Surat Terbuka Untuk Rektor ITB Terkait Din Syamsuddin


SURAT TERBUKA

Kepada Ibu Prof. Reini Wirahadikusumah, MSCE, PhD
Rektor Intstitut Teknologi Bandung

Dengan hormat,

Sebelumnya kami mengucapkan selamat sehubungan dengan sebentar lagi ITB akan menyambut 100 tahun usianya. Usia yang panjang mencerminkan pengabdian yang panjang untuk kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Saya yakin sudah menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia bahwa ITB akan meneruskan pengabdian itu sampai seratus bahkan seribu tahun yang akan datang.

Dalam kesempatan ini kami memohon perhatian Ibu atas masalah penghentian Prof. Dr. Din Syamsudin dari jabatannya sebagai anggota Majelis Wali Amanah ITB. Isu tersebut dimunculkan oleh Gerakan Antiradikalisme yang ditandatangani oleh sejumlah alumni ITB. Kami sebagai juga salah satu alumni terhenyak oleh tuntutan itu dan setelah membaca dengan seksama merasakan bahwa tuntutan tersebut sangat tidak layak dan tidak adil. Kami berharap Ibu mengabaikan tuntutan Gerakan Anti-radikalisme itu demi mempertahankan harkat dan martabat ITB sebagai lembaga akademis terkemuka di Indonesia.

Beberapa hal berikut ini mohon Ibu pertimbangkan:

1. Prof Dr. Din Syamsudin menjabat sebagai anggota Majelis Wali Amanah ITB bukan atas kemauannya sendiri, melainkan karena diminta oleh ITB. Oleh karena itu menghentikan beliau dari jabatannya memberikan aib kepada beliau dan juga kepada ITB sendiri. Adalah aib bagi ITB bila penilaiannya atas reputasi seseorang berubah 180 derajat dalam waktu kurang dari setahun.

2. Prof Dr. Din Syamsudin memiliki reputasi kenegarawanan yang telah dipupuk sangat panjang. Beliau dua kali menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pernah menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, dan sekarang masih aktif menjadi Ketua di World Peace Forum dan Presiden Kehormatan di World Conference on Religons for Peace. Rekam jejak di atas menunjukkan bahwa beliau adalah tokoh yang sangat dihormati oleh umat Islam di Indonesia. Terlebih dari itu umat Islam di dunia menghargai beliau sebagai tokoh pembawa perdamaian.

3. Dengan reputasi seperti di atas kita harus menyimak dengan seksama tuduhan Gerakan Anti-radikalisme ITB (GAI). Tuduhan tersebut menempatkan Prof.Dr. Din Syamsudin dalam reputasi yang berkebalikan, yaitu sebagai seorang radikal yang merusak kedamaian.
Setelah kami menyimak surat tuduhan tersebut nyata bagi kami bahwa:

1. Tuduhan tersebut sepihak. GAI tidak pernah meminta konfirmasi atau melakukan check and recheck kepada Prof.Dr.Din Syamsudin.

2. Fakta-fakta yang dipergunakan tidak konklusif. Kehadiran beliau di suatu tempat di suatu organisasi tidak dapat dipergunakan untuk menyatakan beliau adalah pendukung suatu organisasi atau gagasan. Sebagai contoh Gus Dur pernah ke Israel, hal itu tidak mencerminkan beliau mendukung zionisme.

3. Pernyataan-pernyataan beliau sebagai tokoh muslim adalah pernyataan kenegarawanan dalam rangka amar maruf nahi munkar, yang memiliki visi mendamaikan dan menegakkan keadilan (menempatkan sesuatu pada tempatnya).

4. Pernyataan-pernyataan beliau memang bisa dianggap bertentangan dengan penguasa. Pertentangan politik hal yang lumrah dan wajar sesuai dengan ideologi pluralisme atau kebhinekaan sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila. Perbedaan pandangan di dunia akademis justru bersifat paradigmatik. Dari sanalah dunia ilmiah bergerak maju.

4. Dalam hemat kami menyimpulkan Prof.Dr.Din Syamsudin sebagai seorang radikal adalah sebuah kesalahan epistemik yang nyata. Tuduhan tersebut akan mengganggu hubungan ITB dengan Muhammadiyah, MUI dan organisasi-organisasi internasional.

5. Dalam sejarahnya ITB selalu bergumul dengan konflik politik di sekitarnya. Namun ITB selalu berhasil menegakkan harkat dan martabatnya sebagai lembaga akademik. Politik bukan panglima di dunia akademik. ITB tidak mempersoalkan perbedaan politik.

Ketika Sukarno kuliah di ITB (dulu THS), Prof. Klopper rektor ITB waktu itu, tidak memecat Sukarno sekalipun ia tahu Sukarno sudah sangat terlibat dalam politik antikolonialisme. Demikian juga ketika gerakan mahasiswa merebak tahun 1965, 1974, dan 1978. Beberapa aktivis mahasiswa dipecat menjelang 1990an karena alasan moral.

Demikian dapat kami sampaikan pandangan kami. Semoga Ibu berkenan mempertimbangkannya.

Ttd

Radhar Tri Baskoro
(Alumni ITB dengan nomor mahasiswa FI79-210024)

Baca juga :