Thahrir Indonesia (HTI). Organisasi ini, dengan isu khilafahnya, dianggap menyimpang dari Pancasila. Padahal, dalam AD/ART HTI jelas tercantum azasnya adalah Pancasila. Tidak ada khilafah.

Aku bukan hendak membela HTI. Bukan itu. Tetapi semata-mata kerena menyangkut masalah yang paling mendasar dalam hidup berbangsa dan bernegara. Masalah Pancasila. Jangan sampai Pancasila diseret kemana-mana, sehingga bisa digunakan sebagai alat kekuasaan untuk menghabisi lawan-lawan politik seperti di masa Orla dan Orba. Negara ini akan mundur lagi dan recok terus, tak berkesudahan.

Bicara soal Pancasila, dalam konteks falsafah NKRI, maka yang jadi pegangan kita adalah alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945 sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Inilah Pancasila yang sah, dan selanjutnya dalam tulisan ini digunakan istilah tersebut. Bukan yang lain.

Berdasarkan Dekrit Presiden itu, “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945, dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Dalam hal ini sesuai penjelasan tertulis Perdana Mentri Djuanda kepada Ahmad Saichu (NU) dan Anwar Haryono (Masyumi),  bahwa jiwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama Pancasila adalah jiwa Piagam Jakarta.

Dengan demikian, “Ketuhanan Yang Maha Esa” dimaknai sebagai “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (Deliar Noer : Partai Islam Di Pentas Nasional, Cet II, 2000 dan Lukman Hakirm : Biografi Mohammad Natsir, 2019).

Dalam konteks ini HTI, dengan isu khilafahnya, masih punya landasan hukum, masih sesuai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Khilafah masih ada dalam koridor sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam.

Sebaliknya PDIP, jauh lebih layak dibubarkan ketimbang HTI. Sebab, pidato Megawati pada HUT ke-44 PDIP, 10 Januari 2017, PDIP adalah partai ideologis dengan ideologi Pancasila 1 Juni 1945. Malah, berkaitan dengan ditetapkannya 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila, Megawati mengatakan, “maka  segala keputusan dan kebijakan politik yang kita produksi pun, sudah seharusnya bersumber pada jiwa dan semangat nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945”. Jelas sakit ini barang.

Jiwa dan semangat nilai-nila Pancasila 1 Juni 1945 yang dimaksud adalah “Trisila dan Ekasila”.  Pada Trisila, ketuhanan berada dalam kerangkeng kebudayaan. Beragamalah sesuai dengan kebudayaan dan keberadaban. Sementara pada Ekasila ketuhanan tidak dipersoalkan lagi, yang penting “gotong royang”. Tentu ini bukan lagi sekedar, namun jauh bertentangan dengan Pancasila yang sah. Bermaksud hendak mengganti isi Pancasila yang sah.

Lebih lanjut Megawati, dalam pidatonya, ingin menggunakan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai alat “pendeteksi sekaligus tameng proteksi” (istilah Megawati) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini akan sangat berbahaya. Sebab, sudah pasti banyak hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini yang akan out of frame.

Sifat akomodatif Pancasila yang sah jauh lebih luas dari pada Pancasila 1 Juni 1945. Fenomena ini dapat diibaratkan sebagai upaya memotret permukaan bumi dengan dua kamera yang berbeda. Pancasila yang sah ibarat kamera satelit, mampu memotret 34225 km persegi. Pancasila 1 Juni 1945 adalah kamera pesawat terbang, hanya mampu memotret seluas 25 km persegi.

Jadinya, hanya sebahagian kecil saja dari citra satelit yang dapat dipotret oleh kamera pesawat terbang. Artinya, banyak persoalan kehidupan berbangsa yang ada (terakomodir) dalam frame Pancasila yang sah tanggal 18 Agustus 1945. Tetapi tidak masuk dalam frame Pancasila 1 Juni 1945.

Itulah sebabnya mengapa Megawati dalam pidatonya, secara sinis, menyebut orang yang percaya kehidupan akhirat sebagai “self fulfilling prophecy” (peramal masa depan, termasuk kehidupan setelah dunia fana). Mereka yang membela kehormatan agamanya, atau memilih pemimpin berdasarkan perintah agamanya sebagai memaksakan kehendak. Anti demokrasi dan anti kebhinekaan.

Pernyataan Megawati itu karena memang, semua tidak masuk dalam frame “kamera” Pancasila 1 Juni 1945, yaitu kamera Trisila, dan apalagi Ekasila. Padahal, ada dalam frame Pancasila yang sah. Maka, Pancasila 1 Juni 1945 sebagai pendeteksi sekaligus tameng proteksi kehidupan berbangsa akan menjadi sumber keributan yang tidak berujung. Boleh jadi, HTI adalah korban dari itu. Makanya ketika itu, aku berpendapat PDIP lebih layak untuk dibubarkan.

