Pakar Hukum Pidana: Semua yang Terlibat Buronan Djoko Tjandra Harus Diseret ke Pengadilan

Body

[PORTAL-ISLAM.ID]  Pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar meminta semua pihak yang terlibat dalam kasus perburonan Djoko Tjandra harus dibawa ke pengadilan. Demikian juga pihak yang memicu keluarnya perizinan-perizinan di kepolisian harus diusut.

“Termasuk pengacara atau siapapun yang mengurus surat yang memudahkan Djoko Tjandra keluar masuk Indonesia. Ini menjadi perhatian juga pada organisasi advokat Peradi, agar merespon kasus ini jangan sampai timbul kesan advokat hanya sebagai alrrenger atau calo advokat, ini betul-betul menghina profesi,” kata Fickar kepada Indonesiainside.id, Sabtu (18/7/2020).

Lebih jauh, dia mengungkapkan, Djoko Tjandra adalah buronan sejak tahun 2009, dia tidak mau melaksanakan hukuman, dan bisa berkeliaran di Indonesia. “Sepertinya aparat hukum Indonesia ‘dikentutin’ tak berdaya olehnya, mondar-mandir ke Indonesia tanpa merasa berstatus buronan,” katanya.

Pasalnya, salam status buronan itu, Djoko bisa lancar mengurus dokumen kependudukan seperti e-KTP dan paspor untuk kepentingan melakukan upaya hukum PK terhadap perkaranya. Bahkan ditengah situasi pandemi yang ketat bagi WNI untuk bermigrasi ke kota-kota di Indonesia.

Djoko Tjandra yang buronan dan telah tercatat sebagai warga negara Papua Nugini dengan mudahnya bepergian ke kota-kota di Indonesia. Terungkap, ternyata Djoko dibekali oleh surat yang dibuat oleh oknum Brigjen di Bareskrim Polri sekaligus dibekali juga surat test rapid dari dokter kepolisian juga.

Seharusnya pihak-pihak lain yang mengurusnya (oknum polisi) dilakukan juga proses hukum pidana. Termasuk tenaga kesehatan yang menyiapkan rapid test dan pencabutan keterangan cekal dari Interpol.

Sementara, terhadap lurah yang melancarkan pembuatan e-KTP Djoko Tjandrakan tindakan yang kemungkinan juga ke ranah pidana. Ia menekankan hal yang harus diperhatikan jika benar dalam pengurusan itu diantar dan diatur oleh pengacara/advokat, maka sudah sewajarnya bagi organisasi advokat untuk memeriksanya dalam ranah etika (kode etik).

“Bahkan jika ada unsur pidananya harus dilanjutkan ke ranah pidana,” tuturnya. (Msh)

Sumber: Indonesiainside

Baca juga :