Ketika Wakil Rakyat Menjadi Musuh Rakyat


“Oke, kami khilaf. RUU HIP tidak akan kami teruskan pembahasannya. Tetapi karena kami punya aturan main, mohon sabar sedikit agar kami dapat menghapus RUU ini dari program legislasi nasional (prolegnas) sesuai mekanisme yang ada”.

Seandainya kalimat tersebut keluar dari ketua DPR. Suasana nusantara insya Allah adem. Rakyat dapat tidur nyenyak dan kembali bekerja setelah dua bulan dipaksa tinggal di rumah. Rakyatpun tidak akan dendam kepada wakilnya di senayan. Masing-masing kembali fokus pada tugasnya.

DPR salah itu wajar. Karena mereka adalah manusia. Fraksi partai Islam salah juga boleh, karena mereka juga manusia. Yang tidak bisa diterima adalah menipu rakyat untuk kepentingan musuh negara. Atau berbohong atas kesalahan yang telah diperbuat. Atau sengaja ingin menjerumuskan negara ini kepada pertikaian yang berkepanjangan.

Faktanya semua fraksi tidak ada yang protes dengan Eka Sila dalam RUU HIP. Kata Drajat Wibowo. PKS memang menolak, tetapi itu terkait dengan tidak dimasukkannya TAP MPRS XXV/1966 dalam konsideran. Yaitu aturan hukum tentang larangan ideologi komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi nusantara.

Gelombang protespun terjadi. Selama refomasi baru kali ini semua ormas Islam kompak. Ramai-ramai menolak RUU HIP. Bahkan menurut pimpinan  MUI, Kyai Muhyiddin ada duaratus ormas Islam yang siap berjihad bersama MUI menggagalkan RUU ini. Ada common enemy, yaitu anggota DPR pengusul RUU HIP maupun yang menyetujuinya.

Rakyat menilai, ternyata perusak Pancasila itu datang dari orang-orang terhormat. Manusia-manusia yang telah dipilih untuk mewakili rakyat menyuarakan kepentingannya. Mereka bermufakat untuk menghancurkan bangunan Indonesia yang susah payah ditegakkan oleh para pendiri bangsa.

Anggota DPR bodoh ? Saya kira tidak. Mereka juga belajar  sejarah Indonesia. Tahu bahwa proses lahirnya Pancasila itu berliku-liku dan lama. Diwarnai ketegangan yang luar biasa antara kelompok yang menghendaki Islam sebagai dasar negara dengan kelompok nasionalis. Mereka pasti tahu bahwa Pancasila itu kompromi  dari pertentangan tersebut.

Waki rakyat itu  orang-orang pintar. Meraka pasti tahu bahwa rumusan Pancasila itu ada pada pembukaan UUD 1945. Saking pentingnya lembaran ini bagi kelangsungan bernegara. Setiap upacara bendera selalu dibaca ulang. Untuk mengingatkan kepada khalayak betapa pentingnya untaian kalimat terserbut.

Wakil rakyat itu pasti juga tahu, bahwa rumusan Pancasila yang sekarang ada itu awalnya adalah diktum-diktum yang ada pada Piagam Jakarta. Sebuah ideologi yang dirumuskan oleh sembilan tokoh nasional. Wakil-wakil dari anggota BPUPKI yang dibentuk untuk merumuskan dasar-dasar dalam bernegara.

Sayapun yakin, para wakil rakyat pernah membaca. Bahwa ada tujuh kata yang dihapus dalam Piagam Jakarta itu. Yaitu, “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kemudian berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan sila ini menjadi puncak kompromi yang diberikan oleh golongan Islam.

Anggota DPR itu orang-orang hebat. Mereka pasti mengerti bahwa NKRI itu pernah hilang dari bumi nusantara. Yaitu tatkala diadakan Konferensi Meja Bundar. Saat itu bentuk negara ini menjadi federal. UUD 1945 tidak berlaku dan diganti dengan konstitusi RIS mulai 27 Desember 1949. Akibatnya,  Pancasila pun tidak ada. Karena rumusan ideologi ini hanya ada pada UUD 1945.

Saya yakin, ketika sidang tidak ada anggota DPR yang hanya plonga-plongo. Karena meraka hasil seleksi ketat partai maupun rakyat Indonesia. Sehingga mereka pasti tahu, bahwa UUD 1945 itu kembali diberlakukan dengan keluarnya dekrit presiden 5 Juli 1959. Dus, Pancalisa kembali menjadi ideologi bangsa.

Saya juga yakin, setiap anggota DPR itu pernah membaca atau minimal mendengar isi dekrit presiden tersebut. Bahwa, terdapat alenia yang tidak dapat diingkari apalagi dicuri. Sebuah rumusan kalimat yang menyejukkan dan memberi harapan, yaitu.

“Kami Berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan satu rangkaian dari konstitusi tersebut”.

Dalam politik Islam anggota DPR itu disebut ahlul halli wal ‘aqdi. Yaitu orang-orang yang pandai mengurai benang kusut. Pintar cari terobosan dari kebuntuan masalah yang dihadapi negara. Juga pandai membuat aturan yang mensejahterakan rakyat.

Dengan segala kehebatan anggota DPR di atas, maka hari-hari ini rakyat tersentak ketika mereka berulah. Membuat RUU HIP yang isinya menjugkir-balikkan tatanan  bangunan negara. Mereduksi asas ketuhanan menjadi gotong royong dan membuka peluang kembalinya PKI di negeri ini.

Kali ini wakil rakyat telah menjadi musuhnya rakyat. Faktaanya, bukan hanya kaum muslimin yang bergerak menentang ulah mereka. Tetapi juga Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan Forum Purnawirawan TNI - Polri. Bahkan mantan wapres Try Sutrisno yang juga anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) turut melawan.

Kalau semua rakyat menentang proyek RUU HIP yang merupakan inisiatif DPR. Terus mereka lenggang kangkung, tetap kekeh menjalankan rencananya. Lalu mereka itu mewakili siapa ?

Bagi kaum muslimin, RUU HIP itu tidak perlu direfisi dan diperbaiki. Karena ia seperti air kencing. Walaupun disuling seratus kali, tetap saja najis. Buang saja ke bak sampah. Bila tidak, energi bangsa ini akan kembali tumpah di jalanan.

(Oleh: Muh. Nursalim)

Baca juga :