PDIP nampaknya konsisten dengan tekad kuat Megawati sebagaimana yang dipidatokan pada HUT PDIP ke-44 itu. Periksalah AD/ART PDIP 2019-2024 Bab II Pasal lima. Di situ disebutkan, “Partai berasaskan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan jiwa dan semangat kelahirannya pada 1 Juni 1945.”

Kemudian di dalam Mukaddimah AD dan ART disebutkan, “PDI Perjuangan memahami Partai sebagai alat perjuangan untuk membentuk dan membangun karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945. Partai juga sebagai alat perjuangan untuk melahirkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ber-Ketuhanan, memiliki semangat sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi (TRI SILA), serta alat perjuangan untuk menentang segala bentuk individualisme dan untuk menghidupkan jiwa dan semangat gotong-royong dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (EKA SILA)”. Jelas kan?

Harus diakui, PDIP cukup berhasil. Begitu meraih kemenangan dalam pemilu, dan kemudian berkuasa di 2014, PDIP mampu mendorong presiden untuk menerbitkan Keppres Nomor 24 tahun 2016 tentang hari lahirnya Pancasila.  Keppres ini telah pula dimanfaatkan sebagai landasan menyusun Naskah Akademik dan RUU HIP, seolah dengan Keppres ini, Pancasila 1 Juni adalah Pancasila yang sah berlaku.

Selanjutnya terbit pula Perpres Nomor 54 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Kemudian berganti nama menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Badan ini berpotensi menjadi alat penguasa penafsir tunggal Pancasila. Salah satu tafsirnya yang menggungcang adalah –melalui Kepalanya Yudian Wahyudi, bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama.

Yudian Wahyudi tampaknya sudah menjalankan isi pidato Megawati untuk menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 (entah Trisila atau Ekasila) sebagai “pendeteksi sekaligus tameng proteksi” dalam kehidupan beragama. Kemudian lahir RUU HIP yang secara fundamental ingin menggusur Pancasila yang sah sebagaimana telah dijelaskan di atas, diganti dengan Pancasila 1 Juni 1945.

Terakhir, lahir RUU BPIP yang secara sah akan memiliki kekuatan hukum untuk menjadi penafsir tunggal Pancasila sesuai kehendak penguasa. Antara RUU HIP dan RUU BPIP itu satu paket, searah dengan kehendak Megawati yang diutarakannya dalam pidato 44 tahu PDIP.

Bahwa “segala keputusan dan kebijakan politik yang kita produksi pun, sudah seharusnya bersumber pada jiwa dan semangat nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945”. Itulah sebabnya mengapa BPIP tidak berkomementar sedikit pun terhadap upaya penggantian Pancasila yang sah melalui RUU HIP.

Jika RUU HIP dan RUU BIP berhasil diundangkan, maka selesailah sudah proyek “revolusi mental” membentuk dan membangun karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945. Beragamalah secara berkebudayaan. Bukan dengan panduan wahyu. Bergotong royonglah tanpa memikirkan lagi soal Tuhan. Menteri Agama, Fachrul Razi, pun sudah mulai menerapkan kebijakan itu di lingkup apa saja yang beraroma Islam.  Dengan isu menangkal faham radikal, ia sedang gencar menjalankan deislamisasi.

Penolakan massif rakyat terhadap langkah-langkah PDIP, bahkan serangan gencar terhadap partai kepala kerbau itu, jelas sangat merisaukan para pemimpinnya. Maka, sekali lagi, apakah Puan ingin menghilangkan jejak partainya? Yang tertuduh tidak mendukung Pancasila yang sah?

Dengan melontarkan ungkapan “semoga Sumbar menjadi propinsi yang mendukung negara Panacasila”, Puan sedang mempraktekan ungkapan kurang ielok orang kampong “maling teriak maling”. Itu mungkinsaja. Sebab mustahil Puan tidak tahu bahwa Bung Hatta itu orang Minang. Jadi, diduga kuat ada maksud lain dari “serangan” Puan itu.

Yang pasti, “serangan” Puan telah membuat Urang Minang sibuk sekuat tenaga membuktikan bahwa mereka adalah Pancasilais sejati. Nanti, endingnya, dapat diperidiksi, apakah Puan Maharani atau PDIP (minta maaf) mengakui Urang Minang Pancasilais. Pengakuan ini adalah “sertifikat”. Bayangkan, kalau PDIP memberi sertifikat Pancasila kepada anak bangsa. Artinya apa ?

Tampaknya Puan sedang memainkan dialektika yang luar biasa. Memang, dulu, ketika aku masih hobi catur, guruku berkata, “menyerang adalah cara bertahan yang baik”. Maka, hati-hatilah, jangan lupa RUU HIP dan RUU BIP. Walahu ‘Alam bisshawab.

(Sumber: FNN)
Baca juga :